Surat Dari Montmartre:


NOVEL "SAMAN" EDISI PERANCIS, DILUNCURKAN 
DI KOPERASI RESTORAN  INDONESIA PARIS



Di tengah-tengah  diskusi antar meja dan dengan Ayu Utami, begitu melihat 
peluang,   kepada Sebastian Fomaruli dari Penerbit Flammarion, saya tanyakan, 
bagaimana mereka mengenal karya Ayu Utami dan kemudian berkeputusan menerbitkan 
novel "Saman" karya Ayu Utami? Secara tertulis kemudian saya tanyakan,  mengapa 
mereka tertarik pada karya sastra Indonesia dan bagaiamana rencana mereka 
selanjutnya dalam menerbitkan karya-karya sastra Indonesia?


Menjawab pertanyaan ini, Sebastian mengatakan bahwa Penerbit Flammarion, 
mengenal Ayu Utami dan "Saman" melalui seorang wartawan Perancis -- tanpa 
mengatakan secara persis siapa wartawan itu -- yang membuat laporan tentang 
Indonesia.  Bagaimana wartawan ini menaruh perhatian pada sastra kekinian 
Indonesia, Sebastian pun tidak memberikan penjelasan lebih jauh. Hanya saja 
seingat saya, ketika Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia, pada November 
2004 menyelenggarakan "Hari Sastra Indonesia" di Paris, pertemuan yang didukung 
oleh lembaga-lembaga resmi dan swasta melalui lobbi kuat Johanna Lederer,  
hadir beberapa penerbit besar Perancis, antara lain Gallimard dan juga jika 
ingatan saya benar, wakil dari Flammarion. Hasil  "Hari Sastra Indonesia 
November 2004" dikonsolodasi dengan seminar sastra tentang André Malraux dan 
Edward du Perron dalam hubungannya dengan Indonesia,  di Universitas Sorbonne, 
dan Temu Sastra di Senat 2006, di mana Ayu Utami bersama Seno Gumira hadir, 
agaknya sedikit-banyak bisa menarik perhatian para penerbit utama Perancis.  
Masalah menarik  yang diangkat dalam "Hari Sastra Indonesia Paris November 
2004" adalah para pakar sastra dan Indonesianis Perancis serta Belanda 
menunjukkan hubungan di dunia sastra antara Perancis-Belanda-Indonesia 
berlangsung jauh semenjak zaman filosof Diderot. Keterangan para ahli tentang 
sastra Indonesia yang demikian, barangkali membuat para wakil penerbit yang 
hadir makin melirik ke Indonesia, apalagi pada waktu itu Gallimard menerbitkan  
novel "Gadis Pantai" karya Pramoedya A. Toer.  Kegiatan yang bersifat 
pemerkenalan dan  lobbi serta membuka pintu perhatian pasar bagi sastra, 
kiranya dalam konteks hubungan Indonesia-Perancis diperlukan mengingat hubungan 
sejarah antar kedua negeri  Perancis-Indonesia berbeda dengan negeri-negeri 
Indochina.  Diterbitkannya novel "Saman" karya Utami edisi bahasa Perancis 
tahun ini, saya lihat sebagai konsolidasi lebih lanjut, sekaligus buah dari 
usaha-usaha bidasan di atas, yang membuka peluang lebih besar lagi bagi sastra 
Indonesia di Perancis. Para Indonesianis Perancis dalam beberapa kali pertemuan 
"Pasar Malam" sering mengatakan bahwa tenaga dan kemampuan Perancis 
menterjemahkan karya-karya sastra Indonesia sungguh tidak kurang. Masalahnya 
kemudian, yang mungkin perlu dipertimbangkan oleh para sastrawan Indonesia, 
adalah kelayakan karya-karya mereka diterjemahkan. Penterjemahan karya-karya 
sastra Indonesia ke dalam bahasa Perancis, jika berbicara tentang Perancis 
sebagai negeri sastra-seni, saya kira akan erat tautannya dengan kemampuan 
saing karya-karya itu dengan karya-karya sastra Perancis. Ayu Utami dengan 
novel "Saman"nya berhasil masuk gelanggang. Saya kira barangkali terbitnya 
novel "Saman" edisi bahasa Perancis ini merupakah hasil penting bukan hanya 
bagi Ayu Utami tapi juga bagi sastra kekinian Indonesia angkatan Ayu Utami. 
Sebelumnya, yang mendominasi dan menarik perhatian para penerbit Perancis, 
terutama karya-karya Pramoedya A. Toer berbarengan dengan kampanye tentang Pram 
di dunia internasional oleh orang-orang Indonesia di luar negeri.  Laporan para 
wartawan Perancis tentang Pram pun sangat sering disiarkan di harian-harian 
nasional Perancis. Pram pun tidak asing bagi kalangan elite penyelenggara 
negara Perancis dan kemudian ia mendapat bintang jasa "Légion d'Honneur" dari 
pemerintah Perancis.


