Saat Sakit, Resep Soekarno Disimpan di Laci

Catatan:
Asvi Warman Adam


Tanggal 12 Januari 2008 pukul 09.44 di Cendana, Ismail Saleh membagikan
fotokopi tulisannya yang dimuat pada harian Pelita berjudul Marilah Kita
Bangsa Indonesia Wujudkan Petuah: Mikul Dhuwur Mendhem Jero. Di dalam
artikel yang ditulis mantan Jaksa Agung era Orde Baru itu dikatakan bahwa
Soeharto mengagungkan nama Soekarno dan mengubur dalam-dalam kesalahan Bung
Karno.


Betulkah Soeharto melaksanakan prinsip menghormati orang yang lebih tua itu
dalam kasus upaya pengadilan terhadap mantan Presiden Soekarno dan
lebih-lebih dalam perawatan sang proklamator? Presiden Soekarno tidak dibawa
ke pengadilan dengan alasan yang sangat strategis. Kalau dia disidangkan,
tentu akan timbul protes dari para pendukung Bung Karno yang masih banyak.
Di samping itu, pengadilan bisa membebaskannya karena tidak cukup bukti dia
terlibat dalam upaya kudeta yang janggal itu.


Sementara itu, perawatan yang diberikan kepada Presiden Soekarno betul-betul
tidak manusiawi. Bagai bumi dengan langit bila dibandingkan dengan perawatan
sempurna yang diterima orang kuat Orde Baru itu. Selama 10 kali mengalami
masalah kesehatan sejak berhenti jadi presiden pada 1998, Soeharto
betul-betul memperoleh perhatian medis yang luar biasa.


Jenderal besar Soeharto dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada ruang
536 yang seakan-akan sudah menjadi ruang khusus perawatan presiden. Bukan
hanya dokter kepresidenan, tetapi juga dokter ahli lain dikerahkan sehingga
sampai berjumlah puluhan orang. Maka, berdatanganlah para selebriti
pemerintahan, dari mantan pejabat era Orde Baru sampai kepada presiden dan
wakilnya. Awal Januari 2008 ketika Soeharto kembali masuk rumah sakit, dia
memperoleh perhatian yang luar biasa dari kru televisi yang
berbondong-bondong menunggu pengumuman hasil kesehatan setiap hari dan
malam.


Berita medis itu berfluktuasi, kesehatan Soeharto menurun, membaik, membaik
dari pagi tadi tetapi masih kritis, gawat tetapi masih bisa diatasi,
tergantung dari alat-alat bantu. Bahkan, Menteri Kesehatan yang entah
terselip lidah mengatakan bahwa Soeharto mengalami kehidupan semu karena
fungsi-fungsi organ tubuhnya saat ini digantikan oleh mesin.


Perawatan Bung Karno


Soekarno pernah mengalami gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada
1961 dan 1964. Prof Dr K. Fellinger menyarankan agar ginjal kiri tersebut
diangkat saja. Bung Karno menjawab, "Nanti saja, ik moet mijn taak afronde
(Saya harus menyelesaikan tugas saja). Tugas yang belum selesai itu adalah
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Pada masa selanjutnya, pengobatan
dengan ramuan tradisional Tiongkok/akupunktur diberikan dokter dari RRT.


Pada 4 Agustus 1965 terjadi suatu peristiwa yang ikut memicu pecahnya
Gerakan 30 September, yaitu sakitnya Bung Karno. Beredar rumor bahwa
Soekarno pingsan dan mengalami koma. Sebetulnya yang terjadi, Bung Karno
mengalami TIA (transient ischaemic attack), yaitu stroke ringan akibat
penyempitan sesaat (spasme) pada pembuluh darah otak. Bukan stroke karena
perdarahan atau adanya bekuan darah dalam pembuluh darah otak. Dokter
meminta Soekarno berbaring di kamar. Para dokter menyarankan agar dia tidak
usah berpidato pada 17 Agustus 1965 karena kondisi kesehatannya belum pulih.
Seandainya dia berpidato, jangan lebih dari satu jam. Ternyata Presiden
Soekarno berpidato lebih dari satu jam dan untungnya tidak terjadi apa-apa.


Awal 1969, Soekarno pindah dalam status bisa dikatakan "tahanan rumah" ke
Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto (sekarang Museum Satria Mandala).
Sementara itu, presiden RI pertama itu terus diperiksa oleh Kopkamtib.
Setelah sakit Soekarno makin parah, barulah Soeharto memerintahkan
menghentikan interogasi.


Soekarno mendapat perawatan reguler seperti di rumah sakit biasa, dalam arti
diukur suhu badan dan tekanan darah beberapa kali dalam sehari serta jumlah
air kencing selama 24 jam. Pernah ada pemeriksaan rontgen. Tidak diberikan
diet khusus seperti yang dilakukan terhadap pasien gangguan ginjal. Ketika
kondisi Bung Karno kritis, Prof Mahar Mardjono sempat menceritakan kepada Dr
Kartono Mohammad bahwa obat yang diresepkannya disimpan saja di laci oleh
"dokter yang berpangkat tinggi".


Hanya Diberi Vitamin


Menurut catatan perawat di Wisma Yaso, obat yang diberikan kepada Soekarno
adalah vitamin B 12, vitamin B kompleks, Duvadilan, dan Royal Jelly (yang
sebenarnya madu). Duvadilan adalah obat untuk mengurangi penyempitan
pembuluh darah periferi. Kalau sakit kepala diberi novalgin, sekali-sekali
kalau sulit tidur, Soekarno diberi tablet valium.


Ketika tekanan darahnya relatif tinggi, 170/100, tidak diberikan obat untuk
menurunkannya. Juga tidak tercatat obat untuk melancarkan kencing ketika
terjadi pembengkakan. Bung Karno telah ditelantarkan.


Pada 22 Mei 2006 bersama dr Kartono Mohammad, saya berkunjung ke rumah
Rachmawati Soekarnoputri di Jalan Jatipadang, Jakarta Selatan. Rachmawati
bercerita tentang dr Suroyo adalah seorang dokter dari dinas kesehatan
Angkatan Darat berpangkat kapten (kemudian mayor) yang ditempatkan di Istana
menjelang 1965.


Menurut Rachmawati, dr Suroyo inilah yang biasanya merawat hewan-hewan yang
ada di Istana Merdeka. Yang aneh pula, urine Soekarno diperiksa pada
laboratorim Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Entah tidak ada
laboratorium yang lain waktu itu di Jakarta. Kami sempat melihat surat dari
Pangdam Siliwangi Mayjen HR. Dharsono yang melarang seluruh warga Jawa Barat
mengunjungi atau dikunjungi Soekarno. Selain itu, ada surat dari Pangdam
Jaya Amir Machmud yang menetapkan bahwa seluruh dokter yang akan mengunjungi
Bung Karno harus sepengetahuan dan didampingi dr Kapten Suroyo.


Ketika kesehatan Soekarno semakin kritis, pipinya terlihat bengkak, gejala
pasien gagal ginjal. Guruh dan Rachmawati sempat memotret ayahnya. Foto itu
sempat beredar pada pers asing. Guruh dan Rachmawati kontan diinterogasi di
markas CPM Guntur, Jakarta.


Kenyataan yang tidak banyak diketahui masyarakat tentang kondisi kesehatan
dan perawatan Bung Karno sengaja dikemukakan di sini, sungguhpun teramat
pahit, bukanlah untuk memelihara dendam. Ini demi menuruti pandangan beliau
agar kita "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah". Bangsa ini perlu
belajar dan memetik hikmah dari sejarah masa lampau agar lebih arif dan
proporsional dalam menyikapi persoalan hari ini.

Dr Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama LIPI
http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=9846


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke