---------- Forwarded message ----------
From: Syamsi Ali <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 5 Mar 2008 03:02
Subject: [JMP] Ketegaran Indonesia
To: imsa US <[EMAIL PROTECTED]>, Imam DC 
<[EMAIL PROTECTED]>,
IMCI NY <[EMAIL PROTECTED]>, Profetik warta <[EMAIL PROTECTED]>

   *Ketegaran Indonesia *
M. Syamsi Ali

Hari Senin, 3 Maret lalu, dunia sekali lagi dikejutkan oleh sikap 
dunia yang semakin semena-mena. Rancangan resolusi DK-PBB nomor 1803 
untuk sanksi Iran yang disponsori oleh Prancis dan Inggris disahkan 
dengan suara 14-0-1. Dari 15 anggota DK-PBB, 14 menyetujui, 0 yang 
menetang dan 1 yang abstain, yaitu Indonesia. Indonesia saat ini 
adalah satu dari 10 anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk dua 
tahun ke depan.

Sikap Indonesia ini tentunya dinilai ragam, tergantum siapa dan dari 
sudut mana yang menilai. Yang pasti, sikap abstain ini cukup 
mengecewakan negara-negara besar anggota Dewan Keamanan PBB. Lobbi 
yang mereka lakukan agar Indonesia ikut mendukung resolusi sanksi 
ketiga kepada Iran ini cukup intens dan mendesak. Namun pada akhirnya 
Indonesia tidak goyah dengan sikapnya untuk menentang, dan pada 
akhirnya mengambil 'jalan tengah' dengan abstain pada saat pemungutan 
suara.

Tiga negara lainnya, yang selama ini bertahan untuk tidak 
dijatuhkannya sanksi ketiga atas Iran itu, termasuk Afrika Selatan, 
Libya dan Vietnam, pada akhirnya bertekuk lutut untuk mengikuti arah 
keinginan negara-negara kuat di DK-PBB. Afrika Selatan, yang hingga 
detik-detik terakhir negosiasi sebelum pemungutan suara masih 
mengatakan bahwa resolusi tersebut mengabaikan laporan Direktur 
Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA). Bahkan Afrika 
Selatan mengemukakan bahwa resolusi itu sebenarnya telah dipersiapkan 
sebelum laporan IAEA disampaikan di Dewan Keamanan PBB pada tgl 22 
Pebruari lalu. Artinya, resolusi itu memang dirancang tanpa merujuk 
kepada laporan Badan Anergi Dunia (IAEA).

Namun demikian, Afrika Selatan bersama Lybia dan Vietnam pada 
akhirnya ikut memberikan dukungannya kepada resolusi sanksi Iran 
tersebut. Dan ini semakin memberatkan posisi Indonesia yang harus 
menjadi '*single fighter*' dalam membela posisi Iran yang dianggap 
terzalimi.

Sejak awal sebenarnya, Iran memang banyak mengharap dari 4 nagara 
tersebut. Tapi dari 4 negara itu, Iran juga sadar kalau Afrika 
Selatan tidak banyak diharapkan, apalagi Libya yang memang sejak 
tahun-tehaun terakhir telah tunduk di bawah tekanan negara-negara 
kuat. Maka, Iran menaruh harapan memang hanya kepada dua negara, 
yaitu Indonesia dan Vietnam. Sayang, Vietnam memiliki kepentingan 
domestik tersendiri untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara 
besar. Sehingga terjadilah semacam 'barter' kepentingan.

*Alasan Indonesia *

Indonesia selalu berpandangan bahwa solusi damai melalui jalur 
diplomasi adalah penyelesaian atas segala non preliferasi nuklir. 
Selain itu, Indonesia juga mengakui hak semua negara untuk 
mengembangkan tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan oleh 
karenanya Indonesia percaya kepada Badan Enegri Atom Internasional 
untuk melakukan fungsinya untuk menverifikasi kegiatan-kegiatan 
pengembangan nuklir negara-negara anggota.

Alasan utama Indonesia untuk memilih 'abstain' adalah bahwa resolusi 
itu mengabaikan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang 
mengatakan bahwa Iran telah cenderung kooperatif dengan lembaga itu. 
Ketua Badan tersebut, Elbaradi, dalam banyak kesempatan telah 
menyampaikan hal itu dengan jelas. Indonesia menilai bahwa 
permasalahan nuklir Iran seharusnya diselesaikan melalui forum IAEA, 
dan bukan Dewan Keamanan PBB.

Indonesia menyadari bahwa dari 6 poin yang dirpogramkan badan nuklir 
dunia, 5 di antaranya telah dipatuhi oleh Iran. Sehingga keluarnya 
resolusi tersebut dianggap sangat mengada-ada. Iran lebih transparan, 
dan bahkan dengan jelas dilaporkan oleh IAEA bahwa Iran tidak 
melakukan pembuatan bom nuklir. Itelligent Amerika Serikat juga 
melaporkan yang sama beberapa waktu lalu.

Selain itu, niat baik Iran untuk duduk dalam meja dialog melalui jalu
diplomasi, diharapkan Indoensia untuk menjadi solusi efektif bagi
penyelesaian isu nuklir Iran. Resolusi DK-PBB untuk sanksi sebagai 
hukuman justeru akan semakin menjadikan dialog dan upaya diplomasi 
menjadi tidak kondusif. Masalahnya bukan pada kenyataan memproduksi 
senjata nuklir, tapi lebih kepada hilangnya keinginan untuk membangun 
kepercayaan.

Namun terlepas dari semua itu, Indonesia memiliki alasan mendasar 
dalam hal ini, yaitu sikap '*non alignment*' (ketidak berpihakan) 
kepada siapa dan atas tekanan siapaun. Sikap '*independensi*' adalah 
sikap negara Indonesia sebagai negara berdaulat. Sikap ini akan 
semakin menjadikan Indonesia sebagai negara besar untuk membangun 
martabat dan harga diri di mata internasional.

Sikap bijak, rasional dan independen Indonesia di atas perlu mendapat
acungan jempol dari berbagai kalangan. Sebab dengan sikap tersebut,
Indonesia sekaligus memperlihatkan resistensi kepada sikap negara-
negara maju terhadap perlombaan senjata di Timur Tengah. Di satu 
sisi, Israel memiliki ratusan hulu ledak nuklir, dan bahkan masih 
terus mengembangkan persenjataannya, tapi tidak satupun dari negara-
negara kuat, khususnya anggota-anggota tetap DK-PBB yang angkat 
bicara.

Sebaliknya, Iran yang kebetulan secara politik berseberangan dengan 
Israel, masih dalam tahap mencurigakaan sudah dihukum dengan sanksi. 
Sikap mendua ini tentu akan semakin mempersulit upaya perdamaian di 
Timur Tengah.

Maka sikap Indonesia ini dianggap proporsional. Selain 
merepresentasikan sikap dasar kenegaraan, juga telah melihat 
perkembangan dunia secara imbang dan bijak.

*Terlalu politis *

Grasak grusuk yang terjadi di DK-PBB selama ini memang seringkali 
terlalu bersifat politis. Keputusan-keputusan (resolutions) yang 
diambil juga seringkali lebih memihak kepada kepentingan-kepentingan 
negara-negara kuat, ketimbang kepentingan keamanan dunia.

Negara-negara kuat yang saat ini mendominasi DK-PBB seringkali 
mempermainkan posisi DK-PBB untuk kepentingan mereka. Tidak jarang 
sikap mendua (double standard) mereka lakukan demi kepentingan itu. 
Ketika Israel melakukan serangan blockade ekonomi kepada penduduk 
Gaza, yang oleh sebagian bisa dianggap pembumi hangusan penduduknya, 
negara-negara kuat dan barat khususnya memilih untuk diam.

Di satu sisi, di saat apa yang dianggap membahayakan 
kepentingan "*ally*" negara-negara barat terancam di Timur Tengah, 
mereka tidak canggung melakukan apa saja untuk meloloskan resolusi di 
DK-PBB. Rancangan resolusi Iran adalah satu dari sekian banyak 
resolusi yang bernuansa politis itu. Bahwa di saat Iran semakin 
bersahabat dengan negara-negara tetangga, termasuk Irak, tentu ini 
membahayakan kepentingan negara-negara tertentu. Dan olehnya perlu 
ditemukan cara agar negara Iran tetap berada di bawah tekanan.

Dukungan Indonesia kepada Iran tentu tidak saja karena sesama negara 
Muslim besar. Tapi yang lebih mendasar bahwa Indonesia akan selalu 
berada pada posisi membela hak-hak yang terzalimi dan kebenaran. Ini 
tentunya berlaku pada posisi Indonesia yang selalu akan membela 
Palestina, selama hak-hak bangsa Palestina belum dikembalikan oleh 
penjajah Israel.

Harapan kita tentunya, semogia sikap tegas dan independen Indonesia 
ini akan selalu menjadi dasar berpijak bagi siapa saja yang mengambil 
keputusan ke depan. Dunia memang mengimpikan sebuah sikap yang tidak 
larut mengikuti arus kepentingan negara-negara kuat. Semoga Indonesia 
mampu mempertahankan semangat *Konferensi Bandung* yang tidak 
terombang kea rah mana kuatnya angin bertiup.

Maka pada akhirnya, semua tentu memahami sikap Iran yang tidak akan 
tunduk kepada resolusi yang dianggap zalim dan illegal!

------------------------------
Never miss a thing. Make Yahoo your
--- End forwarded message ---


Kirim email ke