http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=312849
Jumat, 16 Nov 2007, Ulama dan Relativisme Kaum Liberal Oleh M. Anwar Djaelani "JIMAT" yang kerap dijadikan amunisi kaum liberal, antara lain, pluralisme, liberalisme, persamaan tanpa batas, antiotoritas, dan relativisme. Maka, menyusul maraknya diskusi di seputar aliran sesat, terlihat bahwa dua "jimat" yang disebut terakhir itu paling sering dipakai kaum liberal saat membela kelompok, seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Lihat, misalnya, dua tulisan di Jawa Pos. Pada 14/11/07 Mohamad Guntur Romli menulis Sesatnya Kriteria Sesat. Pada dasarnya, dia menyatakan bahwa kriteria penyesatan versi Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus ditolak karena semua orang atau kelompok memiliki derajat yang sama ketika berusaha memahami wahyu. Itu pun -kata dia-, hakikat kebenarannya baru sampai pada tahap "kebenaran manusiawi" dan bukan "kebenaran Ilahi". Untuk itu, dia bersandar pada hadis bahwa perbedaan (pendapat) umatku adalah rahmat. Bisakah hadis itu dijadikan sandaran hujjah? Prof KH Ali Mustafa Yaqub MA lewat buku berjudul Hadits-Hadits Bermasalah menilai bahwa hadis tersebut tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tidak dapat dijadikan dalil sama sekali. Siapa Ali Mustafa Yaqub? Sekarang dia adalah salah seorang di antara sedikit ahli hadis di Indonesia. Dulu, awal 1970-an, dia mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari, Tebuireng. Dia santri Gus Dur, saat di Jombang. Sebagai tambahan, jika ada yang menilai bahwa kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah tak lebih dari sekadar perbedaan pendapat, itu mengherankan sekali karena kesalahan kelompok tersebut telah begitu terang. Dari segi nama kelompok, mereka dapat dipastikan tetap beragama Islam. Tetapi, lihatlah syahadatnya, asyhadu alla ilaha illa-Alla wa asyhadu anna Masih al-Mau'ud Rasul-Allah. Mereka juga menyatakan salat dan puasa tak wajib dikerjakan. Pertanyaannya, benarkah ajaran itu sekadar perbedaan pendapat? Itukah contoh "kebenaran manusiawi" yang harus kita hormati? Lalu lewat tulisan di Jawa pos (9/11/07) berjudul Relativitas Kesesatan Aliran Sesat, Pradana Boy ZTF (dosen Fakultas Ilmu Agama Universitas Muhammadiyah Malang) juga membela aliran sesat dengan merelatifkan fatwa MUI. Dia menggugat -untuk tak menyebut menghujat- ulama dengan menyatakan bahwa fatwa itu memiliki potensi "pemaksaan" kebenaran yang sangat tinggi. Hal itu dikaitkannya dengan pendapat MUI bahwa salah satu kriteria aliran sesat adalah menafsirkan Alquran di luar ketentuan kaidah-kaidah tafsir yang berlaku. Boy mendasarkan pemikirannya atas paham relativisme (tafsir), salah satu "jimat" kaum liberal. Tampak, dia berusaha untuk menghilangkan otoritas ulama dalam penafsiran Alquran. Perhatikanlah pernyataan dia: "Jika MUI merujuk kepada seperangkat kaidah yang dihasilkan oleh ulama tertentu, MUI telah melakukan kesewenang-wenangan. Seolah-olah MUI memiliki hak paling mutlak untuk menentukan metode ini benar dan metode ini salah". Boy menyergah, kaidah tafsir menurut siapa? Boy menyoal, model pendekatan versi siapa? Bukankah, lanjut dia, ahli tafsir itu banyak, juga menyebut sejumlah mufasir liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Arkoun, Hassan Hanafi, dan sejumlah nama lain yang "sejenis" dengan itu. Bahkan, yang luar biasa, tanpa ragu dia mengajak kita agar membandingkan dengan tafsir dari kalangan nonmuslim seperti Anthony John, John Wansbrough, atau Andrew Rippin. Siapa Nasr Hamid Abu Zayd? Atas sejumlah pendapat kontroversialnya, Nasr Hamid Abu Zayd dinilai ulama Mesir telah keluar dari Islam. Ulama Mesir pun menetapkan dia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya. Dia kemudian melarikan diri ke Belanda. Siapa John Wansbrough? Muhammad Nasrin bin M. Nasir menulis tesis yang berjudul A Critique of John Wansbrough's Methodology and Conclusion dan telah dipertahankannya di Islamic College for Advanced Studies, London, pada 2002. John Wansbrough adalah tokoh utama yang mempunyai gagasan untuk "melemahkan" Alquran. Pemikiran dia berakar pada ungkapan bahwa sebagai sebuah teks, Alquran harus dikaji dengan analisis sastra karena kelahirannya berada pada masa kejayaan kesusasteraan. Salah satu implikasinya adalah klaim bahwa Alquran telah mengalami evolusi sejalan dengan waktu sehingga Alquran yang dipahami muslim sekarang ini bukan kitab yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad lebih dari 1.400 tahun lalu. Tentu saja, pemahaman John Wansbrough tersebut sangat menyimpang dari sisi pemahaman normatif kaum muslimin. Lantas, siapa Andrew Rippin? Dia adalah salah seorang murid John Wansbrough. Rippin melakukan kajian tafsir teks dengan skeptisme Wansbrough. Otoritas Itu Telah kita rasakan, kecuali berusaha "melemahkan" Alquran, kaum liberal mengerdilkan otoritas ulama. Padahal, siapa pun tahu, di lapangan hidup apa saja, mesti ada otoritas dalam menilai sesuatu. Di bidang kesehatan, hanya dokterlah yang punya otoritas untuk menilai seseorang itu sakit atau tidak. Begitu juga, di aspek keagamaan. Untuk Islam, yang memiliki otoritas menentukan tafsir (tentu saja termasuk menetapkan sebuah aliran itu sesat atau tidak) adalah ulama, yaitu ulama yang istikamah dan bukan ulamaus-su'/ulama jahat. Bukankah ulama itu penerus para Nabi? Sekali lagi, "ulama adalah ahli waris para Nabi" (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dengan posisi itu, ulama menjalankan fungsi kenabian seperti mendampingi umat menuju kehidupan yang islami. Dengan demikian, salah satu peran ulama adalah memberikan fatwa, baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, ide relativisme (tafsir) adalah pemikiran yang tak berdasar. Berbekal "senjata" itu, mereka ingin meniadakan otoritas dalam penafsiran dan mereka tidak mengakui adanya satu kebenaran untuk semua manusia. Tentu saja, itu tak mungkin. Bagi kaum liberal -seperti Boy-, kajian seorang nonmuslim lebih dihargainya daripada fatwa MUI. Maka, berhati-hatilah dengan fenomena "proyek" yang ditujukan "mengurangi' nilai Alquran dan meruntuhkan otoritas ulama. Wallahu a'lam. M. Anwar Djaelani, dosen STAIL Pesantren Hidayatullah, Surabaya [Non-text portions of this message have been removed]