Penerbitan "Saman" edisi bahasa Perancis oleh Flammarion, barangkali bisa juga 
dipahami sebagai makin terbukanya negeri sastra-seni ini bagi karya-karya 
sastra Indonesia. Kecuali itu, terbitnya "Saman" edisi Perancis, merupakan 
tantangan menagih jawab kepada para sastrawan kita.   Ketika memperoleh 
kesempatan berbicara pada peluncuran "Saman", saya memberanikan diri 
mengusulkan agar para penerbit utama Perancis menaruh perhatian pada 
karya-karya penulis lain seperti misalnya Lan Fang, yang karya-karyanya selain 
berbicara tentang soal femininisme, juga beranjak dari warna lokal serta 
keragaman. Masalah yang menjadi salah satu soal utama Perancis sampai 
dimasukkannya Alexandre Dumas ke makam putera-puteri terbaik "Pantheon".  Lan 
Fang, sekali pun berbicara tentang masalah etnik dan lokal, tapi seperti yang 
dinyatakannya dalam makalahnya di Kongres Nasional Cerpen, Banjarmasin Oktober 
2007 baru-baru ini,  dan juga delapan novelnya, ia keluar dari kesempitan 
etnisitas dan lokalitas.  Dengan mengatakan ini, yang ingin saya katakan bahwa 
dunia sastra Indonesia kekinian menyimpan sekian banyak potensi. Ayu Utami, 
suka atau tidak suka, dengan segala kritik kepadanya,   hanyalah salah salah 
ikon pentingnya yang mulai dikenal dunia internasional. 


Sekali pun Sebastian Fomaruli tidak menjawab pertanyaan saya secara jelas, tapi 
berbarengan dengan kerja lobbi, pemerkenalan, laporan, didukugn oleh mutu karya 
bertaraf dunia, Perancis  tidaklah lagi negeri asing dengan pintu tertutup bagi 
sastra kekinian Indonesia. Ayu Utami adalah salah satu buktinya. Acara di 
Intitute Néerlandais Paris pada tanggal 14 Desember 2007 tentang "Sastra 
Indonesia" yang didukung oleh para pakar sastra serta Indonesianis Belanda dan 
Perancis, merupakan langkah lanjut lagi dari kegiatan lobbi membuka pintu dan 
pemerkenalan sastra Indonesia.


Kentongan sastra Indonesia di Eropa Barat telah dibunyikan, sedang dan terus 
ditabuhi. Para penerbit sekali pun dan justru dengan orientasi komersialnya, 
tidak pekak serta menajamkan telinga. Apakah para sastrawan kita mempunyai 
telinga mendengar suara tuntutan kentongan sastra berkadar dunia?


Paris, Desember 2007.
-----------------------------
JJ. Kusni, pekerja di Koperasi Restoran Indonesia, Paris.


[Berlanjut....]


Keterangan Foto:
Ayu Utami dalam Temu Sastra yang diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan 
Perancis-Indonesia  "Pasar Malam" di Gedung Senat Perancis, Paris, tahun 2006. 
Seperti biasa dalam kegiatan ini Koperasi Restoran Indonesia Paris yang 
terletak hanya beberapa ratus meter dari Gedung Senat, turut memberikan yuran 
sesuai kemampuannya. [Dok. dan foto  JJK].

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke