SETELAH SEPEREMPAT ABAD [3]

Oleh JJ:. Kusni*


2. Kemandirian:


Unsur kedua yang tersimpan dibalik pendirian dan pengembangan Koperasi Restoran 
Indonesia, sebatas pemahaman saya, adalah faktor semangat kemandirian, . yang 
barangkali, jika menggunakan istilah Bung Karno, bisa dikatakan sebagai 
semangat "berdiri di atas kaki sendiri"[berdikari]. Bagaimana tidak saya sampai 
pada pemahaman begini ketika merenungi praktek 25 tahun Koperasi ini?


Para pendirinya datang ke Perancis untuk mencari negeri berlindung sebagai 
suaka politik. Uang di kocek kurang dari pas-pasan. Untuk sewa apartemen dan 
hidup sehari-hari pun kurang dari pas-pasan. Jika menggunakan cara orang Jawa 
berkata: "Masih untung kita orang Indonesia biasa hidup dengan uang pas-pasan" 
atau dengan ungkapan orang Belanda "bangsa yang bisa hidup dari uang 
sebenggol". Bisa hidup dari nasi dan garam saja. Tunjangan dari Jawatan 
Penggangguran yang didapatkan berkat kertas dari OFRA [Organisasi Perancis 
untuk Pencari Suaka dan Yang Terlempar dari Tanahair] sangat minim dan tidak 
langgeng. Berbeda dengan dugaan sementara orang di Indonesia yang membayangkan 
kami nyaman karena makan keju dan roti. Sementara harga singkong 6 cm lebih 
mahal dari sebungkus keju dan sebotol susu.


Ijazah akademi -- bagi yang sempat membawanya -- tidak pasti laku dan 
diseterakan bagi orang kulit berwarna , khusus pencari Indonesia yang dicap 
komunis.Apalagi kami datang pada saat golongan kanan berkuasa, kecuali bagi 
sementara teman yang datang kemudian secara "lenggang kangkung" ketika golongan 
kiri berkuasa [Mei 1981, Mitterrand terpilih jadi presiden menggantikan Giscard 
d'Estaing], dan sudah ada teman yang mendahului mereka, walau pun  Bung Umar 
Said dan saya sempat dipanggil pihak  kepolisian sesudah kedatangan teman-teman 
yang datang secara "lenggang kangkung" ini dengan dugaan melakukan "perdagangan 
manusia".


Dalam keadaan begini, dengan semangat dan dipaksa bertarung, kami dipaksa untuk 
bertarung mencari jalan menjamin kehidupan tanpa tergantung pada bantuan 
pemerintah Perancis, terutama bagi pekerjaan bagi teman-teman lanjut usia yang 
datang belakangan dengan syarat lebih gampang. Kami yang datang lebih dahulu, 
relatif sudah mendapat sandaran ekonomi betapa pun sederhananya. 


Untuk mengatasi hal ini, kami berdiskusi mencari jalan keluar dan berkputusan 
untuk membangun Koperasi Restoran Indonesia. Dengan membangun restoran, kita 
bisa menyerap banyak tenaga kerja dan cash flownya bersifat segera. Masalah 
berikutnya: Darimana dan bagaimana mendapat modal sementara kita sendiri sangat 
tidak mungkin memodalinya. Untuk keperluan ini, maka disusunlah suatu rencana 
usulan dan rentabilitasnya di mana Bung Umar Said, sebagai orang kedua suaka 
politik Indonesia di Perancis, menyusunnnya dengan memetik pengalaman Perancis 
dan bantuan teman-teman Perancis. Ide yang terumuskan dalam proyek usulan 
inilah yang kemudian dijual ke pemerintah, LSM-LSM internasional dan 
teman-teman seluruh dunia yang berisimpati terhadap Indonesia serta anti 
militerisme. Dalam menjual "proposal" ini, yang dijadikan kartu as atau trup 
adalah kata "suaka poilitik", mengatasnamai semua teman yang mencari status 
suaka politik dan sudah mendapat status suaka politik. Tanpa menggunakan "dua 
kata majik ini, rasanya tidak mungkin lahir yang sekarang dikenam "Koperasi 
Restoran Indonesia". Benar bahwa masing-masing individu terkait memberi 
sumbangan sesuai kemampuan, tapi adalah keliru memandang bahwa lahirnya 
Koperasi Restoran Indonesia, yang merupakan panji bersifat khusus di Eropa pada 
masa Orba, sebagai karya dan jasa invidual. Koperasi Restoran Indonesia Paris 
bisa berlangsung sampai 25 tahun, bukan tergantung pada satu dua individu tapi 
berkat kebersamaan. Adalah keangkuhan tak tahu diri individualis, manipulator 
narsis, jika mau jujur, yang menganggap dan merasakannya demikian. Hanya orang 
rabun yang tak tak tahu apa-apa tentang sejarah dan perkembangan Koperasi ini 
bisa bertahan dan berkembang jika berpandangan demikian. Dua puluh lima  tahun 
bersama, memberikan cukup waktu untuk mengenal kekuatan dan kelemahan 
masing-masing anggota Koperasi. Yang selalu kami usahakan adalah menggunakan 
unsur positif dari masing-masing. Jika di sini ada "pahlawan", maka ia adalah 
kebersamaan dan keterbukaan tanpa tedeng aling-aling. Maka adalah satu 
kesalahan dan dusta besar individualis pengejar nama, narsis, jika ada yang 
menganggap bahwa Koperasi Restoran Indonesia di Paris ini sebagai milik dan 
jasa pribadinya sampai ia bisa bertahan 25 tahun. Secara teori dan kenyataan, 
pandangan dan sikap begini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan melawan 
kenyataan. Dengan kata-kata ini, saya hanya ingin menempatkan masalah di tempat 
sebenarnya, baik secara teori mau pun kenyataan tanpa memasuki rinciannya. 
Hubungan antara individu dan massa adalah suatu masalah teoritis. Juga yang 
disebut pahlawan.


Koperasi Restoran Indonesia, yang mestinya bisa berkembang lebih jauh, adalah 
ujud dari kemandirian kolektif. Benar, bahwa dalam kemandirian kolektif ini , 
sumbangan individual ada yang besar dan ada yang kecil, tapi seperti kata 
Chairil Anwar: "semuanya patut dicatat", "semuanya dapat tempat", menggunakan 
kata-kata Ho Chi Minh : "bendera kecil dan besar semua dihitung" [lihat: 
antologi pusi: "Catatan Harian Di Penjara"].  Pahlawan pun lahir tak lepas dari 
massa dan tuntutan zaman. Massa, dalam pandanganku, tetap pahlawan sejati. 
Pahlawan adalah primus inter pares yang dilahirkan massa dan zaman. 


Semangat kemandirian melahirkan dan merupakan ujud martabat serta harga diri 
sebagai anak manusia. Diplomasi dan lobbi pun berfungsi pada saat ada martabat, 
harga diri dan kekuatan diri sendiri yang mandiri. Tanpa kekuatan diri dan 
kemandirian, lobbi dan diplomasi hanya menjual abab dan gelembung sabun. Ini 
juga berlaku dengan lahir dan berkembangnya Koperasi Restoran Indonesia Paris. 
Sama sekali tak ada hubungannya dengan nama tokoh salah satu partai politik apa 
pun. Sebagai usaha produktif dan menciptakan kerja untuk diri sendiri sekaligus 
pusat kebudayaan Indonesia, Koperasi tak berurusan dengan partai dan nama 
pimpinan politik apa pun. Tak pernah ada poster politik atau LSM internasional 
dipajangkan kecuali bendera Merah Putih dan Garuda Indonesia.  


Jika mau mencari contoh lain tentang hasil kemandirian ini, barangkali bisa 
dilihat juga pada lahirnya Pulau Buru yang sejak kedatangan para tapol yang 
dituduh PKI. Buru baru dibangun oleh para tapol dengan dua tangan kosong. Dari 
contoh ini, barangkali kita bisa mereka dan membayangkan Indonesia yang lain 
bida dibangun dengan semangat mandiri/berdikari [bukan autakarki] tanpa menjadi 
bangsa koeli dan budak, entah budak dan koeli dari IMF atau Bank Dunia. 
Individualisme adalah awal kediktatoran, dan sisa dari paternalisme, sekeluarga 
dengan feodalisme, militerisme dan orangtuaisme yang sering menggunakan 
selubung dan jubah "kiri". Di mulut sering kita menyatakan bahwa kita anti 
semua ini, tapi dalam praktek kita melakukannya."Lain di bibir lain di hati", 
karena "lidah tak bertulang", ujar tetua kita menyimpulkan pengalaman.


Bung Umar Said dan saya sendiri, yang sudah mendapat pekerjaan, betapa pun 
sederhananya,  untuk mendapatkan bantuan pemerintah guna mendirikan koperasi 
restoran ini, sukarela menganggurkan diri. Karena di sini ada kolusul 
undang-undang bahwa pemerintah Perancis akan membantu para penganggur yang 
berprakarsa menciptakan pekerjaan sendiri. Pengangguran diri sukarela ini, 
dimaksudkan sebagai salah satu cara mencarikan modal awal mendirikan koperasi 
restroan. 


Hal ini terpaksa saya katakan untuk menjawab heroisme individualis sebagai sisa 
pola pikir, konsepsional, dan mentalitas tak sehat karena keterbatasan 
pandangan dan ketidaktahuan sehingga sanggup mengabaikan kenyataan, lalu omong 
asal omong.  Dari segi ini , saya melihat bahwa lahir dan berkembangnya 
Koperasi Restoran Indonesia, sekaligus sebagai ujud dari ajang pergulatan 
pikiran, pola pikir, mentalitas, sikap dan tafsir hakiki.


Semangat kemandirian yang lahir dari keadaan dan keinginan menghargai diri 
sendiri serta menjaga martabat diri, memberikan akal dan prakarsa agar kita 
menolak menyerah menarungi garangnya hidup. Tegak sebagai tokoh Rukmanda-nya 
Kalara Akustia.


Sekarang, saya merenung dan bertanya, apakah semangat kemandirian/ berdikari, 
merupakan sikap kadualuwarsa untuk keluar dari kemelut negeri dan bangsa 
sekarang? Ataukah suatu jalan keluar yang layak dipikir ulang?  


Sejak hampir tiga puluh tahun, di Pontianak kami menjawab kongkret pertanyaan 
ini melalui kegiatan-kegiatan Konsursium Pancur Kasih, yang bisa dibilang 
bergiat  lebih dahulu dari Moh. Yunus, penerima Nobel dari  Bangladesh, dan 
mendapatkan hasil-hasil nyata yang tidak mengecewa, hanya kurang pemberitaan. 
Bertolak dari praktek-praktek ini, termasuk dalam praktek mendirikan dan 
mengembangkan Koperasi Restoran Indonesia Paris, serta apa yang pernah saua 
rintis ketika bekerja di Indonesia selama beberapa tahun, saya masih mengatakan 
bahwa Indonesia tetap sebagai suatu negeri di mana kita tetap bisa berharap 
betapun amburadulnya sekarang.Kiranya tidak ada alasan pesimis jika kita 
percaya pada rakyat Indonesia sebagai bangsa yang mampu dan berkebolehan serta 
bisa mencari jalan keluar dari kemelutnya? Jika kita bisa tidak buta aksara dan 
bisa membaca? Kemandirian , harga diri dan martabat diri menyusur jalan 
Republik dan berkeindonesiaan, adalah arah dari suatu pilihan politik 
penyelenggara Negara. Barangkali! Di Paris, Koperasi Indonesia sudah 
melakukannnya dan sampai sekarang bisa serta tanggap zaman. Koperasi di tengah 
sistem kapitalistik atau Negara Kesejahteraan! Di Kalbar dan sekarang mulai 
menyebar ke seluruh Kalimantan usaha serupa mulai menyebar tanpa menunggu 
Jakarta.***



Paris, Npvember 2007
-----------------------------
JJ.Kusni


* JJ. Kusni, salah seorang pendiri Koperasi Restoran Indonesia, 12 rue de 
Vaugirard,7506 Paris. 


Keterangan:
Foto terlampir melukiskan wajah depan Koperasi Restoran Indonesia, 12 rue 
Vaugirard, 75006  Paris.


[Bersambung....]

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke