Temans,
Tulisan bagus, tentang ramadhan yang bukan hanya nahan lapar haus atau tidak 
melakukan hubungan seks di siang hari, tapi pusat latihan untuk meningkatkan 
ibadah, memperbaiki akhlak (moral), dan berbagi dengan fakir miskin. 

Masalah nilai-nilai substansial dan bukan sekedar simbol-simbol kesalehan 
seperti baju, kaset, dll. Dan tentu saja tentang the art of self mastery, dan 
toleransi untuk kedamaian.

salam
Aisha
----------
Kompas,12 September 2007 

RENUNGAN
Ramadhan untuk Perdamaian 

Khamami Zada 

Marhaban, ya Ramadhan. Begitulah sambutan umat Islam saat menyambut bulan suci 
Ramadhan. Di mana-mana diserukan kepada umat Islam untuk meningkatkan ibadah, 
zakat, dan amal saleh. 

Di bulan yang suci itu, umat Islam melakukan kegiatan ibadah yang amat agung 
sebagai latihan diri dari segala perbuatan kemungkaran dan kemaksiatan. Karena 
itu, di bulan Ramadhan inilah, umat Islam harus menahan diri secara lahiriah 
dengan tidak makan, tidak minum, dan berhubungan seksual di siang hari, 
sekaligus juga harus menahan diri dari segala kemaksiatan dan kemungkaran. 
Karena itu, substansi ibadah puasa di bulan Ramadhan biasanya sering disebut 
sebagai pengendalian diri. Maka bagi umat Islam, Ramadhan ialah pusat latihan 
untuk meningkatkan kualitas ibadah, memperbaiki akhlak (moral), dan berbagi 
dengan fakir miskin (sedekah dan zakat). 

Sayang, Ramadhan tidak hanya dihiasi ajakan keagamaan yang substansial, tetapi 
juga dengan simbol-simbol yang tidak substansial. Lihat kesibukan umat Islam 
saat menyambut Ramadhan yang ditunjukkan dengan berbagai kegiatan. Dari sekadar 
menyiapkan keperluan buka puasa dan sahur dengan berbelanja kebutuhan pokok di 
supermarket, baju koko (baju Islam) dan peci, hingga menyiapkan diri membeli 
kaset-kaset religius. Bagi mereka, tak lengkap rasanya di bulan Ramadhan dengan 
melewatkan aktivitas simbolik ini. Maka, yang terjadi adalah konsumtivisme yang 
dijustifikasi agama. 

Padahal, Ramadhan tidak mengajak kita untuk berbelanja aneka kebutuhan yang 
simbolik, tetapi berbelanja berbagai kebutuhan substansial, seperti kualitas 
ibadah, perbaikan moral, dan kepedulian terhadap kemiskinan. Inilah yang 
membuat setiap kali Ramadhan datang, umat Islam kesulitan menangkap nilai-nilai 
substansial yang diajarkan. Peneguhan identitas sebagai Muslimlah lebih 
menonjol, sehingga bulan suci Ramadhan lebih diwarnai simbol-simbol keislaman. 

Toleransi timbal balik 
Dalam kondisi ini, kata kunci yang sering dilupakan dalam memaknai Ramadhan 
ialah toleransi dan kedamaian. Padahal, nilai toleransi dan kedamaian memiliki 
kaitan amat erat di bulan Ramadhan. Bukankah Islam di Indonesia ialah agama 
yang dipeluk mayoritas penduduk. Maka, sebulan penuh di bulan Ramadhan seakan 
menjadi milik umat Islam. Warnanya seakan menjadi satu, islami. 

Karena itu, toleransi sebagai paradigma awal menuju cita-cita kedamaian dan 
perdamaian menjadi sesuatu yang amat penting, tentang bagaimana kelompok 
non-Muslim menghargai umat Islam yang berpuasa, sebaliknya umat Islam 
menghargai non-Muslim yang tidak berpuasa. 

Hubungan timbal balik ini merupakan spirit bagi berbagai upaya untuk selalu 
menghargai dan memelihara kedamaian. Karena itulah, Ramadhan memiliki 
signifikansi yang jelas dalam upaya memperkuat toleransi dan ikut mendorong 
terciptanya perdamaian saat gejolak, pertikaian antarkelompok, aliran, dan 
agama. 

Pertikaian atas nama agama, etnik, dan aliran selama ini masih menjadi hantu 
bagi kita akibat kesalahpahaman, kepentingan, dan kontestasi ideologi. Kini 
kedamaian seakan tidak dirasakan lagi akibat perilaku manusia yang suka berbuat 
kerusakan dan pertikaian. Di sinilah, Ramadhan sebagai bulan suci mengajarkan 
kepada umat Islam agar menahan diri dari kebencian, kedengkian, pertikaian, dan 
kemungkaran antarsesama manusia. Tentu saja, toleransi timbal balik yang bisa 
menjembatani aneka perbedaan yang kita rasakan di bulan Ramadhan dalam hubungan 
antaragama. 

Visi perdamaian dalam Ramadhan menuntut kita untuk menghindari sikap permusuhan 
di antara sesama manusia. Islam sendiri secara otentik bisa dimaknai sebagai 
agama perdamaian. Karena itulah, pesan substansial dalam ajaran Ramadhan adalah 
menciptakan perdamaian sejati, bukannya memperbanyak perselisihan, pertikaian, 
dan peperangan. Hal ini dibuktikan dalam Alquran yang menyebutkan, ibadah puasa 
yang menjadi ibadah pokok di bulan Ramadhan tidak hanya milik umat Islam, 
tetapi juga telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. "Wahai sekalian 
orang-orang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas 
orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa" (Qs Al-Baqarah, 183). Di sinilah, 
puasa diletakkan sebagai ibadah universal, yang secara nyata pernah 
dipraktikkan agama-agama lain. 

Visi perdamaian 
Berpijak kepada kondisi inilah, perdamaian yang sejati seharusnya menjadi 
paradigma fundamental dalam pergaulan antarsesama umat manusia meski berbeda 
suku, bangsa, dan agama. Sebab, perdamaian merupakan cita-cita bersama umat 
manusia. Cita-cita ini dapat terwujud jika umat manusia memiliki kesadaran 
tentang toleransi dan adanya keadilan (kesetaraan) dalam kehidupan sosial. 

Meski dalam praktiknya perdamaian di tempat-tempat tertentu sulit diwujudkan, 
baik yang disebabkan oleh faktor agama, budaya, ekonomi, maupun politik, upaya 
merajut toleransi tetap menjadi agenda serius dalam upaya mewujudkan 
perdamaian. 

Ajaran puasa di bulan Ramadhan, seperti pernah diungkap Ismail al-Faruqi, 
adalah latihan terbaik dalam seni mengendalikan diri (the art of self mastery). 
Artinya, latihan untuk mengendalikan diri ini harus tercermin dalam gerak 
selanjutnya, bukan sekadar terjadi di bulan Ramadhan. Ajaran puasa-menahan 
lapar, minum, berhubungan seksual, dan menahan sifat marah, benci dan 
dengki-adalah sebuah latihan untuk mengendalikan diri dari godaan untuk berbuat 
yang menimbulkan permusuhan. 

Di sinilah, kita dituntut untuk selalu memaknai Ramadhan dalam konteksnya yang 
paling aktual agar tidak sekadar menjadi ibadah simbolik, tetapi benar-benar 
substansial, yaitu untuk ibadah dan kedamaian. 

Khamami Zada Manajer Program Kajian Agama dan Kebudayaan PP Lakpesdam NU; 
Pengajar pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke