http://www.indomedia.com/poskup/2007/09/11/edisi11/opini.htm
Dari melek baca-tulis ke melek pengetahuan (Sebuah catatan pada Hari Aksara) Oleh Luis Aman PENDIDIKAN kita sekarang dibandingkan dengan pendidikan tahun 70-an dan 80-an, telah jauh berkembang. Angka buta huruf kian ditekan. Di mana-mana telah berdiri sekolah-sekolah, mulai dari TK, SD, sekolah menengah, sampai perguruan tinggi. Lalu, semakin banyak orang yang sadar akan arti penting pendidikan. Semakin banyak masyarakat yang menyadari bahwa kualitas hidup hanya bisa diubah dengan bersekolah; dengan mengenyam pendidikan. Ini tentu fakta yang membanggakan. Ada manfaat nyata dari pendidikan setelah sekian lama negeri ini membenahi dunia pendidikannya. Apa yang diamanatkan UUD 1945 tentang tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan rakyat terlihat menunjukkan hasilnya. Pencegahan dan pemberantasan buta huruf tentu upaya yang mesti terus digalakkan, bahkan seumur hidup bangsa Indonesia. Angka buta huruf di NTT tahun 2007 adalah 117. 663 orang (Pos Kupang, Kamis, 6 September 2007). Angka ini tentu tidak bisa dianggap sepele dan mesti terus ditekan hingga terwujud NTT yang bebas buta huruf. Akan tetapi itu sesungguhnya belum apa-apa. Tujuan pendidikan di negeri ini bukan sekadar pemberantasan buta huruf, melainkan pencerdasan kehidupan masyarakat. Pemberantasan buta huruf hanyalah salah satu tahap dari upaya mencerdaskan rakyat. Hal itu tidak boleh menjadi prioritas lagi sekarang. Mencegah dan memberantas buta huruf seharusnya telah menjadi bagian yang tidak perlu dipikirkan lagi, sesuatu yang taken for granted. Ia harus sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan di dunia ini; sesuatu yang sangat vital dan otomatis diperlukan. Hal yang mesti lebih serius dipikirkan sekarang adalah 'apa yang harus dibangun dan dilakukan negara setelah sekian banyak rakyatnya melek huruf?' Dulu, orang yang tahu baca-tulis adalah orang yang paling hebat dan paling beruntung. Ia bisa diterima untuk bekerja di banyak tempat. Ia dengan mudah diangkat menjadi pegawai negara dan swasta. Sekarang kita hidup di era yang amat menjunjung tinggi kualitas dan wawasan kepengetahuan, kompetensi keilmuan, kreativitas, dan daya saing, saat mana baca-tulis dilihat sebagai kemampuan dasar yang tidak perlu dipersoalkan lagi. "Bila mau hidup, harus tahu baca tulis, tetapi bila mau hidup baik, jangan hanya tahu baca-tulis." Kita hidup di dunia yang menuntut kemampuan yang lebih daripada sekadar tahu membaca dan tahu menulis. Konteks dunia dengan warna globalisasi dan modernisasi yang kental mensyaratkan manusia-manusia berkualitas, yang kritis, kreatif, analitis, inovatif, berinisiatif, mandiri, dan berdaya saing. Untuk itulah negara dituntut untuk terus 'mencerdaskan kehidupan bangsa'; guna membawa masyarakatnya kepada kualitas hidup yang semakin baik dari hari ke hari, yang senantiasa mampu menjawab tuntutan zamannya.Mencerdaskan masyarakat Amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini bukan tugas gampang. Setelah 62 tahun menjalankan amanat tersebut, kita masih harus menerima kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat kita minim pengetahuannya. Kebanyakan dari kita sulit eksis dalam percaturan persaingan era global lantaran tak cukup wawasan dan kompetensi untuk berkompetisi. Ini harus menjadi hal yang dipikirkan secara serius ke depan, bila kita memang masih berpegang pada amanat UUD kita. Mencerdaskan masyarakat adalah visi sekaligus tugas besar yang mesti diemban pemerintah dan berbagai elemen masyarakat. Masyarakat mesti dicerdaskan agar mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya, bisa mandiri, kreatif dan inovatif, sehingga pada akhirnya bisa bersaing dalam kancah global. Masyarakat mesti dicerdaskan dalam segala lini kehidupan agar tidak mudah menjadi 'orang-orang kalah' dalah ruang persaingan masyarakat modern, agar tidak gampang diperdaya dan dikorbankan dalam permainan politik kotor, serta tidak enteng dibuai dan dibuali dengan janji-janji manis muluk saat kampanye pemilu misalnya. Masyarakat harus dicerdaskan untuk bisa hidup dan berkembang sesuai tuntutan