Catatan Bantingmurung:
   
   
  RI, JANGAN HANCURKAN HIDUP KAMI! [2]
   
   
    Apa yang kemudian kudapatkan di Flores dan menjadi bahan renunganku di 
Bantingmurung di antara deru air terjun dan kepak sayap ribuan kupu-kupu 
----lambang kekayaan negeri bhinneka hasian ini? 
   
   
  Yang kudapatkan di Flores dalam lawatan singkatan sebelum ke Bantingmurung, 
tidak jauh berbeda dengan yang kusaksikan di kampung kelahiranku Kalimantan,  
yaitu tergusurnya masyarakat lokal dari tanah yang mereka huni dan milik sejak 
turun-menurun oleh pembukaan tambang emas. Tambang  yang juga merusak 
lingkungan, dan meninggalkan supa penyakit kepada penduduk lokal sebagaimana 
yang diperlihatkan oleh kasus tambang emas terbuka di Hampalit, Kabupaten 
Katingan,  Tambang Emas Indomoro Kencana di Kabupaten Barito Utara.   Demi 
emas, kehidupan dan kesehatan penduduk sama sekali tidak diindahkan. 
   
   
  Permasalahan di Flores kudapatkan dari sebuah dokumen dari seorang aktivis 
gereja yang bekerja di lapangan. Ia menyerahkan dokumen di bawah ini:

   
   
  "Bukan dari emas kami ini hidup, tetapi dari lahan pertanian. Sikap 
masyarakat yang menolak rencana pertambangan di daerah mereka tidaklah muncul 
begitu saja tanpa ada alasan. Juga tidak didasari oleh pertimbangan yang 
irrasional. Mereka telah menonton televisi dan darinya belajar banyak tentang 
bagaimana dampak pertambangan yang telah dialami daerah-daerah lain di 
Indonesia. Pengalaman yang sama disampaikan, di antaranya oleh Bapak Sisko 
Making, perangkat Desa Dikesare, Lewolein, Kecamatan Lebatukan:
   
   
  “Kami memang bodoh dan tidak sekolah tambang, tapi kami melihat 
tambang-tambang misalnya di Buyat, Minahasa, dan lain-lain. Itu harus butuh 
lahan yang luas.”
   
   
  Meskipun masyarakat menolak rencana pertambangan, bukan berarti bahwa 
masyarakat juga menolak seluruh program Pemerintah. Mereka tidak menolak 
program Pemerintah yang lain, tetapi terhadap program pertambangan yang 
direncanakan Pemerintah, mereka dengan tegas menolaknya. Mengapa?
   
   
  “Kondisinya tidak memungkinkan. Tidak pakai emas juga kami tidak lapar. Kami 
tidak hidup dari emas tapi melalui lahan pertanian yang ada.”
  (Sisko Making, perangkat Desa Dikesare, Lewolein, Kecamatan Lebatukan)
   
  “Tanpa tambang kami tetap hidup. Tanaman niaga kemiri sudah menghidupi kami 
selama sejarah hidup  kami. Banyak orang kami menjadi orang besar yang sekarang 
duduk di Lewoleba dan provinsi adalah kemiri yang membiayai sekolah mereka. 
Jangan sampai ada tambang kehidupan kami punah, tanaman niaga akan hilang dari 
tanah Leragere ini. Karena itu, kami pertahankan. Orang Leragere tidak akan 
menjual tanah sedikitpun.”
   (Yosef Magun, warga Leragere, Kecamatan Lebatukan)
   
   
  Tambang menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur.  Masyarakat 
menolak tambang bukan saja karena merasa terancam kehilangan lahan pertanian 
dan hasil laut yang menjadi penopang kehidupan mereka, tetapi penolakan itu 
juga dilandasi oleh kekuatiran akan terputusnya ikatan mereka dengan tanah yang 
diwariskan para leluhur. Terputusnya ikatan dengan tanah warisan leluhur 
berarti juga terputusnya ikatan mereka dengan para leluhur yang selama ini 
telah menjaga hidup mereka. Kegelisahan seperti  ini dirasakan bukan hanya oleh 
kaum lelaki, tetapi juga oleh kaum perempuan dan kaum muda. 
   
