Yahudi dan Islam Liberal 

Oleh :
Nur Faizin Muhith
Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Liberalisme adalah suatu kepercayaan tentang nilai-nilai kebebasan
individu dengan intervensi minimal dari negara dalam kehidupan pribadi.
Liberalisme adalah teori kontrak sosial yang menyatakan atau menegaskan
bahwa otoritas politik secara orsinil tersusun dari kebebasan dan
rasionalitas individu sebagai media untuk memadukan kebebasan dengan
hasil-hasil kerja sama sosial.
Dalam sejarahnya sebagai gagasan, liberalisme berhubungan dengan gagasan
kebebasan (liberty) atau pembebasan (liberation) karena esensi gagasan
liberalisme adalah untuk menuju pembebasan. Dengan demikian, liberalisme
mengekspresikan spirit manusia sebagai individu. 
'Man is born to free' adalah asumsi dasar para pemikir liberal. Dalam
artikulasinya, liberalisme menjadi sebuah keyakinan, filsafat, dan
gerakan yang memegang teguh kebebasan sebagai sebuah metode dan
kebijakan, sebuah prinsip yang terorganisasi dalam masyarakat dan
menjadi jalan hidup bagi individu maupun komunitas (Ida Rohmawati,
2004).
Yahudi liberal
Liberalisme juga merambah pola hidup keberagamaan menghadapi akselerasi
perubahan atas tuntutan globalisasi dan moderinitas. Dengan demikian,
kata liberal akhirnya juga menjadi dan dijadikan sebuah atribut gerakan
keagamaan, di antaranya gerakan keberagamaan dalam agama Yahudi dan juga
Islam.
Kemunculan Yahudi liberal (Liberal Judaism) adalah karena kegelisahan
sekelompok Yahudi atas kegagalan gerakan pembaharuan keagamaan yang
dilakukan gerakan Yahudi reformis belum dapat mencapai cita-cita
reformasi yang diharapkan dan hanya menyentuh isu-isu luar, bukan
menyeselaikan problem-problem yang sebenarnya. Dengan liberalisme ini,
mereka ingin memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut.
Gerakan Yahudi liberal muncul pada tahun 1902 M, persis ketika
dirilisnya Persatuan Keagamaan Yahudi yang kemudian berkembang menjadi
Persatuan Yahudi Liberal. Gerakan Yahudi liberal mucul di Inggris pada
tahun-tahun pertama abad ke-20, perkembangan yang dipelopori oleh Laely
Montagu (1873-1963) dan Claude Montefiore (1851-1938), seorang agamawan
Yahudi yang terpengaruh oleh salah seorang pemikir Kristen liberal di
Oxford, Benjamin G (Al-Masiriy: 1999).
Misi dari gerakan mengupayakan agar dasar-dasar ajaran agama Yahudi
dapat sesuai dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (enlightement)
tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Mereka berharap untuk
menyesuaikan agamanya dengan masyarakat modern. 
Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa kitab-kitab Yahudi (Hebrew
Scripture), termasuk Taurat, adalah upaya manusia untuk memahami
kehendak Tuhan. Karena itu, mereka menggunakan kitab-kitab itu sebagai
titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan
kemungkinan kesalahan kitab mereka dan menghargai nilai-nilai
pengetahuan di luar kitab agam mereka (Adian Husaini: 2007).
Titik tolak Yahudi liberal adalah wujud manusia dan
kebutuhan-kebutuhannya (humanis), bukan lagi mempermasalahkan akidah
(teosentris). Tidak heran jika mereka menganggap old statement sebagai
ijtihad manusia dan bukan wahyu Tuhan. Mereka mengembangkan ide-ide
pencerahan dan berhukum kepada hati nurani: kebaikan dan kesalehan harus
dinilai dengan ukuran nurani yang tercerahkan dan bukannya dengan tolak
ukur wahyu lagi.
Istilah Yahudi liberal juga sering digunakan untuk menunjukkan gerakan
Yahudi progersif dan juga Yahudi reformis. Ketiga istilah itu seakan
menjadi istilah yang satu meskipun titik tekan pada semangat pembaharuan
dan reformasi lebih radikal di dalam gerakan Yahudi liberal dan kadang
juga untuk gerakan pembaharuan yang sedikit masih berpegang kepada
tradisi, sementara Yahudi progresif sering digunakan untuk gerakan
pembaharuan secara umum (Al-Masiriy: 1999)
Islam liberal
Tidak jauh dengan Liberal Judaism adalah gerakan yang dinamakan atau
menamakan dirinya dengan gerakan Islam liberal, baik secara individual
maupun kelompok. Berangkat dari semangat pembaharuan dan keinginan
membawa Islam agar selalu relevan dengan zaman modern yang berubah maju
begitu cepat, gerakan Islam liberal muncul. Selain itu, ada semacam
keyakinan bahwa Allah SWT akan mengutus mujaddid pembaharu setiap tahun,
baik pembaharuannya bersifat individu maupun kolektif. 
Istilah Islam liberal sebenarnya sudah dikenal beberapa dasawarsa yang
lalu meskipun tidak secara tegas menyandangkan kata Islam di
belakangnya. Albert Honnani pada tahun 1960-an dalam karyanya yang
berjudul Arabic Thought in The Liberal Age memperkenalkan istilah Islam
liberal untuk menunjukkan suatu ragam pemikiran yang berkembang di dunia
Islam (Ida Rohmawati: 2004).
Sementara secara tegas, orang yang menggunakan istilah liberal Islam
(Islam liberal) adalah Charles Khurzman pada tahun 1998 melalui bukunya
Liberal Islam: A Sourcebook. Sebelum Khurzman, juga sudah ada Leonardo
Binder yang juga berbicara tentang Islam liberal dalam bukunya Islamic
Liberalisme di mana dia berusaha memetakan tokoh-tokoh yang dianggapnya
liberal. 
Seorang sarjana hukum dari India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981),
juga ikut memopulerkan Islam liberal. Dia menulis: ''Kita tidak perlu
menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan
padanya (gerakan pemikiran), marilah kita sebut itu Islam liberal.''
(Charlez Khurzman: 1998).
Islam liberal secara umum memiliki agenda, antara lain untuk menentang
sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, meneguhkan hak-hak
perempuan atau gerakan feminisme, membela hak-hak non-Muslim (termasuk
juga aliran-aliran sempalan), mengembangkan kebebasan berpikir, dan
serempak menyuarakan gagasan-gagasan tentang kemajuan dan progresivitas.
Dengan semangat yang berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran
teosentris dan berkeinginan menegakkan nilai-nilai humanisme meskipun
sering mengorbankan keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama mapan dan
diyakini kebenarannya. Mereka juga berusaha membuka kembali seluruh
pintu ijtihad yang sempat 'tertutup'. 
Dalam penerapan ajaran-ajaran Islam, mereka mendahulukan subtansi sebuah
syariat daripada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan
dalam Alquran maupun Hadis. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat
relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka mendukung minoritas, siapa pun
dan bagaimana pun mereka.
Kebebasan memilih agama atau bahkan tidak beragama sekalipun (ateis)
bisa mereka terima. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan
komprehensif. 
Bila diteliti lebih jauh, ada atau bahkan banyak sekali
kesamaan-kesamaan antara Yahudi liberal dan Islam liberal. Paling tidak
keduanya adalah berangkat dari misi asumsif untuk melakukan reformasi
dan peremajaan wacana-wacana keagamaan agar disesuaikan dengan
modernitas.
Ikhtisar:
- Liberalisme merambah pola hidup keberagamaan.
- Kelompok Yahudi liberal muncul karena mereka merasa gagal mencapai
tujuan.
- Islam liberal di Indonesia terlalu memaksakan kehendaknya sendiri


 

.
 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke