Mba Rita, Tadi pagi saya nonton satu acara di Trans 7, Aming yang komedian lulusan ITB itu terlihat berayun-ayun memakai T-shirt+celana pendek seperti celana renang di besi-besi seperti menara. Ibu saya ketawa, menurut beliau, Aming seperti penghuni bonbin yang suka bergelantungan di pohon...:) Ternyata kelakuan ganjil ini menarik minat orang untuk wawancara, dia malah ketawa-ketawa sambil komen, "lagi jenuh nunggu, eh..apa?". Dengan mimik heran dia bertanya balik ke penanya sambil menambahkan begini, "sori, gw lagi kambuh autisnya". Ternyata autis ini sudah jadi bahasa gaul ketika seseorang seperti Aming sedang jenuh, dan tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain, lalu asyik dengan dirinya sendiri, ber-ayun-ayun itulah tanpa peduli orang lain dan tidak tahu apa yang ditanyakan orang lain ....:) Jadi kalau pakai istilahnya autis gaya Aming, tentunya kita juga pernah autis, dalam arti gak peduli orang lain dan saat ditanya tidak mampu menjawab karena tidak mampu berkomunikasi, lagi asyik dengan dirinya sendiri. Rasanya mba Herni pernah cerita tentang autis saat blio ini asyik dengan laptopnya, pcmiiw.
Yang repot kalau autis di milis yang komunikasinya pakai email, yang autis di milis gak peduli dengan pendapat orang lain, sibuk aja dengan pikiran sendiri dan sesuka hati ngomentari, lebih repot lagi kalau banyak yang dikomentari. Mailbox penuh dengan komentar aneh. Saya juga pernah ke rumah teman yang menikah saat lulus SMU, ceritanya kami (beberapa orang yang dulu satu kelompok belajar) kangen ke teman ini. Eh, ternyata dia sudah punya anak yang pas kami datang lagi lari-lari, muter gak karuan. Disuruh salaman oleh ibunya juga tidak peduli. Anak itu hiperaktif banget (hehe.. udah hiper, pakai banget lagi, beneran nih mba Rita, anak itu tidak mengenal kata lelah, tiap menit selalu berubah posisi, tidak pernah duduk anteng dalam waktu agak panjang). Teman ini cerita bahwa anaknya memang autis, ciri pokoknya katanya anak itu tidak mampu berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan orang tuanya. Anak ini tidak bisa fokus ke satu aktivitas, misalnya tidak bisa baca buku bergambar lebih dari 1 menit, tidak bisa duduk diam nonton tv, dll. Saya lihat teman ini kurus banget, katanya lelah karena suaminya yang tentara, sering tugas beda kota, tidak mampu membayar pembantu, jadi dia mengurus rumah sambil tetap mengawasi anaknya ini supaya tidak celaka karena bergerak terus menerus yang kadang-kadang melakukan hal berbahaya, misalnya turun di tangga bukan di tangganya tapi meluncur di pegangan tangga. Saya pikir betapa beratnya seorang ibu yang anaknya autis, sama beratnya dengan ibu yang anaknya down syndrome seperti sepupu saya. Kata teman saya yang lainnya yang punya ponakan autis juga, beda-beda kondisi si penderita, mungkin seperti kasus cacat mental ya, ada yang pernah menjelaskan ada yang parah, misalnya anak berumur 10 tahun tapi perbuatan dan pola pikirnya seperti anak berumur 3 tahun, ada juga yang seperti anak 5 tahun, dll. Jadi beda-beda. Dan saya juga pernah melihat di tv, ada anak autis yang mampu menulis satu buku - lupa lagi judulnya, pokoknya ada kata journey gitu. Anak autis ini dikirim ortunya ke Aussie, disana ada tempat/sekolah khusus anak autis, yang ternyata bisa membuat seorang anak autis jadi penulis buku berbahasa Inggris. Mungkin autisnya anak ini gak terlalu parah ya, karena saat diwawancara di Metro TV, dia mampu menjawab - artinya dalam batas tertentu dia mampu berkomunikasi dengan orang lain. salam Aisha ---------- >From : ritajkt Saya mencoba menarik hikmah dari silang pendapat soal autis di thread ini dengan membuat telaah berikut ini; 1. Pak Satriyo (rsa/efikoe) meminta Mbak Mia minta maaf karena mbak Mia memakai istilah "gaya autis"nya Janoko. Menurut Pak satriyo, tulisan Mbak Mia tersebut adalah penghinaan terhadap penderita autis. (saya tidak memasukkan alasan pribadi dari Pak Satriyo dan Ibu Ajeng mengenai realita personal masing-masing yang TERNYATA bersentuhan dengan anak-anak autis. Karena ini akan mengarah pada persoalan pribadi.) 2. Mbak Mia menjelaskan bahwa istilah "gaya autis"nya Janoko yang ia tulis adalah suatu eufemisme, atau suatu gaya bahasa untuk menghaluskan suatu kenyataan, yaitu kenyataan dimana Pak Janoko mengalami masalah komunikasi yang nampaknya tidak bisa berkomunikasi secara dua arah melainkan hanya satu arah saja. Fenomena komunikasi satu arah ini adalah fenomena dari penderita autisme. PCMIIW. Dengan kata lain, apa yang dilakukan mbak Mia sama dan sebangun posisinya dengan orang yang berkata "Cintamu itu buta" dimana kata "buta" disini dipakai bukan sebagai penghinaan terhadap orang yang menderita cacat yang "tidak bisa melihat", melainkan mengarah pada fenomena/keadaan yang dianggap "tidak bisa melihat". Nah, semoga pemetaan saya ini ada gunanya buat teman-teman yang berbeda pendapat. Kalo ada salah-salah kata ya harus dimaafkan wong saya tidak merasa sebagai ahli bahasa...:-)). salam, rita [Non-text portions of this message have been removed]