Panduan dari MUI ini, seperti biasa, merasa dirinya sebagai pemilik
Islam, dan panduan ini seenak udelnya sendiri...

Lihat komentar saya.

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tana Doang" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Diteruskan oleh
> La Tando
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: H. M. Nur Abdurrahman 
> To: [EMAIL PROTECTED] 
> Sent: Sunday, March 02, 2008 8:20 AM
> Subject: [Mayapada Prana] Seri 817 Gayung Bersambut, Kata Berjawab

> MUI mengeluarkan sepuluh panduan untuk mengenali ciri-ciri kelompok
sesat, yaitu:
> 1) mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam;

Di dalam Rukun Iman tidak ada ketentuan bahwa Nabi Muhammad saw adalah
nabi terakhir.

> 2) meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan
Alquran dan sunnah;

Oh ya, banyak tuh contohnya yang tidak sesuai dengan Qur'an dan
Sunnah, yaitu ajaran kreasi para kyai/mullah/ulama. Misalnya:

-Bunuh diri dengan bom yang difatwakan sebagai bom syahid.
-Orang Islam yang mau nikah, harus bisa baca Qur'an.
-Menghukum badan orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

Dan lain-lain.

Mestinya, MUI ini juga punya nyali utk menetapkan ajaran kreasi para
kyai/mullah/ulama itu sebagai kelompak sesat.

> 3) meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran;

Wahyu adalah hak prerogatif Allah untuk diturunkan kepada makhluk atau
hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Karena MUI menyatakan bagi orang/kelompok yang meyakini turunnya wahyu
setelah al-Qur'an sebagai ciri kelompok sesat, maka MUI telah
bertindaj melebihi Tuhan, dan kemudian menyatakan para wali Islam
klasik yang pernah mendapatkan wahyu dari Allah, seperti Syekh
Muhyiddin ibn Arabi r.h., Syakh Abdul Qadir al Jaelani r.h, dan
lainnya sebagai kelompok sesat.

Punya nyalikah MUI untuk menetapkan beliau-beliau itu sebagai sesat?
Rasanya sih tidak, karena MUI itu cuma bermodalkan fatwa yang tanpa
dukungan al-Qur'an dan Hadits.

> 4) mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;

Hanya Allah yang berhak menghakimi dan menetapkan pemahaman dan
pandangan orang/kaum atas al-Qur'an, karena Al-Qur'an adalah milik
Allah, bukan milik MUI, sehingga MUI tidak pantas untuk menetapkan
kriteria no. 4 ini.

> 5) melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan
kaidah-kaidah tafsir;

Apakah MUI telah membuat standarisasi tafsir Qur'an sehingga berhak
menentukan mana yang sesuai dan mana yang tidak berdasarkan
kaidah-kaidah tafsir?

Hanya orang bodoh saja yang bisa dibodohi oleh MUI.

> 6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam;

Lha, ada (banyak) orang yang bilang bahwa Hadits Dhaif tidak bisa
dijadikan dalil untuk aqidah ... apakah ini juga ciri-ciri sesat?

Padahal Hadits dhaif adalah termasuk bagian dari sumber ajaran Islam.

> 7) menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul;

Contohnya, kriterianya, ukurannya apa?

> 8) mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir;

Faktanya, Kanjeng Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengajarkan bahwa
orang yang tidak percaya kepada beliau saw. sebagai nabi dan rasul
terakhir, adalah sesat.

Yang membuat ketentuan no. 8 ini adalah cuma para kyai/mullah/ulama saja.

> 9) mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang
telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat
wajib tidak 5 waktu;

Siapa contohnya?

> 10) mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti
mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya

Lha, buruk rupa cermin dibelah. MUI sendiri dan konco-konconya serta
penggemarnya yang telah mengkafirkan Jemaat Ahmadiyah.

Salam,
MAS



> Pengasuh kolom ini akan menyambut gayungnya Rumadi, yang peneliti
the Wahid Institute Jakarta. Gayung Rumadi itu akan difokuskan pada
butir 5 saja. Ya, Gayung Bersambut, Kata Berjawab.
> 
> Inilah dia gayung Rumadi tersebut. Ketentuan butir 5, yaitu
melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah
tafsir, ini tidak cukup jelas maksudnya, karena itu bias menimbulkan
berbagai penafsiran. Tentu saja saya tidak menuntut ketentuan ini
diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang
problematis. Penafsiran terhadap al-Quran dan kaidah-kaidah
(metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena
perkembangan inilah al-Quran bisa senantiasa sesuai dengan
perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan).
> 
> Yang dibanggakan sebagai metode tafsir yang "shalihun li kulli zaman
wa makan", adalah metode dengan alat yang disebut hermeneutika.
Tentang hermeneutika ini, silakan melayari URL =>
http://waii-hmna.blogspot.com/2006/05/729-apa-itu-binatang-yang-disebut.html.
Perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat
batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran
terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs
Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan
berupa:
> -- asal-usul, 
> -- anggapan, 
> -- karakter, 
> -- cakupan,
> -- kecermatan,
> -- keabsahan.
> 
> Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer
Mohammad Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama,
Bagaimana kita mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya
vs Ulil Absar Abdalla di cyber space, yang panglimanya komunitas yang
menamakan diri Islam Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika
epistemologis, yaitu menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai
universal, namun ayat-ayat Madaniyah diciutkan posisinya oleh
parameter cakupan menjadi hanya bermuatan local, dan inilah yang
menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam pendekatan
kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi
dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang
berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi
negeri seperti Indonesia ini.
> 
> Situs Jaringan Islam Liberal pernah menurunkan sebuah artikel yang
membahas tentang Teori Batas Muhammad Syahrur dari Suriah (Syria),
yang banyak menuai kritik di Suriah sendiri. Inilah tafsir baru dengan
alat hermeneutika epistemologis yang mengacu pada unsur lokalitas atau
budaya lokal. Adapun pendapat Syahrur tentang Teori Batas ini, yaitu
adanya rentang antara batas bawah dengan batas atas. Syahrur
berpendapat bahwa ketentuan menurut Nash itu merupakan batas atas
yaitu misalnya aurat laki-laki antara pusat dengan lutut. Syahrur
menambah berdasar atas "nafsu"-nya sendiri yaitu batas bawah. Aurat
laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya, inilah menurut
Syahrur, karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi
dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal
pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah cukup menutup kemaluan.
Teori Batas Syahrur ini memenuhi budaya lokal seperti koteka.
> 
> Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan lokal tersebut,
mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang wajibnya
khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif.
> 
> -- WLYDHRBN  BKHMRHN  'ALY  JYWBHN  (S. ALNWR, 24:31), dibaca: 
> -- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r).
> WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam
yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan
kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah: 
> -- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada
mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya
tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan
menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an:
jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang
sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh).
> 
> Hermeneutika epistemologis memperanakkan paradigma tritunggal:
sekularisme - liberalisme - pluralisme, kemudian berkembang menjadi
pancatas, yaitu paradigma sekularisme, liberalisme, kapitalisme,
pluralisme, dan genderisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang
menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual.
Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat
itu semuanya dijadikannya relatif, fleksibel supaya: "shalihun li
kulli zaman wa makan". Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat
Al-Qur'an direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter
epistemologis yang ukuran akal yang dipengaruhi "nafsu" itu,
dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan.
Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena
akal sudah mengungguli wahyu. Inilah gayung bersambut kata berjawab
terhadap gayungnya Rumadi yang usil dan "nyeleneh" menyoroti butir 5
dari Panduan MUI untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat tersebut.
WaLlahu a'lamu bisshawab.
> 
> ***
> Makassar, 2 Maret 2008
> [H.Muh.Nur Abdurrahman]
>
http://waii-hmna.blogspot.com/2008/03/817-gayung-bersambut-kata-berjawab.html
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Reply via email to