  Sikap perempuan:
   
  “Kami ibu-ibu menolak tambang di daerah kami. Kami tidak mau diungsikan ke 
tempat lain karena kami dilahirkan dan dibesarkan di sini dan kami tidak mau 
diungsikan.” Kami mau hidup aman di daerah kami sendiri. Dari kecil kami diberi 
makan ubi, kestela (labu kuning), dan jagung. Jadi jangan sampai kami dan 
ladang kami diganggu.”
  (Eti, 34 th, warga Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan)
   
   
  “Tanah tumpah darah kami tidak mau kami tinggalkan. Kami tidak mau hidup 
sengsara di tempat lain. Dan kami pun tidak mau tinggalkan leluhur kami di 
sini.”
  (Marta Lou, 35 th, warga Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan)
   
  Sikap generasi muda: 
   
  “Sebagai generasi muda, kami menolak tambang di daerah kami. Kami tidak mau 
diungsikan. Kami dilahirkan di sini, jadi kami tidak mau daerah kami tercemar 
oleh limbah tambang.” “Yah…kami minta pada bapak-bapak untuk membela kami. Kami 
berharap agar rencana pertambangan dibatalkan.”
  (Maria Florentina Kasih, 25 th, warga Lewolein, Desa Dikesare, Kec. Lebatukan)
   
  “Pemerintah bertindak seolah-olah ini tanah milik mereka hingga seenaknya 
menjual tanpa sepengetahuan masyarakat. Kami ini tidak punya keahlian apa-apa. 
Paling, seandainya jadi, kami sebagai pekerja kasar dengan upah rendah. 
Bagaimana mungkin kami sebagai pemilik tanah dipekerjakan dengan upah yang 
sangat rendah?Harapan saya kepada Pemkab dan DPRD, tolong dengar aspirasi 
masyarakat yang sudah mengangkat mereka jadi pejabat. Kalau Pemerintah tetap 
mau menambang, kami tetap menolak.” 
  (Eustakius Hieronimus Ola Muda, 25 th, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
   
  Sikap kaum bapa:  
   
  “Dengan seremoni ini kami menolak tambang. Nenek-moyang punya kuburan di 
sini. Kenapa kita pergi tinggalkan mereka? Mereka juga sudah wariskan tempat 
ini untuk kita. Mereka yang jaga lewotana ini.”
  (Anton Motong Making, 58 th, warga Lewolein, Desa Dikesare, Kec. Lebatukan)
   
  “Kami undang leluhur kami dan masyarakat di Nobo Buto ini untuk kumpul di 
sini buat pernyataan dan menghadap Bupati untuk menyampaikan aspirasi kami, 
menolak tambang. Tapi, sampe saat ini belum ada jawaban.”
  (Benediktus Ola Pue, tetua adat Nobo Buto, Leragere, Kec. Lebatukan)
   
   
  Mereka percaya bahwa seremoni adat yang dinyatakan melalui upacara-upacara 
atau ritual dan sumpah adat selain dapat mempersatukan masyarakat, juga 
merupakan permohonan kepada leluhur agar terlibat bersama mereka dalam 
perjuangan menolak rencana pertambangan. 
   
   
  Tambang melahirkan pengungsi dan potensial menciptakan konflik horisontal.   
Tak ada yang mampu menggambarkan kecemasan mendalam yang dirasakan masyarakat 
atas rencana masuknya Industri Pertambangan dalam kehidupan mereka, selain 
masyarakat itu sendiri. Hidup keseharian mereka, yang betapapun sederhana, 
telah dirasakan sebagai kesejahteraan. Kesejahteraan ini nilainya jauh melebihi 
keberlimpahan materi yang dijanjikan dari pertambangan. Dari sini, kita bisa 
menilai betapa jauh jarak sudut pandang antara Pemerintah/DPRD dan khalayak 
biasa dalam melihat ukuran kesejahteraan. 
   
   
  Masyarakat menolak pertambangan tidak berarti mereka menolak kesejahteraan. 
Ukuran kesejahteraan itulah yang mereka persoalkan. Berbeda dengan para 
pejabat,  bagi masyarakat yang bersahaja itu, kesejahteraan identik dengan 
kampung halaman warisan leluhur (Lewoulung), lahan pertanian (Mang, Nura Newa) 
yang menjadi penopang kehidupan, dan pusat-pusat ritual adat (Nuba Nara). 
Kehilangan semuanya itu membuat kehidupan berubah menjadi non-sense, sebab 
mereka dicabut dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai komunitas selama 
puluhan tahun. Terusir dari kampung halaman berarti hidup di atas tanah suku 
orang lain yang kelak bisa menimbulkan konflik. Cobalah selami ketakutan dan 
kecemasan warga akan hadirnya industri pertambangan ini. 
   
  “Jika ada pertambangan di Leragere, kami pasti akan mengalami kesusahan, 
penderitaan dan hidup jauh lebih berat akan kami rasakan. Bagaimana  anak-cucu 
kami? Besok-lusa anak-cucu kami akan hidup sengsara.”
  (Agustinawati, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
  “Kami pertahankan tanah kami ini. Kami tidak mau pergi untuk tinggalkan tanah 
Leragere ini. Jika tambang jadi dibuka di daerah sini, maka kami pasti pindah 
ke daerah lain.  Tanah yang mungkin akan kami tempati tidak aman.
  Atau mungkin kami akan diusir ke mana saja.”
  (Kristina Lini, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
  “Keempat anak saya itu jadi sarjana. Saya rasa senang karena saya punya anak 
lulus karena kemiri yang membantu saya dan tidak ada harta benda lain.”
  (Mama Ananoe, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
  Tambang hanya menguntungkan segelintir orang. Dari pengalaman pertambangan 
yang pernah berlangsung di wilayahnya, masyarakat meragukan keuntungan yang 
bisa mereka peroleh dari pertambangan. Lebih dari itu, mereka juga belajar 
tentang bagaimana tambang hanya akan menguntungkan orang-orang tertentu saja 
dan bukan untuk warga masyarakat. 
   
  Kami minta rencana pertambangan ini dipertimbangkan baik-baik oleh Pemkab dan 
PT. Merukh. Dan menurut masyarakat di sini dampak negatif lebih banyak ke 
timbang positif. Kalau toh ada dampak positif itu bukan untuk masyarakat kecil. 
Kami masyarakat kecil di sini akan menderita sampai anak cucu, bahkan cece kami.
  (Rahmat Wulakada, 55 th, Kepala Desa Bean, Kec. Omesuri)
   
   
  Tidak terbayangkan bahwa masyarakat yang selama ini dinilai kurang paham soal 
pertambangan ternyata mampu berpikir jauh soal konsekuensi pertambangan bagi 
generasi mendatang. Bukan hanya dampak negatif pertambangan terhadap kehidupan 
alam dan manusia yang dilihat masyarakat, tetapi juga dampaknya bagi generasi 
berikutnya yang bakal kehilangan tanah sebagai tumpuan hidup mereka. Logika 
semacam ini disampaikan, salah satunya oleh Bapak Philipus D. Muda, Ketua BPD 
Desa Seranggorang, Kec. Lebatukan:
   
  “Dampak negatifnya lebih banyak, sedangkan positifnya sedikit. Dari tambang 
batu barit di Atanila, orang bisa lihat. Selepas pertambangan batu barit di 
tempat itu, kehidupan masyarakat di wilayah itu tidak menunjukkan perubahan. 
Jauh dari harapan dan janji-janji muluk yang diucapkan perusahaan.  (Karenanya) 
rencana buka lokasi untuk tambang, kami mati-matian untuk tolak. Apalagi untuk 
generasi penerus kami tidak tahu menahu. Mereka akan diperlakukan tidak baik.
   
   
  Meski dengan tegas menolak pertambangan, masyarakat tetap memilih untuk 
menyelesaikan masalah secara damai. Masyarakat mengedepankan jalan perundingan, 
baik dengan pihak Pemerintah maupun DPRD Lembata. Sayangnya, upaya untuk 
menempuh jalan damai lewat perundingan ini tidak sejalan dengan pikiran 
Pemerintah yang bersikeras untuk menjalankan rencana pertambangan dengan jalan 
pemaksaan. Masyarakat benar-benar dibuat kecewa dengan sikap otoriter 
Pemerintah dan sikap pasif DPRD:
   
  “Mereka bersikap pasif bahkan menolak mengambil reaksi apa-apa terhadap 
aspirasi kami sampai saat ini.”
   