zaman saat mana masyarakat itu hidup. Setidaknya ada dua hal penting yang mesti diperhatikan bersama dalam rangka melahirkan masyarakat yang semakin cerdas ini; yang tidak hanya melek baca-tulis, tetapi juga melek pengetahuan. Pertama, pembenahan mutu pendidikan. Lalu kedua, menjadikan aktivitas membaca sebagai budaya. Mutu pendidikan Pembenahan mutu pendidikan merupakan hal yangterus-menerus diperbincangkan dan didiskusikan bersama. Pembenahan mutu pendidikan di negeri ini memang sangat urgen. Perbaikan kualitas pendidikan harus menjadi prioritas di tengah kenyataan krisis sumber daya manusia yang masih kita alami. Untuk menciptakan manusia Indonesia yang 'melek pengetahuan' pertama-tama mesti memperbaiki wajah dunia pendidikannya. Lahirnya manusia-manusia muda Indonesia yang tidak hanya tahu baca-tulis, tetapi juga punya wawasan luas, punya kompetensi keilmuan tinggi, kritis, kreatif, inisiatif dan berdaya saing, meniscayakan mutu pendidikan yang lebih baik daripada sekarang ini. Tentu ada banyak aspek yang mesti diperhatikan dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sejak awal masa reformasi, telah didengung-dengungkan bahwa reformasi di bidang pendidikan haruslah bersifat integral, holistik, atau mencakup semua aspek. Aspek-aspek itu antara lain peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan kurikulum dan sistem pendidikan, peningkatan kualitas dan kuantitas guru, pembenahan sarana dan prasarana pendidikan, dan upaya kerja sama dengan orangtua siswa sebagai stakeholder pendidikan. Semuanya tentu mesti diperhatikan secara integral dan proporsional. Semuanya itu diperhatikan guna menunjang pendidikan yang sungguh berkualitas, yang sesuai tuntutan dunia modern dan selaras perkembangan kesadaran manusia. Pendidikan yang diharapkan itu adalah pendidikan yang betul-betul menghantar para peserta didiknya untuk mampu berpikir kritis, inovatif dan berdaya juang tinggi serta berdaya saing. Pendidikan mesti menghasilkan generasi muda bangsa yang bisa aktif berkompetisi di atas pentas persaingan global. Untuk itu,gaya-gaya lama dalam pendidikan, seperti 'guru berbicara siswa mendengar' yang masih luas dipraktikkan di sekolah-sekolah kita harus segera mendapat perhatian serius pemerintah. Kita butuh sekolah yang menekankan otonomi dan kompetensi siswa, yang memiliki cara-cara praktis konkret untuk menciptakan iklim studi yang menyenangkan siswa, yang tidak menyiksa dan membebankan, yang membuat peserta didik aktif dan kerasan bersekolah. Model penjejalan materi, pendiktean, dan praktik kekerasan mesti diganti dengan gaya-gaya baru yang sungguh dialogal, yang menekankan partisipasi aktif siswa dalam pengembangan pengetahuan pribadinya, serta yang betul-betul memungkinkan siswa secara leluasa menemukan, menggali, mengangkat, dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Hanya dengan demikian pendidikan kita bisa menghasilkan out put-out put yang mampu eksis dan bertahan di atas panggung kompetisi global. Budaya membaca Buku adalah jendela dunia. Ungkapan ini mungkin kelihatannya tidak relevan lagi di era televisi, VCD, DVD, dan internet, sekarang ini. Akan tetapi, esensi nilai pesannya tak akan dimakan waktu. Buku akan tetap menjadi jendela dunia. Kebiasaan membaca tetap menjadi prasyarat pokok untuk bisa melihat dan mengenal dunia dan perkembangannya. Budaya membaca merupakan prasyarat dasar untuk mengetahui lebih banyak tentang kompleksitas persoalan di dunia tempat tinggal kita ini, segala harapan dan kecemasannya, serta setiap peluang dan tantangannya. Teknologi boleh maju, koran, majalah dan buku-buku boleh melimpah, internet juga boleh masuk kampung, tetapi bila masyarakatnya tidak punya minat baca,maka semuanya akan menjadi tidak berguna dan nihil makna. Kita akan tetap miskin ilmu dan miskin informasi. Kita akan tetap berada 'dalam tempurung'. Kita akan tetap menjadi becak di tengah lalu lintas kendaraan kota besar yang supercepat. Tak dapat disangkal memang, budaya membaca sama sekali belum menyentuh masyarakat kita. Sering terjadi di kantor-kantor pemerintahan, ketika tak ada pekerjaan yang harus diselesaikan, para pegawainya lebih suka nongkrong daripada membaca koran, majalah atau buku; lebih suka gosip dan ngerumpi daripada mendiskusikan berita-berita aktual dari media massa. Budaya berkumpul dan budaya lisan masih sangat kuat mengikat masyarakat kita. Jangankan masyarakat non akademis, masyarakat akademis pun masih 'jauh panggang dari api'. Minat baca dosen, guru, mahasiswa, dan siswa sangat memrihatinkan. Perpustakaan daerah yang ada di tengah kota jarang dikunjungi para guru, apalagi mahasiswa dan siswa. Usaha toko buku di ibu kota-ibu kota kabupaten pun tidak berkembang karena angka permintaan yang relatif kecil. "Adalah pemandangan biasa jika pelajar di Flotim berangkat ke sekolah tanpa tas. Mereka hanya membawa satu atau dua eksemplar buku tulis yang isinya pun tidak karuan. Anak-anak muda ini merasa 'gensinya turun' jika membawa tas," tulis Zefirinus K Lewoama dalam artikelnya "Ketika Guru dan Murid Jarang Baca" (Pos Kupang, 21 Juni 2007). Bukan hanya di Flotim, di tempat-tempat lainnya di NTT tak kalah 'biasa'-nya. Dalam hal krisis minat baca kita semua sama. Tugas berat kita bersama ke depan adalah bagaimana meningkatkan minat baca masyarakat. Yang dibutuhkan bukan sekadar membuat masyarakat tahu membaca, melainkan terutama menjadikan aktivitas membaca itu sebagai suatubudaya. Ini sebuah cita-cita besar yang bagaimanapun juga harus dimiliki setiap bangsa dan daerah di dunia modern ini. Hal ini bukan tidak mungkin dicapai bila ada niat dan tekat kuat serta kesungguhan untuk mengusahakannya. Saya setuju dengan Bapak Zefirinus yang menekankan perlunya kebiasaan membaca sejak usia dini. Orangtua menjadi cermin bagi anak-anak dalam hal apa saja, termasuk dalam kebiasaan membaca. Lalu, perlu meningkatkan frekuensi pemberian hadiah berupa buku. Perayaan ulang tahun, sambut baru, dll, bukan sekadar ajang 'kumpul amplop' melainkan terutama sebagai ajang 'kumpul buku' (bdk, Ibid). Anak-anak berprestasi pun lebih baik dihadiahi buku daripada uang. Kebiasaan-kebiasaan kecil semacam ini semestinya terus-menerus dikampanye-kan pemerintah, gereja, LSM-LSM, dan pihak-pihak lainnya yang bertanggung jawab dalam upaya pencerdasan masyarakat. Kita hanya betul-betul bertekad mencerdaskan masyarakat bila tidak henti-hentinya berupaya dan tidak pernah kehabisan daya untuk mencari jalan keluar yang mungkin demi peningkatan minat baca masyarakat. Kemudian program penting yang perlu digalakkan lagi adalah program koran masuk desa. Desa masuk koran sudah biasa. Koran nasional seperti Kompas pun sudah sering mengangkat masalah-masalah aktual krusial di daerah-daerah terpencil di NTT. Akan tetapi, program koran masuk desa, yang seharusnya sangat penting untuk meningkatkan minat baca masyarakat, belum pernah dibuat. Jangankan koran masuk desa, koran masuk sekolah pun masih butuh perhatian serius. Banyak toh sekolah menengah di NTT yang guru dan siswanya hampir tak pernah membaca koran, sehingga tak heran bila kebanyakan masyarakat kita ketika meli-hat buku hanya sampai pada tarafmeraba-raba cover-nya, sedikit membolak-balik lembar-lembarnya, sambil mengagumi keindahannya, tanpa sedikit pun minat untuk membacanya. Anggaran pendidikan yang kini sedang 'menuju 20%' dari APBN, perlu juga dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan seperti ini. Dana-dana pendidikan tidak sekadar untuk pembenahan bangunan fisik sekolah-sekolah, tetapi juga untuk pembenahan kualitas perpustakaan sekolah dan peningkatan minat baca guru dan siswa. Pembenahan perpustakaan daerah pun merupakan hal penting yang mesti direalisasi. Perbaikan kualitas pendidikan dan peningkatan minat baca masyarakat sungguh adalah hal yang mesti senantiasa dipikirkan secara serius. Yang kini kita harapkan bukan hanya terbentuknya masyarakat yang melek baca-tulis, melainkan terutama melek pengetahuan. Momen Hari Aksara ini merupakan momen yang tepat bagi kita untuk merefleksikan semua-nya, guna terus memikirkan dan mendiskusikan solusi-solusi yang mungkin bagi lahirnya masyarakat NTT yang cerdas, berwawasan luas, kritis, kreatif serta mampu bersaing dalam kompetisi global. * [Non-text portions of this message have been removed]