Biasanya kalo mau lihat film indonesia saya baca ulasan Arya Gunawan.
Kekecualian pada AAC, saya nonton lantaran mau tahu apa yg hebatnya?
Ternyata memang banyak umat islam yg sebenarnya kepingin nonton film roman 
tapi kan kesannya kalo film roman itu penuh dengan hal yg bersifat menuju zina.
Eforia berkepanjangan, kata seorang tetangga, beginilah model film roman islam, 
pada akhirnya poligami :-))
Sementara di luaran banyak beredar film hantu, setan kuntilanak, hantu kuburan 
yg malahan syirik.
Ya ini sekedar menghapus dahaga haus hiburan. Orang India itu pintar menangkap 
peluang.

Kenapa film yg menurut saya islami [ bahkan aa Gym sampai menangis dan berulang 
kali melihat] 
tidak laku dipasaran/atau jarang yg menonton?
Karena kisahnya bukan film roman, pemainnya banyak yg biasa2 saja 
penampilannya. Membumi.
Jika dibandingkan dengan para pemain AAC mungkin jauh panggang dari api.
Tapi saya lebih tersentuh dan haru melihat 'Rindu kami PadaMu' daripada AAC.

Kata tetangga diatas yg saya critakan AAC itu mirip film2 india, atau karena 
produsernya Manoj Punjabi?

salam, 
l.meilany



  ----- Original Message ----- 
  From: akmal n. basral 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, March 11, 2008 9:38 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Fwd: [jurnalisme] Tinjauan atas Ayat-Ayat Cinta 
versi film


  karena sedang rame membahas aac, saya forward posting arya gunawan di milis 
sebelah.

  bagi yang belum terlalu akrab dengan arya, selain beliau ini belakangan 
dikenal sebagai pengamat media yang kritis, arya juga anggota dewan juri 
festival film indonesia 2007 di pekanbaru, riau.

  tapi "rekornya" yang sulit dipatahkan orang indonesia manapun adalah: setiap 
tahun arya hadir di festival film cannes, prancis, tanpa terputus selama 15 
tahun terakhir.
  biasanya dia bukan cuma nonton ini-itu, tapi selalu melakukan wawancara 
dengan sineas dunia yang diterbitkan oleh satu koran nasional.

  jadi kalau bicara tentang film, menurut saya arya adalah salah seorang "kamus 
berjalan".

  semoga bermanfaat.

  salam,

  ~a~

  Arya Gunawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  To: <[EMAIL PROTECTED]>
  From: "Arya Gunawan" <[EMAIL PROTECTED]>
  Date: Tue, 11 Mar 2008 16:22:10 +0700
  Subject: [jurnalisme] Tinjauan atas Ayat-Ayat Cinta versi film

  Saya ingin ikut serta berbagi pendapat mengenai film Aayat-Ayat Cinta (AAC).

  Pandangan saya terhadap AAC justru BERBANDING TERBALIK dengan komentar Bung
  Habe yang diposting siang tadi, atau mereka-mereka yang berpendapat bahwa
  AAC adalah film yang bagus. Saya ingin melihat film ini dari sudut
  artistik-sinematik, sembari mengaitkan dengan naskah aslinya yang berwujud
  novel itu. Kesimpulan utama saya: film ini adalah wujud nyata dari tafsir
  yang keliru atas sebuah cerita. Ayat-Ayat Cinta versi novel telah
  ditafsirkan secara keliru oleh versi filmnya.

  Saya belum punya waktu luang untuk menuliskan argumen saya secara sangat
  detil. Namun karena diskusi mengenai topik ini mulai menghangat, saya ingin
  segera ikut ambil bagian, walaupun masih dalam bentuk setumpuk pokok pikiran
  sebagai berikut:

  1) AAC versi film, menurut hemat saya, seperti tidak "bernyawa". "Ruh"
  yang muncul kuat di versi novel, bagaikan sirna di versi film. Novelnya
  sendiri memang sebuah novel melodrama yang sebetulnya biasa (seperti sudah
  disebutkan sebelumnya oleh beberapa anggota milis ini), alias cinta tanpa
  pergulatan batin yang dalam dan "berdarah-darah" seperti yang lazim dijumpai
  di novel-novel Sastra "berat". Namun novel tersebut menjadi lumayan kuat
  karena beberapa faktor: ada kemasan agamanya; ada setting yang terkesan
  eksotis (yakni setting Mesir) yang kebetulan belum banyak digali oleh
  pengarang Indonesia; para tokohnya tampil lumayan "berwarna"; masing-masing
  membawa karakter/wataknya sendiri-sendiri. Inilah yang ikut menyumbang bagi
  hadirnya "ruh" tadi. 

  Sumbangan lainnya bagi hadirnya "ruh" pada kisah di versi novel itu adalah
  setting Mesir tadi: karakter masyarakatnya, kondisi geografisnya,
  bangunan-bangunan penanda (landmarks-nya), ruas-ruas jalannya, sarana
  transportasinya, dan berbagai sudut dari lokasi geografis itu. Karya fiksi
  yang baik, jika dia mengambil setting sebuah tempat yang non-fiktif,
  haruslah mampu menampilkan potret setting tersebut. Kita bisa ambil contoh
  karya-karya sastra kelas dunia yang sukses menggali aspek "ruh", lanskap,
  potret dari lokasi yang melatarbelakangi cerita itu: mulai dari "One Hundred
  Years of Solitude"-nya Marquez (setting novel ini di Macondo, kota sang
  tokoh utama Aureliano Buendia; itu sebuah tempat fiktif namun tetap hidup
  karena pengarang seperti meniupkan "jiwa" ke kota rekaannya itu) ,
  "Unbearable Lightness of Being"-nya Kundera (betapa kuat dia menggambarkan
  suasana Praha, juga Jenewa) yang terbit sudah agak lama, sampai ke
  karya-karya yang lebih kontemporer, misalnya "Kite Runner"-nya Khaled
  Hosseini yang dengan memikat menghadirkan sudut-sudut kota Kabul (versi
  filmnya sudah rampung dibuat, dan akan segera beredar), ataupun "Snow"-nya
  Orhan Pamuk (yang dengan amat hidup menyajikan gambaran kota Kars, sebuah
  kota kecil bersalju di Turki bagian timur laut. Note: menurut saya novel ini
  merupakan salah satu novel terkuat dalam satu dasawarsa terakhir). 

  Seluruh unsur penting yang membuat AAC versi novel menjadi lumayan layak
  baca ini, tiba-tiba nyaris lenyap di versi filmnya. Saya memang membaca
  novelnya terlebih dahulu, baru kemudian menyaksikan filmnya. Hilangnya "ruh"
  ini amat terasa, dan sangat mengganggu. Setelah saya renungkan cukup lama,
  saya juga bisa mengatakan bahwa andaipun saya HANYA menyaksikan filmnya, dan
  tak membaca novelnya, saya juga akan sama terganggunya. Film tersebut
  seperti tengah berada di sebuah ruang vakum, atau sebuah negeri
  antah-berantah: tidak ada yang bisa meyakinkan saya bahwa sebagian besar
  jalinan peristiwa di film tersebut berlangsung di Mesir. Memang ada beberapa
  landmark Mesir yang disuguhkan di layar, namun bagi saya itu tak memberikan
  kesan apa-apa, selain sebuah upaya yang tanggung sehingga gagal untuk
  membuat penonton teryakinkan. Ingatlah bahwa salah satu unsur terpenting
  dari sebuah karya sinema adalah: to make believe; bagaimana penonton merasa
  teryakinkan bahwa apa yang terpampang di layar adalah suatu kebenaran, atau
  mendekati kebenaran, sehingga penonton menjadi percaya, teryakinkan, dan
  berikutnya tersentuh atawa terhanyut hingga menghadirkan sebuah rasa
  "nyeeess..." di sudut hati (seperti tengah dibasahi). 

  Sulit bagi saya untuk menerima bahwa peristiwa di film tersebut berlangsung
  di Mesir. Tentu saja banyak film yang dibuat di lokasi yang tidak
  sesungguhnya, dengan berbagai alasan entah politis (karena tak bisa dapat
  izin dari pemerintah setempat, misalnya saja film "Years of Living
  Dangerously" dari Peter Weir, yang syutingnya berlangsung di Filipina,
  karena tak bisa dapat izin untuk syuting di Indonesia; atau juga "Apocalypse
  Now", yang syutingnya juga di Filipina karena tak memungkinkan untuk
  diproduksi di Vietnam), atau karena alasan anggaran (seperti film AAC ini).
  Film-film dengan lokasi syuting di tempat bukan aslinya yang saya sebutkan
  sebagai contoh di sini, tetap bisa menampilkan "ruh" itu tadi; sesuatu yang
  nyaris tak tampil di AAC versi film. Di mata Bung Habe dan sebagian penonton
  lainnya lokasi yang tampil di versi film AAC ini menunjukkan kecerdikan tim
  produksi menyiasati hambatan syuting di Mesir. Namun bagi saya justru di
  sinilah salah satu langkah yang disayangkan dari tim produksi. Mestinya
  produser tetap berupaya mencari segala cara untuk bisa syuting di Mesir (ini
  kondisi yang ideal), namun kelihatannya sudah sulit karena perselisihan
  antara tim produksi Indonesia dan tim lokal Mesir sudah sangat serius,
  bahkan - kalau saya tak keliru -- sudah sampai ke tingkat pemerintah cq.
  Deplu. Kalau pun kemudian harus mencari lokasi pengganti, maka landskap dan
  potret setting geografis itu harus dieksplorasi semaksimal mungkin. 

  Apa yang hadir di versi film AAC, dalam hemat saya, belum sampai pada tahap
  maksimal tersebut. Coba perhatikan, adegan eksteriornya sangat terbatas: di
  gang sekitar apartemen, di jembatan tepi sungai, di padang pasir, di taman.
  Mungkin ada perasaan ragu atau bahkan takut, dari tim produksi untuk
  menampilkan adegan eksterior yang sebetulnya sangat kaya-raya itu (menurut
  versi novelnya). Jadi, dengan pendekatan minimalis seperti ini, wajar jika
  saya tak berhasil menemukan ruh tersebut. 

  Saya jadi membayangkan, andaikan MD Entertainment selaku produser bersedia
  merogoh kas mereka lebih dalam dengan membayar biaya mahal untuk syuting di
  Mesir, barangkali tampilan film ini akan jadi amat berbeda. Juga
  membayangkan, bagaimana jika film ini digarap oleh sutradara Hollywood
  dengan biaya dari produser yang berani keluar biaya besar, mungkin juga akan
  lain. Atau diserahkan kepada sutradara "indie" semacam Fatih Akin (Turki);
  atau sekalian saja digarap oleh sutradara Mesir, semacam Youssef Chahine.

  2) Selain kehilangan "ruh" geografis, AAC versi film juga kehilangan
  "ruh" dari para tokoh utamanya. Dengan kata lain: para pemain utama nyaris
  tampil tanpa greget. Agak mengherankan sebetulnya, karena di beberapa
  filmnya sebelum ini Hanung relatif berhasil mengarahkan para pemainnya
  sehingga watak mereka bisa muncul. Lihat misalnya "Get Married" (Nirina
  Zubir bisa bermain bagus, juga ketiga sobat prianya itu), atau pada "Kamulah
  Satu-Satunya" (lagi-lagi Nirina Zubir, plus Didi Petet). Di AAC, Hanung
  seperti membiarkan begitu saja para pemainnya, sehingga mereka seperti tak
  mendapatkan bimbingan yang mantap, terutama sekali pada Fedi Nuril yang
  menjadi tiang penyangga dari keseluruhan bangunan cerita. Agak berat
  sebetulnya bagi saya untuk mengatakan bahwa sejak bagian-bagian awal dia
  muncul di film tersebut, hingga layar diturunkan, sulit bagi saya untuk
  memasukkan akting Fedi sebagai akting yang sepatutnya dimiliki oleh seorang
  pemeran utama. Wataknya seperti tak berkembang. Bahasa yang disampaikannya
  (baik bahasa verbal, gerak anggota tubuh, sorot mata, maupun raut muka)
  nyaris sama untuk setiap adegan. Sulit untuk tidak mengatakannya sebagai
  "datar" atau "hambar". Bahkan dalam beberapa adegan dia kelihatan seperti
  tak memahami apa yang sedang dilakoninya. Kita tahu, tokoh Fahri digambarkan
  sebagai santri yang santun dan amat religius. Namun itu bukan alasan untuk
  menghadirkan satu karakter yang colourless dan dull sebagaimana sosok yang
  dihadirkan di versi filmnya ini. Saya membayangkan, mungkin pemain seperti
  Tengku Wisnu (pemeran Farel di sinetron Cinta Fitri yang disiarkan SCTV,
  yang pernah saya saksikan beberapa kali) akan lebih tepat memerankan tokoh
  Fahri ini. Belum tentu sepenuhnya salah Fedi Nuril, bisa saja penampilannya
  yang kurang meyakinkan seperti itu tersebab minimnya intervensi Hanung
  sebagai sutradara.

  3) Jalinan cerita AAC versi film ini juga tidak begitu meyakinkan,
  terutama dalam hal pengembangan perwatakan para tokohnya. Mungkin karena
  keterbatasan waktu, mungkin juga karena penggarapan konfliknya tidak intens
  karena fokus yang - entah mengapa - dibuat melebar. Dalam versi film ini,
  saya merasa tidak cukup alasan yang dihadirkan untuk sampai pada sebuah
  akibat yang dialami para tokohnya. Misalnya saja, tidak cukup kuat alasan
  mengapa Fahri harus menikahi Maria. Yang tampil semata-mata hanya keinginan
  Aisha selaku istri Fahri untuk menyelamatkan Fahri dari jerat hukum. Padahal
  sebetulnya di luar itu alasan legal itu, bukankah ada rasa cinta yang
  bersemayam di hati mereka berdua? Film ini seperti tidak begitu peduli untuk
  menghadirkan perasaan cinta itu. Bahkan alasan mengapa Fahri harus menikah
  dengan Aisha pun tidak cukup meyakinkan saat didedahkan di versi filmnya
  ini. 

  4) Belum lagi ihwal beberapa adegan yang terasa berlebih-lebihan,
  termasuklah adegan persidangan itu. Majalah Tempo edisi terbaru juga
  menyoroti bagian ini, yang pada intinya menyayangkan adegan yang sebetulnya
  bisa ditampilkan dengan kuat dan menjadi salah satu pemuncak/klimaks ini.
  Juga adegan pertemuan Fahri dengan kawan satu selnya. Sama halnya dengan
  hubungan antar karakter-karakter utama seperti yang sudah saya sebut di
  atas, hubungan Fahri dengan kawan satu selnya ini bisa terjatuh menjadi
  "menjengkelkan". Tak ada latar belakang yang cukup bagi pemirsa (apalagi
  jika belum membaca novelnya) tentang siapa si pria tersebut, dan apa
  kompetensinya sehingga bisa menceramahi Fahri yang "santri top" itu? Bahkan
  mengajarinya dua kata kunci itu: "ikhlas" dan "sabar"?

  5) Selain itu, fokus AAC versi film juga terasa bergeser, sehingga
  yang kelihatan penting (dan kemudian menjadi bahan perbincangan) adalah
  ihwal poligaminya. Padahal fokus kisah ini sebetulnya adalah pergulatan para
  tokohnya dalam menimbang, memilih, dan memutuskan pilihan mereka atas jalan
  hidup yang hendak mereka arungi. Bukan hanya semata-mata adegan persidangan
  dan isu poligami.

  6) Tentu saja saya tetap menaruh hormat terhadap Hanung dan seluruh
  tim produksi film AAC ini. Bagaimana pun, mereka telah berbuat. Dan juga
  kian menumbuhkan minat khalayak untuk menonton film buatan bangsa sendiri.
  Kalau muncul perdebatan terhadap hasil kerja mereka, termasuk pandangan dari
  kubu yang kritis sebagaimana yang saya lakukan sekarang ini, sepatutnya
  diterima sebagai sumbangsih pemikiran untuk mengingatkan mereka: bahwa ada
  suara yang berbeda selain dari gerombolan massa yang mengelu-elukan karya
  mereka itu. Saya sendiri menyaksikan fenomena gelombang massa yang mengantre
  panjang itu, juga suara isak kolektif penonton di tengah ruang gelap itu.
  Namun mohon maaf, saya datang dari kubu yang berbeda dengan mereka. Belum
  tentu saya benar sepenuhnya. Namun saya cukup yakin bahwa saya sepenuhnya
  tidak keliru menyuarakan pandangan yang berbeda seperti ini. 

  7) Saya tidak tahu persis, untuk apa gelombang massa itu datang
  menyesaki gedung-gedung bioskop, dan kemudian melontarkan pujian terhadap
  film tersebut. Bisa jadi karena sudah telanjur cinta pada versi novelnya.
  Bisa jadi karena penasaran ingin melihat bagaimana teks diangkat menjadi
  obyek visual. Bisa juga lantaran hype, tak ingin ketinggalan dari peer group
  mereka. Bisa juga karena mereka tak memiliki bekal dan rujukan yang cukup
  dalam mengapresasi sebuah karya sinema. Saya kira menarik juga untuk
  melakukan survei kecil-kecilan untuk melengkapkan pembahasan mengenai film
  AAC ini, termasuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan barusan. Atau juga
  mencari tahu bagaimana pandangan persis dan rinci dari sang pengarang
  novelnya mengenai versi filmnya ini (adakah kawan-kawan di milis ini yang
  tahu apakah sang pengarang sudah sempat diwawancarai panjang-lebar mengenai
  versi film ini? Kalau ada bahannya, tolonglah diposting. Saya amat-sangat
  ingin tahu pendapat sang pengarang, terutama untuk membandingkannya dengan
  butir-butir pikiran yang saya sampaikan dalam tanggapan saya ini).

  Akhirulkalam, mudah-mudahan pendapat ini bisa ikut melengkapi sejumlah
  pandangan yang sudah lebih dulu disampaikan oleh kawan-kawan lain. Btw, saya
  tahu ada beberapa pengamat film juga di milis ini, misalnya Bung Akmal
  Nasery Basral (walaupun bukan Akmal yang menulis resensi film ini di Majalah
  Tempo edisi terbaru, saya kira dia sudah menontonnya) dan Bung Eric Sasono
  (saya sudah minta Eric nonton film ini, namun kelihatannya dia belum
  sempat-sempat juga). Juga mereka-mereka yang tergolong "movie freak" seperti
  Mas Farid Gaban, Mbak Sirikit, atau Bung Igak? Alangkah baiknya jika
  mereka-mereka ini juga ikut meramaikan jalannya diskusi kita. Meskipun milis
  ini didedikasikan Mas Farid untuk jurnalisme, namun tiada salahnya sesekali
  membahas film dengan agak riuh-rendah, seperti yang lazim dilakukan para
  anggota milis-milis perfilman.

  Trims dan salam,

  Arya Gunawan

  [Non-text portions of this message have been removed]

  minds are like parachutes. they work best when open.

  ---------------------------------
  Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke