2.  Dan untuk yang ada di Radar Cirebon ini naskahnya aslinya:
Radar Cirebon, Senin 17 Desember 2007 Kolom Opini

Ahmadiyah Buka Pintu Dialog
Basyir Ahmad Suwarto*)

KESEDIHAN, keprihatinan menyaksikan peristiwa penyegelan terhadap tiga
mesjid Ahmadiyah di Desa Manislor (13/4) tak dapat dielakkan.
Siapapun
yang masih punya kesadaran akan hak-hak azasi manusia (HAM) pasti akan
merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak? Tergambar dari guratan
wajah-wajah Ibu-ibu Ahmadiyah,yang mengekspresikan penolakan
penyegalan mesjid dengan doa dan isak tangis dibarengi doa, tahlil
dan
takbir. Kesedihan bertambah ketika melihat ratusan murid-murid SMP
Amal Bakti menangis haru demi mendengar kabar bahwa sekolah mereka
juga akan disegel. Mereka sekali lagi hanya bisa pasrah pada Yang
Kuasa, merelakan mesjidnya disegel oleh aparat negara.

Penolakan ini bisa dipahami, karena mesjid yang disegel selama ini
menjadi ruang bagi warga ahmadi di Manislor untuk menjalankan
aktifitas keagamaan mereka. Tak hanya itu banyak aktifitas sosial
lainnya juga dilaksanakan di mesjid-mesjid yang disegel. Mesjid tak
hanya digunakan untuk beribadah, kegiatan madrasah juga dilaksanakan
di mesjid. Kini dengan ditutupnya mesjid, bagaimana anak-anak ahmadi
mendapatkan bekal ilmu agama yang cukup?

Tidak kali ini saja mereka mendapatkan perlakuan tidak adil. Lima
tahun terakhir (2002-2007) tercatat sedikitnya ada dua kali kekerasan
dan teror yang menimpa warga muslim ahmadi di Manislor. Tahun 2002 dan
tahun 2005, puluhan rumah dan mesjid milik warga muslim Ahmadiyah
mengalami kerusakan berat akibat penyerangan yang dilakukan massa
penentangnya. Kejadian perusakan dan teror yang berlangsung lama jelas
menimbulkan dampak psikologis yang mendalam berupa trauma bagi
sebagian warga muslim Ahmadiyah.

Adanya spanduk yang berisikan seruan jihad melawan Ahmadiyah dan
penghalalan darah warga Ahmadiyah sudah merupakan teror bagi warga
Ahmadiyah yang dalam kehidupan sehari-harinya menjunjung moto "Love
For All Hatred For None" (Cinta untuk semua tak ada benci bagi
siapapun). Karena itulah salah satu hasil dialog pemerintah dan
Pengurus Ahmadiyah sebelum penyegelan, pengurus Ahmadiyah menuntut
bersamaan dengan penyegalan akan dilakukan penurunan spanduk-spanduk.
Tapi, hingga Sabtu sore (15/12) spanduk masih dibiarkan terpampang
untuk menyebabkan teror dan ancaman. Kenapa pemerintah ingkar janji
dengan tidak menurunkan spanduk-spanduk yang profokativ?

Tak hanya kekerasan dan teror yang diterima warga muslim Ahmadiyah,
mereka juga mendapatkan perlakuan diskriminatif dari aparat
pemerintah
dalam hal pelayanan publik (public service). Pengurus Ahmadiyah
Manislor mencatat, selama kurun lima tahun terakhir (2002-2007)
terdapat 140 pasangan suami istri (pasutri) dari warga muslim
Ahmadiyah yang terpaksa menikah di luar Kabupaten Kuningan. Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) setempat tidak mau menikahkan warga muslim
Ahmadiyah selama mereka masih menjadi anggota organisasi ini. Mereka
mau menikahkan dengan mensyaratkan warga muslim Ahmadiyah harus
membuat surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah. Belum lagi mereka
yang
mau naik haji terpaksa berangkat dari luar Kabupaten Kuningan karena
pendaftaran mereka di tolak hanya karena mereka Ahmadiyah.

Perlakuan diskriminatif aparat pemerintah yang mestinya bertindak
sebagai abdi masyarakat yang adil diperparah dengan keluarnya Surat
Keputusan Bersama (SKB) dari Muspida Kabupaten Kuningan yang melarang
kegiatan Ahmadiyah di seluruh Kabupaten Kuningan. Tak cukup sekali
mereka membuat SKB, ada SKB kedua yang diterbitkan oleh Muspida
Kabupaten Kuningan dengan isi yang tak jauh berbeda dengan SKB I.
Dengan dasar SKB inilah, Pemkab Kuningan melakukan penyegelan terhadap
mesjid-mesjid milik warga muslim Ahmadiyah. Tahun 2005 tercatat ada
sembilan mesjid dan dua bangunan gedung disegel. Sementara aparat
menjadikan SKB sebagai dasar penyegelan, maka kelompok penentang
Ahmadiyah menggunakan SKB untuk melakukan serangkaian teror terhadap
warga muslim Ahmadiyah.

Dalam dua kali penyegalan aparat selalu beralasan bahwa apa yang
mereka lakukan adalah demi menjaga Kuningan agar tetap aman dan
kondusif. Alasan inilah yang berada diluar nalar warga muslim Ahmadi.
Karena selama ini mereka tidak berbuat kriminal yang merugikan orang
lain, tidak pernah melakukan tindakan teror yang membuat warga lain
resah. Ataupun tindakan lain yang merugikan masyarakat dan negara dan
di larang oleh hukum positif negeri ini. Dan yang pasti, tak ada
maling atau perampok atau pelaku kriminal berada di mesjid, sehingga
tak ada alas an mesjid disegel. Dalam benak dan pikiran muslim
Ahmadiyah akan selalu bertanya,"Apa hubungan (relation) antara
penyegelan mesjid dan penciptaan suasana aman dan kondusif di
Kuningan?". Dalam nalar mereka mestinya yang disegel adalah
tempat-tempat maksiat, minuman keras atau tempat lain yang
keberadaannya bisa menimbulkan gangguan sosial. Dan mestinya juga
pelaku teror dan perusakan ditangkap untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya yang telah nyata-nyata merugikan orang lain. Namun
kenyataan pahit yang mereka terima entah dengan alasan apa, sehingga
para pelaku teror dan perusakan yang menimpa tak pernah ditangkap dan
dihukum setimpal sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan.

Namun ditengah ketidakadilan yang diterima, warga muslim Ahmadiyah
tetap menjalankan hubungan sosial sebagai bagian dari proses sosial
dengan baik. Hubungan warga muslim Ahmadiyah dengan mereka yang non
muslim Ahmadiyah berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Bagi muslim
Ahmadiyah perbedaan keyakinan tidak harus menghalangi mereka untuk
menjalin hubungan dengan sesamanya (hamblum minannas). Warga muslim
Ahmadiyah baik sebagai pribadi maupun komunitas (jamaah) dimanapun
mereka berada dituntut untuk selalu memberikan manfaat sosial kepada
lingkungannya. Tanpa bermaksud mengungkit-ungkit kebaikan, di Desa
Manislor tercatat 400 muslim Ahmadiyah yang menjadi anggota donor
darah. Kapanpun diperlukan kantong darah, insya Allah warga muslim
Ahmadiyah siap membantu. Sementara sedikitnya 700 orang sudah
mendaftar untuk menjadi anggota donor mata.

Fakta-fakta diatas menimbulkan pertayaan baru,"Lalu siapa yang dibuat
resah atau merasa resah oleh keberadaan Ahmadiyah? Mestinya
pertanyaan
ini harus dijawab jujur oleh aparat pemerintah, sehingga kemudian
tidak secara gegabah membuat tindakan yang justru merugikan warganya
sendiri apalagi sudah menyangkut penghilangan atau pengurangan hak-hak
sipil mereka yang semestinya harus dilindungi.

Upaya hukum harus selayaknya ditempuh untuk menguji keabsyahan dan
kekuatan hukum SKB. Sementara proses hukum berjalan diperlukan dialog
yang jujur dan sehat dengan melibatkan semua unsur yang berkompeten
dengan masalah ini. Pemerintah harus bisa menjadi penengah yang baik,
ia tidak dalam posisi pemain tapi sebagai wasit yang adil. Saya
optimis dengan jalan dialog masalah yang timbul akibat perbedaan
keyakinan bisa diselesaikan. Dan dialog tidak hanya dilakukan sekali.
Disinilah dibutuhkan kesabaran semua pihak. Dialog yang dilakukan juga
semestinya dilakukan tidak dalam bentuk formal saja, justru dialog
yang bersifat non formal, yang lebih mengedapankan bahasa-bahasa hati,
bahasa kemanusiaan akan mendorong pihak-pihak yang bersebarangan akan
lebih dekat dan bisa memahami perbedaan masing-masing. Dialog
dilakukan bukan dalam proses memaksa salah satu peserta dialog untuk
mau bersepaham. Saya melihat dalam konteks "konflik Ahmadiyah" di
Manislor upaya dialog yang intens belum pernah dilakukan.
Ahmadiyah membuka pintu dialog lebar-lebar. Ahmadiyah selalu siap
berdialog dengan siapapun. Tak hanya itu Ahmadiyah juga siap
bekerjasama dengan elemen masyarakat lain untuk kerja-kerja sosial
atau kemanusiaan.

Saya berterima kasih, jazakumullah akhsanal jaza dengan pesan yang
disampaikan Zaenal Masduqi (Radar Cirebon 14/12). Namun ada beberapa
hal yang perlu mendapat tanggapan. Kami sebagai muslim tidak akan
menghabiskan energi kami apalagi hidup kami untuk 'berbicara fasih'
tentang klaim-klaim kebenaran yang kami yakini. Bagi kami apa yang
kami yakini merupakan bagian dari hak kami. Dan kami juga tidak akan
diam seribu bahasa berkaitan dengan agama apalagi sampai kehilangan
pijakan. Kami sepakat dalam proses dialog semua pihak harus mencoba
tabayyun dan menjadi ahli ilmi yang siap menerima dalil, baik yang
mendukung maupun yang menegasikan, lalu tanyakan pada hati nurani.
Sebenarnya prinsip-prinsip ini yang Ahmadiyah terapkan dalam setiap
dialognya.

Sejauh yang saya ketahui bisa dihitung dengan jari bahkan bisa
dikatakan hampir tidak ada mubaligh ataupun dai Ahmadiyah setelah
melakukan pengkajian mendalam memutuskan keluar dari Ahmadiyah. Justru
yang terjadi sebaliknya, mereka bertambah yakin dengan keyakinan yang
dipercayai. Mengenai fatwa, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia biarlah fatwa ditempatkan sebagaimana mestinya, karena
Indonesia bukanlah negara Islam sebagaimana Republik Islam Iran. Dalam
kontek ini Indonesia tidak bisa dikomparasikan dengan Republik Islam
Iran.

Nah disinilah mestinya kita semua bersikap arif, masyarakat luas harus
diberi pemahaman mengenai fungsi dan kedudukan fatwa. Sosialisasi
tidak terbatas kepada fatwa yang dilahirkan, tapi fungsi dan kedudukan
fatwa juga harus disosialisasikan. Saya yakin sepenuhnya, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di dalamnya adalah ulama-ulama terhormat dengan
kompeteni kelimuan yang tidak diragukan lagi. Mereka saya yakin tidak
ingin fatwa dijadikan pembenaran (justifikasi) untuk melakukan
perusakan, teror apalagi sampai menginjak-injak hak azasi manusia.
Pertanyaannya, sudahkah masyarakat awam diberi pemahaman yang benar
mengenai fungsi dan kedudukan fatwa dalam konteks Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum?

Saya sangat sependapat tak perlu lagi tangan-tangan yang biasa kena
siraman air wudhu, ternodai oleh cipratan darah dan air mata
sesamanya. Tapi biarlah darah-darah orang ahmadi disumbangkan untuk
amal yang lebih mulia melaui donor darah, dan biarlah air mata muslim
ahmadi jatuh dalam doa dan sholatnya.

*) Penulis adalah Humas Pengurus Pusat Pemuda Ahmadiyah Indonesia

-- 
"Swords can win territories but not hearts, forces can bend heads but not minds"
Love For All Hatred For None
--
http://www.khuddam.web.id/

Kirim email ke