Pak Chodjim, Maaf ni, saya juga ingin mencoba menanggapi balasan Bapak kepada pak Nashruddin ...:
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Achmad Chodjim" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Satriyo: > Pak Achmad Chodjim, mohon maaf, setahu saya hampir semua kitab > Tafsir, baik karya ulama salaf dan khalaf, membahas poligami islam > itu ketika sampai pada Annisa: 3. Apakah menurut Bapak semua Tafsir > ini 'salah alamat'? > ===================================================== > > Mas Satriyo, > Saya tidak mengatakan tafsir para ahli salaf dan khalaf itu salah alamat, tapi "ya nuwun sewu" tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka, pembahasan poligami berdasarkan 4:3 itu dipaksakan. Di ayat itu, poligami sendiri hanya sebagai komplemen saja daripada pembahasan tentang keadilan terhadap anak yatim. Jadi, seharusnya yang menjadi fokus pembahasan dalam ayat itu ialah "keadilan terhadap anak-anak yatim terutama yang menyangkut nasib anak yatim perempuan, dan bukan poligaminya." > > Cobalah baca secara total ayat-ayat pada surah An-Nisa' tersebut, bukankah surah itu ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada nasib kaum perempuan? Ini fakta-fakta konkret dari ayat-ayatnya, lho Mas. Bahwa yang diambil hanya 4:3, itu lantaran budaya Timur Tengah itu misoginis alias membenci perempuan. > > Nah, sekarang cobalah cara Sdr. Nashruddin dalam memberikan tanggapan, kan terasa sekali dipaksakan. Periksa tanggapa pertama, beliau menulis "Apa qur'an-nya lain kali, dengan qur'an yg kita pakai?" Bagaimana seseorang menanggapi suatu diskusi yang sudah diterakan ayatnya dengan pembukaan seperti itu? ==> Mohon maaf, Pak, saya kira tanggapan spt ini wajar saja karena ini berarti menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam melihat hal yang sama. Jadi sah-sah saja jika Bapak juga, misalnya, menyatakan hal yang sama. Karena toh yang dimaksud adalah 'mengapa hal yang jelas bisa dilihat berbeda.' Begitu. Tapi saya kira ini bukan fokus pembahasan ... jadi cukup sekian saja untuk ini. > > Kedua, bagaimana ayat yang dipotong atau disambung bisa tetap sama maknanya? Dalil apa yang digunakan untuk itu? Bagaimana kalau yang saya potong cuma ujung ayat "wa in khiftum allaa ta'dilu fa waahidatan" yang berarti bila kamu takut tidak akan berbuat adil, maka nikahilah SATU saja. ==> Saya tidak akan men-jubir-i pak Nashruddin, tapi bisa jadi maksudnya tentu 'memotong' bukan membuang melainkan hanya melihat bagian tertentu dari ayat, dan ini artinya tetap melihat keseluruhan ayat. Sekali lagi ini menurut saya. Jadi sekiranya for argument sake kita setuju dengan pemotongan Bapak di atas, tentu yang akan jadi pertanyaan adalah 'apa konteks' potongan ayatnya? Tentu harus melihat keseluruhan ayat. Jadi model potong memotong ini ternyata tidak bisa sembarangan ya Pak. Jadi ingat kutipan ayat 'plural', yaitu QS 2:62 yang dilepas (dipotong) dari keseluruhan isi Al-Quran, apalagi memotongnya dengan bersembunyi dibalik nama ulama sekadar untuk memastikan bahwa bukan ybs yang disalahkan, tapi ulama yang tafsirannya dicatut itu yang disalahkan ... :-) > > Pertanyaan saya pada Sdr. Nashruddin, siapa yang menjamin "takut tidak akan berbuat adil" lalu yang berpoligami pasti bertindak adil? Perangkat apakah yang digunakan untuk mengendalikan nafsu liar di balik "justifikasi terhadap ayat"? ==> Saya kira tidak ada bagian dari tanggapan pak Nashruddin seperti yang Bapak "tafsirkan" itu. Atau saya yang memang kurang jeli 'menafsirkan' pernyataan beliau? Tapi itu kembali ke bagaimana Bapak memandang pernyataan seseorang saya kira. Jadi wajar saja saya kira melihat betapa 'jauh' Bapak bisa menafsirkan tulisan orang, sehingga dalam menafsirkan ayat atau bahkan menafsirkan tafsir ulama juga bisa jadi berbeda. Allaahu a'lam ... Sekali lagi, saya kira, ini bukan bagian diskusi utama kita. > > Mengapa orang-orang menghilangkan ayat lanjutannya, bukankah mengimani satu ayat dan mengkafiri sebagian ayat itu dilarang dalam agama Islam? Coba baca penutup ayat "dzaalika adna allaa ta'uuluu", yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya. Apa yang dimaksud dengan tindakan yang lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya? Poligaminyakah atau perintah menikahi SATU perempuan saja meskipun itu budak, yang dimaksud oleh ujung ayat QS 4:3 ini? ==> Benar! Mengingkari sebagian ayat itu KAFIR. Tapi apakah memang demikian konteksnya untuk pembahasan kita ini, Pak? Apakah ini tidak menunjukkan kembali cara bapak menafsirkan pernyataan atau sikap orang lain soal QS 4:3 ini? Jadi untuk menjawab pertanyaan bapak di alinea ini, saya kira perlu bapak tunjukkan adanya tafsir yang berperilaku seperti yang Bapak klaim ini, spt di email saya sebelum ini ... atau sulit untuk menjawabnya. > > Sekian dulu, agar tidak lari dari fokus. ==> Ya sekian dulu. Tapi ko Bapak menambah dengan masalah baru ya? Coba lihat: [1] Dus, dalam hal ini kita tidak perlu lari ke kesempurnaan Islam atau menganggap orang lain lebih tahu dari Rasulullah. ==> lari dari kesempurnaa Islam itu maksudnya apa pak? justru seperti diutarakan bu Lina, komentar Bapak di awal malah menunjukkan Islam belum sempurna karena menurut Bapak 'sebenarnya' ada ayat yang harus utuh tapi Rasul keburu mangkat ...! Bagaimana ini? Apakah ada yang menganggap orang lain lebih tahu dari Rasulullah? Bukankah jutru pernyataan Bapak itu sendiri yang bisa dilihat seolah Bapak lebih tahu dari Rasulullah? Jika Poligami itu memang sesuatu yang harus hilang, mengapa tidak ada eksplisit Sunnah Rasul yang menunjukkan itu, baik kepada ummat secara umum atau mengacu kepada perilaku para shahabat yang hampir semuanya punya lebih dari satu istri? Adapun riwayat yang dipakai KH Husein Muhammad, ternyata itu akibat tragis dari main potong konteks periwayatan. Jadi Rasul tidak pernah melarang Ali atau siapapun poligami. [2] Mengapa? Kalau, asumsi ini ada, maka tak akan ada mazhab-mazhab dalam Islam. Buat apa mazhab-mazhab itu, apakah keterangan Allah dan Rasulnya belum cukup, sehingga lahir fikih dan lahir pengumpulan hadis pasca pembakuan fikih? Apakah Imam Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan para perawi hadis Kutubus sittah itu lebih tahu dari Rasulullah? ==> Saya tdk mengeti maksud bapak yang ini. apakah ini artinya para aimmah madhahib itu bagi bapak adalah orang2 sok tahu, yang merasa lebih tahu dari Rasulullah? Atau bagaimana? Maaf, pak, kalo jadi panjang ni diskusinya ... salam, satriyo