riau pos

      Menunggu Pemimpin bak Bambu  

      Selasa, 29 Januari 2008  
      Mantan presiden RI kedua, Soeharto telah tiada.  Jenderal besar itu 
berpulang ke rahmatullahlah pada Ahad 27 Januari 2008 karena dibetot oleh gagal 
multiorgan di RSP Pertamina Jakarta. Innalillahiwainnailaihirajiun. 

      Demikianlah. Ujung riwayat saban tokoh, kadang getir. Mulanya, meraih 
empati dan pesona sebagai pejuang yang herois dan lalu mendaki tangga kekuasaan 
hingga ke pucuk. Kemudian, mengabdi kepada bangsa, negara dan rakyat. Di babak 
akhir, muncul antiklimaks, seperti drama tragedi Yunani, Oedipus karya 
Sophocles.

      Berpuluh tahun lalu, Ruslan Abdulgani menyebutkan bahwa Bung Karno adalah 
tokoh yang besar. Perjuangan, penderitaan, jasa, dan kesalahannya sama-sama 
besarnya. Barangkali, demikian juga dengan Pak Harto. Awalnya, dielu-elukan, 
dan kemudian dikritik. Moga menjadi hikmah yang menyeluruh bagi kita.

      Nurcholish ''Cak Nur'' Madjid dalam buku Indonesia Kita (Desember 2003) 
mengajak kita sudi bersikap asketisme, yakni self denial (ingkar diri sendiri) 
dan tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek, dan menunda 
kesenangan (to defer the gratification).

      Cak Nur menatap kebahagiaan yang lebih besar di masa depan, yang tidak 
seinstan jika diraih hari ini. Bukan cuma surga yang jauh dan abadi, tapi masa 
depan anak bangsa. Cak Nur beramsal tentang asketisme: ''Jadilah bambu. Jangan 
jadi pisang. Daun pisang lebar dan membuat anak-anaknya tidak kebagian sinar 
surya. Sementara  bambu rela telanjang asal anaknya, rebung, berpakaian 
lengkap.''

      Sang ''rebung'' adalah pewaris yang sah dari Indonesia. Seorang presiden 
dan wakilnya, para menteri, anggota parlemen, pebisnis, dan semua anak bangsa 
niscaya  berorientasi kepada kebahagiaan kolektif ''generasi rebung'' itu. 
Hemat energi dan antikorupsi bukan slogan, tapi sistem dan bukti konkret. 
Usulan kenaikan gaji dan fasilitas niscaya ''aib'' ketika banyak rakyat masih 
dililit kemiskinan.

      Partai yang sukses dalam Pemilu dan tokoh yang unggul dalam pemilihan 
presiden dan Pilkada, sehingga duduk di parlemen dan eksekutif tidak 
tergesa-gesa menikmati reward dalam jangka pendek. Tetapi tampillah bagai bambu 
yang melindungi para ''rebung'' dan bukan pisang berdaun lebar yang egois.

      Ihwal BUMN, kerap dijuluki sebagai ''sapi perah'' bagi sebagian politikus 
dan elite. Tak mudah membuktikannya, karena secara hukum harus ada bukti hitam 
di atas putih. Namun secara sosiologis hal itu kerap bergema,  apalagi  jabatan 
di BUMN kerap diduduki oleh kalangan orang partai, atau yang ''dekat'' dengan 
kekuasaan sejak era Orde Baru hingga sekarang.

      Di masa lalu, bahkan BUMN dikenai sumbangan sekian persen dari keuntungan 
untuk yayasan yang dipimpin oleh Pak Harto. Dan sekarang berbuntut dengan 
gugatan perdata pemerintah RI melalui kuasanya Kejaksaan Agung. Syahdan, 
sebagian dari dana yang diakumulasi di yayasan itu mengalir ke beberapa pebinis 
yang dekat dengan Pak Harto. Dugaan abused of power pun terdengar, seperti juga 
dalam kasus monopoli cengkeh.

      Kasus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, dan dana haji 
di Departemen Agama juga membuktikan paradigma yang tidak asketis. Termasuk 
juga kasus BLBI dan aliran dana dari Bank Indonesia dan yayasannya. 

      Padahal, sang ''rebung'' bukanlah ''putra-putri'' secara biologis maupun 
kroni ekonomi dan politik. Tapi segenap anak negeri dari Sabang hingga Merauke. 
Meski harus dicatat juga, bahwa melalui Yayasan Supersemar dan yayasan lainnya, 
seperti juga dilakukan oleh Pak Rokhmin, tidak sedikit yang menikmati, termasuk 
pesantren dan berbagai rumah ibadah di Tanah Air.

      Titik Perubahan
      Toh, Orde Baru pernah meraih swasembada pangan. Posyandu, gizi balita dan 
makanan sehat bagi kaum ibu pernah sukses. Busung lapar tak terdengar. Di 
bidang ekonomi, Indonesia menjadi ''macan Asia'' dengan pertumbuhan ekonomi 
mengagumkan.

      Bahkan, lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu adalah monumen politik. 
Pak Harto tidak dimundurkan oleh sidang istimewa MPR yang tak mungkin karena 
gedung DPR/MPR di Senayan sedang diduduki oleh demonstran mahasiswa.

      Kala itu, Pak Harto buntu. Ia gagal membentuk Komite Reformasi dan 
Kabinet Reshuffle. Bahkan, Cak Nur tak bersedia duduk di komite itu, walau 
ditawari. Ia malah meminta Pak Harto mundur, seperti tuntutan mahasiswa. Rupiah 
terpuruk Rp 17.000 per dolar juga ikut merepresi Soeharto agar mundur.

      ''Kalau Cak Nur yang moderat saja tak mau, tak ada pilihan lain kecuali 
saya mundur,'' kata Pak Harto kepada Quraish Shihab. Dia pun mundur berdasarkan 
pasal 8 UUD 1945, dan BJ Habibie naik menjadi presiden. 

      Andaikata Pak Harto tak mundur, dia masih terus menjadi presiden pada 
2003. Apalagi TNI masih mendukungnya. Efek dominonya, Habibie tak naik. Pemilu 
1999 pun urung sehingga ketampilan Gus Dur, Mega dan Yudhoyono sebagai presiden 
tak terjadi. Sejarah memang bukan ''andaikata'' tapi realitas. Jika yang 
mengubah Indonesia adalah segenap anak bangsa, tapi tidak fair jika menegasikan 
faktor lengsernya Pak Harto yang membuka peluang reformasi di Indonesia.

      Bolehkah disebutkan, bahwa lengsernya Soeharto sebagai perilaku asketis, 
bak bambu kepada rebung? Bukan pohon pisang berdaun lebar yang egois? Masih 
debatable, tergantung angle-nya.

      Sayang, asketis itu disadari Pak Harto setelah kasip 32 tahun berkuasa. 
Orang-orang di sekitarnya pun tak berani menampik, malah ikut menikmatinya. 
Tentu tidak adil jika kesalahan Orde Baru hanya dimonopoli oleh Pak Harto. 
Berbagai kebijakan Orde Baru, baik pemasungan demokrasi, penindasan HAM, 
kroniisme, dan sebagainya juga disokong orang-orang di sekitarnya. Itulah, 
bengkalai sejarah, yang tetap jadi pekerjaan rumah.

      Akhirulkalam, ungkapan yang pernah dipopulerkan oleh Sri Ediswasono, 
menantu Bung Hatta itu tentang seorang pemimpin ada baiknya dikutipkan. ''Bila 
ia matahari, menyinari semua. Bila ia angin, mengelus-elus semua. Bila air 
mengaliri semua. Bila ia bumi rela menjadi pijakan publik.'' Mirip 
''sosialisme'' bambu ala Cak Nur. Bukan ''kapitalisme'' pohon pisang yang 
berdaun lebar.***


      Bersihar Lubis
      Wartawan 
      tinggal di Depok. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke