* Saya tau buku ini gara2 nonton Kick Andy. BErebut gratisan di 
website kick-andy, gak dapet. Nungguin Masarcon ngirimin gak dikirim-
kirim. Ya akhirnya beli juga deh setelah harganya naik dari 40rb 
menjadi 60rb sekarang

** Filmnya, insyaallah aku mau nonton. Mo ngebandingin aja antara 
buku dan film. Biasanya sih kesannya pasti beda antara baca dan 
nonton film. Kalo nonton film gak ada gaya diskripsi ala Andrea yang 
buat saya senyum2, spt "kambing yang snewen ingin kawin", bagaimana 
menggambarkan ampuhnya pil APC, "buat apa pula dikunci?", 
membandingkan pak Harfan dengan Tom Hanks, dan masih banyak lagi.

***Abis baca novel tsb trus melotot di milis ini, tiba2 saja saya 
jadi membandingkan tokoh sesepuh pendiri Sekolah Muhammadiyah itu 
(termasuk pak Harfan) dengan tokoh MGA...he..he. Yang satu gak ada 
subsidi dari manapun, yang satu subsidi dari Ratu Inggris. Ya 
bedalah yau !

****yup. Bravo Andrea! Mo ngelanjutin baca.

wassalam,
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "L.Meilany" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Mau dibikin filmnya juga oleh Miles.
> Maap sebaris.
> 
> Salam
> l.meilany
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: masarcon 
>   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
>   Sent: Tuesday, November 13, 2007 1:20 PM
>   Subject: [wanita-muslimah] Re: Laskar Pelangi: Bab 3: Inisiasi
> 
> 
> 
>   wah, mbak Lina penggemar laskar pelanginya andrea hirata yah. 
novel 
>   ketiga andrea, edensor baru masuk finalis khatulistiwa literary 
>   award lho ...
> 
>   salut deh buat mang andrea. :D
> 
>   http://papabonbon.wordpress.com/2007/08/16/andrea-hirata-edensor/
> 
>   --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Lina Dahlan" 
>   <linadahlan@> wrote:
>   >
>   > 
>   > Tak usah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah 
salah 
>   > satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di 
seantero 
>   > negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang 
>   > senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
>   > 
>   > Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD 
Muhammadiyah 
>   dan 
>   > sore untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini 
>   > bercokol selama sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-
>   kelas 
>   > yang sama, bahkan susunan kawan sebangku pun tak berubah 
selama 
>   > sembilan tahun SD dan SMP itu.
>   > 
>   > Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah 
ke 
>   > sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami 
juga 
>   tak 
>   > punya kotak P3K. Jika, kami sakit, sakit apapun: diare, 
bengkak, 
>   > batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan 
sebuah 
>   > pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas 
>   hujan, 
>   > yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa 
kenyang. 
>   > Pada pil itu ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang 
legendaris 
>   > di kalangan rakyat pinggiran Belitong. Obat ajaib yang bisa 
>   > menyembuhkan segala rupa penyakit.
>   > 
>   > Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual 
>   > kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin 
>   > berkunjung hanyalah seorang pria yang berpakaian seperti 
ninja. Di 
>   > punggungnya tergantung sebuah tabung alumunium besar dengan 
selang 
>   > yang menjalar ke sana ke mari. Ia seperti akan berangkat ke 
bulan. 
>   > Pria ini adalah utusan dari Dinas Kesehatan yang menyemprot 
sarang 
>   > nyamuk dengan DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti 
>   > kebakaran hebat, kamipun bersorak sorak kegirangan.
>   > 
>   > Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang 
>   layak 
>   > dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu 
sekolah 
>   > adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah 
papan 
>   > tulis hijau yang tergantung miring di dekat bekas tungku. Di 
papan 
>   > tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar 
>   > berwarna putih. DI tengahnya tertulis : SD MD, Sekolah Dasar 
>   > Muhammadiyah.
>   > 
>   > Lalu persis di bawah (gambar) matahari tadi tertera huruf-
huruf 
>   arab 
>   > gundul yang nanti setelah kelas dua, setelah aku pandai 
membaca 
>   > huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu berbunyi "amar makruf 
nahi 
>   > mungkar" artinya "menyuruh kepada yang makruf dan mencegah 
dari 
>   yang 
>   > mungkar". Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata 
itu 
>   > melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang 
>   begitu 
>   > kami kenal seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
>   > 
>   > Jika dilihat dari jauh sekolah kami akan tumpah karena tiang-
tiang 
>   > kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. 
Maka 
>   > sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan 
yang 
>   > menyalahi prinsip-arsitektur ini menyebabkan tak ada daun 
pintu 
>   dan 
>   > jendela yang bisa dikunci karensa sudah tidak simetris dengan 
>   rangka 
>   > kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
>   > 
>   > Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi 
kali-
>   > kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas SD. Kami juga 
tidak 
>   > memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, 
atau 
>   > gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu 
>   menoleh 
>   > ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah 
poster, 
>   > persis dibelakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di 
>   dinding 
>   > papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria 
berjanggut 
>   > lebat, memakai jubah, dan ia memegang sebuah gitar penuh gaya. 
>   > Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan 
hidup 
>   > yang mahadasyat.Dibagian bawah poster itu terdapat baris 
kalimat 
>   > yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan 
sudah 
>   > pintar membaca, aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah : 
>   RHOMA 
>   > IRAMA, HUJAN DUIT!
>   > 
>   > Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang 
>   > sekolah yang atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, 
>   atau 
>   > yang kalau malam dipakai untuk menyimpan ternak, semua telah 
>   dialami 
>   > oleh sekolah kami. Lebih menarik membicarakan tentang orang-
orang 
>   > seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya bertahan di 
sekolah 
>   > macam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak 
K.A. 
>   > Harfan Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. 
>   > Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
>   > 
>   > Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. 
>   > Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat 
berwarna 
>   > kecoklatan yang kusam dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip 
Tom 
>   > Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampat 
di 
>   > sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu 
manusia 
>   > dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita 
bertanya 
>   > tentang jenggotnya yang awut-awutan, beliau tidak akan repot-
repot 
>   > berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana 
>   Muhammad 
>   > Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A yang berjudul "Keutamaan 
>   > Memelihara Jenggot". Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan 
>   > merasa malu sudah bertanya.
>   > 
>   > K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. 
>   mengalir 
>   > dalam garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama 
puluhan 
>   > tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada 
garda 
>   > depan pendidikan disana. Pak Harfan telah puluhan tahun 
mengabdi 
>   di 
>   > sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif 
syiar 
>   > Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija 
di 
>   > pekarangan rumahnya.
>   > 
>   > Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti 
berwarna 
>   > hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas 
warna 
>   > hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di 
>   > beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang yang 
lusuh 
>   > karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastic 
murahan 
>   > bermotif ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu 
banyak 
>   > berderet-deret, mungkint elah dipakais ejak beliau berusia 
belasan.
>   > 
>   > Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu, maka 
>   ketika 
>   > pertama kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak 
>   kuat 
>   > mental bisa-bisa langsung terkena sawan. Namun, ketika beliau 
>   angkat 
>   > bicara,t ak dinyana, meluncurlah mutiara-mutiara nan putis 
sebagai 
>   > prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di 
>   > sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat 
singkat 
>   > beliau telah merebut hari kami. Bapak yang jahitan kerah 
kemejanya 
>   > telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta 
pasangan-
>   > pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
>   > 
>   > "Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan 
datang.," 
>   > demikian ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
>   > 
>   > "Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga 
mereka, 
>   > hingga mereka musnah dilamun ombak."
>   > 
>   > Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama 
>   > bagiku: Jika tak rajin sholat, maka pandai-pandailah berenang.
>   > 
>   > Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan 
besar 
>   > zaman Rasulullah SAW di mana kekuatan di bentuk oleh iman 
bukan 
>   oleh 
>   > jumlah tentara: Perang Badar. Tiga ratus tiga belas tentara 
Islam 
>   > mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap dan bersenjata 
>   lengkap.
>   > 
>   > "Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke 
tempat-
>   > tempat kematian kalian dalam masa tiga hari!" Demikian Pak 
Harfan 
>   > berteriak lantang sambil menatap langit melalui jendela kelas 
>   kami. 
>   > Beliau memekikkan firasat mimpi seorang penduduk Mekkah, 
firasat 
>   > kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.
>   > 
>   > Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat 
>   duduk. 
>   > Kami ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan 
>   > benang-benang halus dalam kalbu kami. Kami menanti liku demi 
liku 
>   > cerita dalam detik-detik menegangkan dengan dada berkobar-
kobar 
>   > ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan 
>   > mendinginkan suasana dengan berkisah tentang penderitaan dan 
>   tekanan 
>   > yang dialami seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di 
>   tahun 
>   > 1929 tokoh ini bersusah payah, seperti kesulitan Rasulullah 
ketika 
>   > pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah dari jerjak kayu 
bulat 
>   > seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian 
>   muncul 
>   > para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid an Ibrahim bin Zaidin yang 
>   > berkorban habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu 
menjadi 
>   > sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama 
di 
>   > Belitong, bahkan mungkin di Sumatera Selatan.
>   > 
>   > Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang Badar 
>   > sekaligus setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada 
setiap 
>   > pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam 
pengaruh 
>   > lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria 
>   yang 
>   > kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, 
>   > berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, 
dan 
>   > menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara 
menjelaskan 
>   > sesuatu agar setiap orang mengerti.
>   > 
>   > Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, 
tipikal "guru" 
>   yang 
>   > sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya, India, yaitu orang 
>   yang 
>   > tak hanya mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara 
>   > pribadi menjadi sahabat dan pembimbing spiritual bagi 
muridnya. 
>   > Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan kedua ujung 
meja 
>   > sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua 
>   > tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
>   > 
>   > Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil 
mendekati 
>   > kami, menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang 
teduh 
>   > seolah kami adalah anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu 
>   > membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir dengan lancar 
ayat-
>   > ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai 
hati 
>   kami 
>   > dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih 
>   > merindu, indah sekali.
>   > 
>   > Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana 
>   > melalui kata-katanya yang ringan namun bertenaga seumpama 
titik-
>   > titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat kami untuk 
belajar 
>   dan 
>   > membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang keberanian 
>   pantang 
>   > menyerah melawan kesulitan apapun. Pak Harfan memberikan kami 
>   > pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang 
ketekunan, 
>   > tentang keinginan kuat untuk mencapai ciata-cita. Beliau 
>   meyakinkan 
>   > kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika 
>   > dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama. Lalu beliau 
>   > menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke 
>   dalam 
>   > dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa yaitu "hiduplah 
>   untuk 
>   > memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-
>   banyaknya.
>   > 
>   > Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria 
ini 
>   > buruk rupa dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi 
>   > pemikirannya jernih dan kata-katanya bercahaya. Jika ia 
>   mengucapkan 
>   > sesuatu kamipun terpaku menyimak dan tak sabar menunggu 
untaian 
>   kata 
>   > berikutnya. Tiba-tiba aku merasa beruntung didaftarkan 
orangtuaku 
>   di 
>   > sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan 
karena 
>   > orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan 
paling 
>   > dasar bagiku. Aku merasa amat beruntung berada di sini, di 
tengah 
>   > orang-orang yang luar biasa ini. Ada keindahan di skolah Islam 
>   > melarat ini. Keindahan yang tak kan ku tukar dengan seribu 
>   kemewahan 
>   > sekolah lain.
>   > 
>   > Setiap kali Pak Harfa ingin menguji apa yang telah 
diceritakannya 
>   > kami berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung 
meskipun 
>   > beliau tak bertanya, dan kami mengacung walaupun kami tak 
pasti 
>   akan 
>   > jawaban. Sayangnya bapak penuh daya tarik ini harus mohon 
diri. 
>   Satu 
>   > jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami mengikuti setiap 
inci 
>   > langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat 
tak 
>   > lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. 
Beliau 
>   > telah membuat kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum 
dari 
>   Pak 
>   > Harfa di hari pertama kami masuk SD MUhammadiyah langsung 
>   > menancapkan tekad dalam hati kami untuk membela sekolah yang 
>   hampir 
>   > rubuh ini, apapun yang terjadi.
>   > 
>   > Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan 
>   > akhirnya tibalah giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia 
>   masih 
>   > terisak. Ketika di minta ke depan kelas ia senang bukan main. 
>   > Sekarang dis ela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyang-
>   goyangkan 
>   > tubuhnya . Tangan kirinya memegang botol air yang kosong - 
karena 
>   > isinya ditumpahkan Sahara - dan tangan kanannya menggenggam 
kuat 
>   > tutup botol itu.
>   > 
>   > "Silakan Ananda perkenalkan nama dan alamat rumah." pinta Bu 
Mus 
>   > lembut pada anak Hokian itu.
>   > 
>   > A kIong menatap Bu mUs dengan tagu kemudian ia kembali 
tersenyum. 
>   > Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin 
>   > menyaksikan anaknya beraksi. Namun, meskipun berulang kali 
ditanya 
>   A 
>   > Kiong tidak menjawab sepata katapun. Ia terus tersenyum dan 
hanya 
>   > tersenyum saja.
>   > 
>   > "Silakan Ananda.," Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
>   > 
>   > Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali 
tersenyum. 
>   Ia 
>   > berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Akud 
apat 
>   > membaca pikiran ayahnya,"Ayolah anakku, kuatkan hatimu, 
sebutkan 
>   > namamu! Paling tidak sebutkan nama bapakmu ini, sekali saja! 
>   Jangan 
>   > bikin malu orang Hokian!" Bapak Tionghoa berwajah ramah ini 
>   dikenal 
>   > sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah dalam 
>   kelas 
>   > sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
>   > 
>   > Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih saja tetap 
>   > tersenyum. Bu Mus membujuknya lagi.
>   > 
>   > "Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, 
jika 
>   > belum bersedia maka harus kembali ke tempat duduk."
>   > 
>   > A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak 
menjawab. 
>   Ia 
>   > tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran 
moral 
>   > nomor dua: Jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang 
tinggal 
>   > di kebun. Maka berakhirlah perkenalan di bulan Februari yang 
>   > mengesankan itu.
>   >
> 
> 
> 
>    
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke