Galamedia Tanpa Izin Suami, Menjadi TKW di Arab Saudi (3) Istri Pergi Bersama Anakku ke Rumah Mertua BEKERJA di Arab Saudi, boleh jadi merupakan impian banyak TKW di Indonesia, tak terkecuali Sri, istri Masjon. Sayangnya kepergian Sri tidak begitu mulus, harus dilewati dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa seizin Jon, panggilan suaminya. Mengapa begitu? Simak kisah bersambung yang ditulis H. Arya Rusli berikut ini. MALAMNYA aku pulang ke rumah setelah beberapa jam berada di warung. Kepergian istriku ke Cianjur, rumah orangtuanya, benar-benar membuatku kesepian. Berbeda ketika Sri, istriku itu pulang ke rumah orangtuanya bersama Asep empat hari sebelumnya. Bisa jadi karena ketika itu aku mengizinkannya, sedangkan kali ini istriku pergi diam-diam karena takut tidak diizinkan.
Tapi begitu pentingkah urusannya? Sampai-sampai nekat melanggar norma-norma hubungan suami istri, bahkan cukup hanya dengan meninggalkan sepucuk surat. Rasa penasaran memenuhi benakku, aku segera berkonsultasi dengan bibiku yang rumahnya tak jauh dariku. Sudah ke biasaanku, jika ada masalah, aku selalu berkonsultasi dengan bibi, adik ibuku. Dan memang, keluarga dekatku yang kuanggap sepuh dan sudah kuanggap pengganti ibuku, cuma bibi. Yang lain boleh dibilang tidak ada, soalnya memang sejak dulu tidak dekat denganku. Oleh bibi aku disarankan untuk bersabar, menunggu saja di rumah.Nanti kalau lebih dari seminggu, misalnya sampai dua minggu, baru disusul ke Cianjur. Atas nasihat bibi, akutermenung sejenak, lalu menyetujui pendapatnya. Hampir dipastikan, pekerjaan yang paling membosankan banyak orangadalah menunggu. Begitulah yangkurasakan sekarang, padahal tak terasa waktu sudah berlalu empat hari, artinyatinggal tiga hari lagi istri dan anakku pulang ke rumah, sesuai dengan janji yang ditulis di surat. Persis pada hari ketujuh, artinyapada hari kepulangan Sri, istriku dan Asep, anakku, aku bersiap-siap menyambut kedatangan mereka. Ipah, adikku yang tinggal di rumah, juga ikut sibuk membereskan rumah keciku itu. Sedapat mungkin aku akan memberikan gambaran kasih sayang kepada keluargaku, begitulah harapanku. Biasanya, seperti tempo hari, ketika istri dan anakku kembali dari Cianjur, keduanya tiba di rumah sekira pukul 13.00 WIB siang. Hari itu pun aku berharap mereka kembali sekira pukul 13.00 WIB atau paling-paling terlambat dua jam. Tapi ketika sampai pukul 15.00 WIB istriku belum juga pulang, bahkan sampai malam hari tak juga pulang, aku benar-benar gelisah. Setelah keesokan harinya tidakjuga pu lang, segera aku minta pendapat bibi. Bibiku memberi toleransi tiga hari, kalau lewat dari tiga hari tidak juga pulang, aku disarankan untuk menyusul ke Cianjur. Sarannya aku terima, tapimenunggu selama tiga hari telah membuatkupusing tujuh keliling, belum lagi bingung atas perilaku istriku yang kunilai akhir-akhir ini sering bertingkah aneh. Berbagai pertanyaan muncul di benakku, sampai-sampai bayangan telah terjadi sesuatu atas istri dan anakku terusmenghantuiku. Waktu tiga hari serasa setahun, tapi aku mencoba bersabar, bahkan sampai hari keempat aku masih bersabar. Baru pada hari kelima istri dan anakku tak juga pulang, aku pamit kepada Ipah dan memintanya untuk menjaga rumah. Aku akan ke Cianjur menyusul istri dan anakku, tapi sebelumnya aku mampir dulu ke rumah bibi. Bibi menasihatiku untuk menahan emosi jika ternyata ada sesuatu yang menjadi kendala keterlambatan istriku pulang ke Sukabumi. "Ulah ngambek, tahan emosi. Ulah nepi ngerakeun kaluarga. Sing sabar," pesan bibi, mewanti-wantiku. Nasihat bibi kupegang erat-erat,dalam hati aku akan coba menahan emosi jika memang ada masalah yang menjengkel kan. Sebenarnya, yang membuatkugelisah dan nyaris tak sabar untuk se gera menyusul keluargaku adalah anakku. Aku begitu kangen dan ingin me ngetahui pasti kondisinya, apakah sehat walafiat atau sedang sakit. Dalam hati aku berdoa, semoga anakku selalu dalam lindungan-Nya, tentu saja doa juga kuharapkan agar istriku tak kurang suatu apa pun. Tiba di rumah mertuaku di Cianjur sekira pukul 16.00 WIB sore, tapi aku tak melihat batang hidung istriku, kecuali anakku Asep yang sedang digendong bibinya, adik istriku atau adik iparku. Setelah basa-basi bersalaman dengan adik ipar dan Asep yang seolah sudah mengerti bahwa aku adalah bapaknya, spontan saja Asep mau kupeluk, kugendong, dan kucium. Baru kemudian, sambil menggendong Asep aku masuk ke dalam. Istriku tetap tak kutemukan, yang ada ha nyalah mertua lelaki dan paman atau adik dari mertua perempuan. Setelah ke duanya kusalami dan kucium tangannya sebagaimana layaknya kepada orangtua, aku duduk di ruang depan dengan tetap masih menggendong anakku. Seolah mengerti dengan kegelisahan hati bapaknya, tiba-tiba Asep menangis sambil tangannya mencoba menggapai wajahku, tak lama kemudian ibu mertuaku keluar. Agak terkejut dan tampak sekali salah tingkah melihat kehadiranku, serta merta saja ibu mertua menghampiriku dan mencoba mengambil Asep. Tapi upayanya itu kucegah dengan halus sambil secepatnya meraih tangannya untuk kusalam dan kucium. Barulah ibu mertuaku sadar,selanjutnya duduk di sebelahku. "Kumaha damang?" sapanya, basa basi. (bersambung)** [Non-text portions of this message have been removed]