Jurnal Sairara: KERANCUAN NILAI Tahun 1990, untuk pertama kali, aku kembali menginjak bumi Indonesia yang kutinggal pada 29 September 1965. Subuh. Embun yang menabur dingin ibukota masih nampak jelas di rerumputan, di atap-atap gedung dan pepohonan kota. Tak pernah terlintas di kepalaku pada waktu itu bahwa keberangkatan subuhku dari bandara Kemayoran, merupakan awal kembara panjangku mengitari busur bumi yang seperti ujar Ramadhan KH "ternyata aku hanyalah seorang pengembara". Dan di ujung jalan yang kutempuh, jika punya ujung, seperti "perjalanan ke Cordoba, sunyi dan senyap, maut menunggu di Cordoba" sebagaimana dilukiskan oleh Federico Garcia Lorca, si penyair Spanyol yang ditembak mati oleh jendral fasis Franco pada Perang Saudara 1936 yang berakhir dengan kekalahan kaum Republiken. "Sunyi dan senyap" ditunggu ajal agaknya merupakan jalan yang memang ditempuh para pemimpi dan pencinta kemanusiaan dan hidup. "Sunyi dan senyap" adalah Jalan Ke Cordoba yang kutapaki. Bumi tanahair kuinjak kembali secara kebetulan. Pesawat Garuda Indonesian Airways yang kutumpangi mengalami kerusakan tekhnis sehingga aku harus bermalam 24 jam di Hotel Horison Jakarta sebelum melanjutkan penerbangan ke Sydney untuk belajar di New South Wales University. Sanak saudara yang mendatangiku di hotel mewah itu setelah mendapat berita teleponku, bertanya: "Kau mau melihat apa?" "Tunjukkan padaku kehebatan pembangunan yang dijadikan agama oleh Orba Soeharto, agar aku bisa menyokongnya". Aku benar-benar membuka diri. Siap melihat kembali dengan tanpa emosi keberhasilan pembangunan Orba. Tema pembangunan merupakan tema yang kupilih untuk skripsi S1ku di l'Ecoles des Hautes Etudes en Sciences Sociales, [l'EHESS], Paris. Tidak ada apriori pada diriku. Mobil kami meluncur meninggalkan hotel. Melalalui Istana Merdeka, nampak di mataku Istana presiden ini seperti bangunan kumuh sederhana saja. Sama sekali tak megah dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang kulihat dalam kembaraku di berbagai benua. Oleh kemacetan jalan-jalan Jakarta yang baru kuketahui, mobil berhenti . Jendela kaca mobil ber-ac diketok orang dari luar. Aku melirik keluar. Seorang perempuan kurus berambut penuh debu menggendong anaknya masih balita, mengulurkan tangan meminta uang. Melihat pemandangan begini, aku tahu bahwa pengemis masih saja mengisi jalan-jalan ibukota dengan tingkat tidak berkurang dibandingkan dengan masa tanahair kutinggalkan. Aku melirik kepada saudara-saudaraku. Paham akan arti lirikanku, saudaraku yang membawa kendaraan berkata: "Wah, kami gagal Mas, memperlihatkan kehebatan pembangunan Orba Soeharto". Aku diam tanpa berkomentar sepatah kata pun. Berpikir, kemudian berkata: "Gak apa-apa, dan kalian pun harap paham jika aku tidak mengobah sikap". Tol dan barisan pengemis serta rumah-rumah kumuh di bawah tol, juga kemacetan kota, menghamparkan dua dunia yang telah diciptakan di satu negeri. Aku melihat dengan keadaan begini, paling tidak ada dua Indonesia. Indonesia yang berkelimpahan dan Indonesia yang papa buah dari pendekatan "trickle down effect" Rostow yang jadi panutan "agama" pembangunan Orde Baru Soeharto. Memperhatikan suara azan subuh yang tanpa perduli bahwa ia mengganggu tidur orang, memandang suasana jalan di mana kendaraan besar bersiwenang pada kendaraan kecil, pengendara mobil jendral dan tentara tidak indahkan rambu-rambu lalulintas dan tatakrama berkenderaan, menyaksikan orang-orang boncengan di sepeda motor, melihat segalanya yang kutermukan di jalan dan kampung-kampung, aku melihat miniatur Indonesia zaman Orba. Untuk mengenal negeri kelahiran ini lebih jauh, ketika ada tawaran kerja di universitas Perancis dan Indonesia, aku berkeputusan memilih yang di Indonesia, bertolak dari keinginan membayar hutang moral kepada kampung kelahiran yang memberi masa kanakku udara untuk dihirup, beras untuk kumakan dan air untuk kuminum . Melalui keberadaan beberapa tahun konsekutif di Indonesia dan saban tahun kembali setelah aku terpaksa keluar [semacam dipaksa keluar!]setelah konflik etnik yang sangat berdarah di Kalimantan Tengah tahun 2000 , aku menyaksikan bahwa di negeri kelahiran ini seakan ada semacam confusion of values [kerancuan nilai] pada saat uang dijadikan dewa, Tuhan baru. Orang-orang berlomba memburu uang dengan cara apa saja dan dampaknya memunculkan hal-hal sangat negatif. Oleh masih berlangsungnya sistem paternalisme, maka yang dikatakan oleh para tetua "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" menjadi suatu kenyataan dan ditemukan dengan mudah ujudnya dalam kehidupan sehari-hari. Kerancuan nilai inilah barangkali salah satu sumbangan besar Orde Baru pada negeri ini dan menempatkan bangsa dan negeri di ujung tanduk kemelut multi dimensional. KKN, "sastra wangi", "sastra lendir", "sastra selangkang", koruptor dibebaskan, nyawa manusia tidak diperhitungkan, mentalitas mie instan, pembelian ijazah akademi, hanyalah beberapa bentuk dari kerancuan nilai ini. Pemutihan sejarah dan penjungkir balikan sejarah berjalan sejajar dengan kerancuan nilai di negeri ini. Jika di Perancis adalah istilah "generasi tanpa sejarah", ketika melihat Indonesia, aku bertanya: Tidak terdapatkah keadaan begini di negeri kita? Aku bahkan bertanya-tanya: Tidak adakah keadaan pemusnahan kesadaran generasi? Ketika bekerja sebagai guru sebuah universitas di Indonesia, kepada para pendengarku yang muda-muda, aku selalu bertanya kampung asal mereka. Ternyata sejarah kampung mereka sendiri pun mereka tidak tahu. Dari apa yang kulihat selama di Indonesia dan kemudian secara teratur kembali ke kampung, aku melihat pendidikan merupakan bidang yang perlu diutamakan untuk menata ulang nilai. Tapi bisakah penataan ulang ini dilangsungkan jika penyelenggara negara mempunyai pilihan politik yang tidak membantu? Pilihan politik penyelenggara menjadi desisif jika dilihat dari sudut pandang "bangunan atas" dan "bangunan bawah". Peranan aktif dari "bangunan atas" pada berbagai sektor kehidupan. Ah, Rara, apa yang kututurkan ini tak usahlah dipandang serius karena ia hanyalah sebuah konstatasi ceték dari seorang pencinta negeri kampung-halaman belaka. Aku dikutuk mencintai negeri ini dan masih melihat betapa pun amburadulnya ia masih merupakan tempat di mana kita tetap bisa berharap. Manusia tidak mati di negeri ini.*** Paris, Musim Dingin 2008 ----------------------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.
--------------------------------- Tired of visiting multiple sites for showtimes? Yahoo! Movies is all you need [Non-text portions of this message have been removed]