Tujuan Didirikannya IAIN
Oleh : Adian Husaini

Dalam dua pekan terakhir, saya berkesempatan mengisi berbagai acara
dauroh dirasah Islamiyah dan workshop tentang pemikiran Islam di
berbagai daerah: Denpasar, Bogor, Makasar, Malang, Semarang, dan
Solo. Dauroh dan workshop ini diikuti oleh kalangan dosen, mahasiswa,
para ustadz, dan wakil-wakil dari berbagai organisasi dan lembaga
Islam. Ketika saya menyampaikan peta pemikiran Islam dan tren
perkembangan paham liberalisme di lingkungan perguruan tinggi Islam
dewasa ini, muncul banyak pertanyaan, bagaimana mungkin semua itu
bisa terjadi?

Dari laporan sejumlah peserta dauroh yang mengambil kuliah S-2 studi
Islam di berbagai perguruan tinggi Islam di daerahnya, rata-rata
menceritakan tentang dosen yang mengajarkan paham relativisme. Dalam
satu forum, ada seorang dosen di Malang yang secara terbuka
menyampaikan bahwa Islam adalah banyak dan tidak satu.

Dia berkata di depan forum: "Islam yang mana yang Anda kembangkan?
Tafsir yang mana yang bisa dijadikan rujukan? Bukankah para mufasir
itu juga berbeda-beda pendapatnya?" Dalam acara di Solo, pertanyaan
serupa juga diajukan kepada saya lagi oleh seorang dosen sebuah
Perguruan Tinggi Islam?

Saya jawab ketika itu, bahwa pemahaman seperti itu adalah keliru, dan
sudah tercemar virus relativisme. Dari penyebaran virus relativisme
di berbagai perguruan Tinggi Islam ini, sebenarnya bisa dilacak dari
mana sumber dan distributornya. Relativisme adalah doktrin bahwa
ilmu, kebenaran, dan moralitas senantiasa terkait dengan budaya,
sosial, dan konteks historis, dan tidak bersifat absolut. (the
doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to
culture, society, or historical context, and are not absolute).

Dengan perspektif pemahaman seperti itulah maka para pengusung paham
ini menerapkan pola pikir tersebut terhadap Al-Quran dan tafsir Al-
Quran. Mereka biasa mengatakan, bahwa Al-Quran adalah produk budaya;
bahwa tafsir Al-Quran adalah relatif karena merupakan produk akal
manusia yang relatif. Ujung-ujungnya mereka mengatakan, bahwa manusia
tidak tahu kebenaran, bahwa yang tahu kebenaran hanya Allah.

Karena itu, kata mereka, tidak boleh mengklaim agamanya atau
pendapatnya sendiri yang benar dan menyalahkan pendapat orang lain.
Lebih lanjut lagi, kata mereka, hukum-hukum Islam pun bersifat
relatif dan terkait dengan budaya Arab.

Kita sudah beberapa kali membahas bahaya paham relativisme ini bagi
kaum Muslim. Karena itu, virus ini perlu ditanggulangi dengan serius,
karena sudah disebarkan oleh banyak dosen di Perguruan Tinggi Islam.
Maka, sangatlah bisa dimengerti jika banyak sarjana agama Islam,
justru menjadi tidak yakin dengan Islam, karena sudah terjangkit
virus relativisme, dan kemudian juga menjadi agen baru penyebar paham
ini kepada masyarakat. Bayangkan, jika virus ini terus menjangkiti
para mahasiswa studi Islam, maka bisa dibayangkan, sekitar 5-10 tahun
ke depan, akan muncul guru-guru agama, dosen agama, birokrat agama,
mubaligh, khatib Jumat yang secara halus menyebarkan virus ini kepada
masyarakat, sehingga memunculkan keraguan terhadap kebenaran Islam.

Tentu saja, penyebaran virus relativisme ini sangat bertentangan
dengan niat dan tujuan awal didirikannya kampus-kampus Islam.

Dalam Penjelasan Perpres 11/1960 tentang pendirian IAIN disebutkan,
bahwa pendidikan tentang Agama dan Ilmu Keagamaan Islam sangatlah
penting, mengingat agama Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa
Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, selain sebagai suatu agama, Islam
juga "merupakan dan sudah meluluh adat-istiadat jang meresapi segala
aspek hidup dan kehidupannya. Dengan demikian mempertinggi taraf
pendidikan dalam lapangan Agama dan Ilmu Pengetahuan Islam adalah
berarti mempertinggi taraf kehidupan bangsa Indonesia dalam lapangan
kerochanian (spirituil) dan ataupun dalam taraf intellektualismenja."

Dengan niat yang baik dan praktis tersebut, maka pada tanggal 2
Rabi'ulawwal 1380 H bertepatan dengan 24 Agustus 1960, Menteri Agama
K.H. Wahib Wahab meresmikan pembukaan Institut Agama Islam Negeri "Al-
Djami'ah al-Islamiyah al-Hukumijah" di Yogyakarta.

Dalam acara peringatan Sewindu IAIN, tahun 1968, di Yogyakarta,
Menteri Agama K.H.M. Dachlan menyatakan : "Institut Agama Islam
Negeri pada permulaannja merupakan suatu tjita-tjita yang selalu
bergelora di dalam djiwa para Pemimpin Islam jang didorong oleh
hadjat-kebutuhan terhadap adanja sebuah Perguruan Tinggi yang dapat
memelihara dan mengemban adjaran2 Sjariat Islam dalam tjorak dan
bentuknja yang sutji murni bagi kepentingan Angkatan Muda, agar kelak
di kemudian hari dapat memprodusir Ulama2 dan Sardjana2 jang sungguh-
sungguh mengerti dan dapat mengerdjakan setjara praktek jang
disertakan dengan pengertian yang mendalam tentang hukum2 Islam
sebagaimana jang dikehendaki oleh Allah Jang Maha Pengasih dan
Penjajang."

Lebih jauh lagi, Menteri Agama K.H.M. Dachlan yang merupakan seorang
tokoh NU, menyampaikan dalam pidatonya tersebut pentingnya memelihara
semangat untuk melawan penjajahan dalam dunia pendidikan.

Dia katakan :

"Di dalam rapat2 sering kami djelaskan, bahwa dimasa pendjadjahan
kita telah berhidjrah (non Cooperation/tidak kerdja sama) dengan
pendjadjah, akibat sikap yang demikian itu kita tidak menjekolahkan
anak2 kita didalam Sekolah2 jang diadakan oleh Kaum Pendjadjah.
Sebaliknja anak-anak kita semuanja beladjar dan mendapatkan
pendidikan di Sekolah2 Agama (Madrasah2 dan Pesantren jang kita
adakan sendiri) karena kita mendjaga djangan sampai anak2 kita
keratjunan dengan pendidikan/peladjaran yang diberikan oleh
Pendjadjah dimasa itu, dimana anak2 ditjiptakan untuk mendjadi hamba
Pendjadjah untuk menjadi orang-orang jang membantu pendjadjah didalam
usahanja memprodusir manusia2 robot untuk kepentingan mereka."

Mengapa Perguruan Tinggi ini menggunakan nama `Islam' ? Menteri Agama
K.H.M. Dachlan menjelaskan sebagai berikut :

"Nama Islam jang dihubungkan dengan Institut ini, djuga merupakan
suatu manifestasi tentang adanja suatu ikatan jang kokoh kuat dan
jang telah berakar-berurat didalam djiwa kita semuanya, jaitu dalam
hubungan seorang Muslim dengan sesama Saudaranya, jang tak dapat
dipisahkan karena berlainan darah, berlainan bahasa, berlainan warna,
berlainan tanah air (Negara) dan sebagainja, hal mana telah mengikat
kesatuan Ummat Islam satu dengan lainnja, sehingga Agama, kehormatan
dan harakat-martabat Ummat Islam terlindung oleh ikatan jang teguh
kuat itu, jang menjebabkan orang2 dan penguasa tyrani dimasa lampau
tak berani menjentuh badan djasmani kita dengan sesuatu siksaan atau
pukulan, karena kita telah menjadi satu badan, bilamana suatu
anggauta-tubuh badan itu ditjubit orang, maka seluruh badan tersebut
akan ikut merasakan pedih dan sakitnja."

Pada kesempatan itu, Menteri Agama juga membeberkan tantangan dan
rintangan yang berat dalam upaya mendirikan IAIN yang menurutnya
dilakukan oleh "orang-orang yang tidak menghendaki kemajuan Islam".

Karena itu, kata Menteri Agama, sejak awal dilahirkan, IAIN
senantiasa berusaha dan bekerja keras untuk mengisi otak dan jiwa
Angkatan Muda dengan mental Islam dan membeberkan kepada mereka
sejarah Islam yang sebenarnya, karena generasi muda telah melalaikan
atau belum mengetahuinya. Tujuan lain dari IAIN, menurut
Menteri, "membasmi tachajjul dan churafat jang telah ditimbulkan oleh
kelalaian kita akan adjaran ALLAH dan kurangnya pengertian Generasi
Baru kita terhadap tudjuan Islam jang sutji murni."

Dari niat, tujuan, dan semangat para tokoh Islam dalam pendirian IAIN
tampak bagaimana kuatnya dorongan semangat perjuangan Islam. Dari
kampus inilah diharapkan lahir para cendekiawan dan ulama yang tinggi
ilmu dan kuat mental Islamnya. Karena itu, pendirian IAIN bisa
dilihat sebagai salah satu buah perjuangan Islam di Indonesia. Kampus
ini telah melahirkan banyak sarjana Muslim dalam berbagai bidang
keilmuan yang tidak sedikit jasanya dalam pelaksanaan ajaran Islam di
Indonesia. Di bidang pendidikan agama, peradilan agama, dakwah di
tengah masyarakat, IAIN bisa dikatakan telah memainkan peran yang
sangat penting.

Tapi, pada sisi lain, harus diakui, ada banyak sisi yang perlu
menjadi perhatian besar. Pertama, soal kualitas mahasiswa. Ini
menjadi satu masalah laten dalam studi Islam di IAIN – yang kemudian
berkembang menjadi UIN di berbagai daerah -- yang banyak dikeluhkan
para sarjana Muslim. Bukan rahasia lagi, banyak mahasiswa yang
menjadikan pilihan kuliah di IAIN sebagai alternatif terakhir setelah
tidak diterima di berbagai jurusan lain.

Kedua, nilai pragmatisme juga cukup kental mewarnai studi Islam di
IAIN. Banyak yang kuliah di IAIN dan mempelajari ilmu agama bukan
karena kecintaannya terhadap ilmu dan idealisme untuk menegakkan
Islam, tetapi sekedar untuk mencari gelar dan lahan pekerjaan. Ketika
tujuan pragmatis itu sudah tercapai, maka terhentilah aktivitas untuk
mengembangkan keilmuan dan dakwah Islam secara lebih luas.

Ketiga, framework dan metodologi studi Islam yang belum terumuskan
dengan matang di semua bidang studi keislaman. Keempat, sarana dan
prasarana pendidikan, terutama perpustakaan, yang sangat minim.

Berbagai hal yang telah banyak dikeluhkan oleh para sarjana Muslim
itu perlu mendapat perhatian serius. Beberapa kampus telah berusaha
untuk menjadikan IAIN sebagai pusat studi Islam yang unggul, yang
diharapkan mengangkat studi Islam ke taraf internasional.

Tetapi, sayangnya jalan yang ditempuh kemudian adalah menjadikan
studi Islam ala orientalis Barat sebagai kiblat. Studi Islam kemudian
dibawa ke jalur 'netral agama' yang menempatkan Islam sebagai objek
kajian yang netral dari aspek keimanan dan amaliah.

Karena itu, dengan cara pandang 'netral agama' seperti itu, jangan
heran, jika dosen yang sudah jelas-jelas sangat bejat pikiran dan
akhlaknya – misalnya yang memiliki pekerjaan rutin mengawinkan
pasangan beda agama – justru diberi kesempatan seluas-luasnya untuk
mengajar mahasiswa. Dosen yang menistakan Al-Quran justru diangkat
sebagai pejabat penting di kampus. Sarjana yang melecehkan Al-Quran
diangkat sebagai dosen ulumul Quran. Begitu juga, mahasiswa yang
jelas-jelas menghina Nabi, sahabat Nabi, dan Al-Quran, justru oleh
kampusnya diberi gelar terhormat sebagai "sarjana hukum Islam"
atau "Sarjana Agama".

Inilah musibah besar bagi umat Islam. Mudah-mudahan para pimpinan
kampus berlabel Islam sadar benar akan tanggung jawab mereka dalam
bidang keilmuan, di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam.



Kirim email ke