   
  Bukan hanya sikap pasif yang membuat masyarakat kecewa, tetapi mereka pun 
merasa hanya dimanfaatkan selagi pejabat butuh suara mereka. Warga Leragere, 
misalnya, menilai bahwa semasa pilkada, Bupati  mendapat dukungan penuh dari 
masyarakat Leragere. Namun aspirasi mereka tak lagi dihiraukan ketika kekuasaan 
sudah didapatkan. Bahkan Bupati dinilai telah menjual rakyat beserta tanahnya:
   
   
  “Ketika isu rencana tambang merebak, Bupati terpilih tak pernah mengunjungi 
masyarakat Leragere yang sedang gelisah dan bingung dengan informasi rencana 
tambang di desa kami. Untuk bapa Pemerintah yang waktu pilkada mereka datang 
biar jam dua belas oto dinas datang, tapi ketika isu pertambangan mulai, mereka 
tidak pernah datang untuk mengatakan ada tambang di Leragere.”
  (Mama AgustinaTukan, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
  “Setelah ia mendapat dukungan suara, ia menjual rakyat bersama 
tanah-tanahnya. Belum sampai satu tahun memimpin, Bupati sudah menjual 
rakyatnya bulat-bulat bersama dengan tanah-tanahnya.”
  (Donatus, Ketua FOKAL, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
   
  Sikap menolak pertambangan adalah bagian dari kearifan lokal. Sikap 
masyarakat untuk menolak pertambangan bukanlah sebentuk ketidakpahaman atau 
bahkan cerminan kebodohan sebagaimana dilihat para elite selama ini. 
Sebaliknya, sikap menolak pertambangan bagi masyarakat adalah sebentuk kearifan 
lokal yang mereka pertahankan demi menjaga keberlangsungan hidup masyarakat 
kini dan generasi berikutnya.  Masyarakat adat memiliki kearifan lokal untuk 
menghormati alam sebagai ibu mereka dan karenanya mereka juga tidak 
memperjualbelikan tanah. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang 
hanya diukur dari tumpukan  rupiah atau bongkahan emas. Kesejahteraan jangka 
panjang dengan mengandalkan hidup yang selaras dengan alam adalah pilihan 
mereka. Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam 
kepada mereka. Hidup berlimpah dengan cara menyakiti bumi adalah pamali (tabu). 
Eksploitasi manusia atas alam di mata masyarakat adat Lembata telah membuat 
alam itu
 sendiri sakit dan menderita. Dampaknya, manusia juga yang akan menanggung 
akibatnya di hadapan alam.
   
  “.....Wahai kampung halaman beserta nama-nama tugu batu kekuatanmu, kampung 
yang hijau, tanah nan permai, kampung tua, tanah yang kian uzur, ibu yang 
merawat, ayah yang melindungi, ibu yang memperhatikan, ayah yang menopang, ibu 
yang memberi, ayah yang menatang. Kami menolak pertambangan di sini karena 
sejak dulu tanah ini telah melahirkan leluhur, kami sendiri serta anak cucu 
kami. Kalau Bupati menjual tanah ini, pasti tanah akan memakannya. Karena tanah 
itulah ayah dan ibu kami. Jadi dengan menjual tanah itu, Bupati ibaratnya 
menanggalkan kain sarung ibu kami dan menanggalkan celana ayah kami.”
  (Rafael, tua adat, warga Leragere, Kec. Lebatukan)
   
  “Kami undang leluhur kami dan masyarakat di Nobo Buto ini untuk kumpul di 
sini buat pernyataan dan menghadap Bupati untuk menyampaikan aspirasi kami, 
menolak tambang. Tapi, sampe saat ini belum ada jawaban. Di Leragere ini kami 
hidup dengan tanah kami ini. Lalu, di mana kami akan dibuang?” 
  (Benediktus Ola Pue, tetua adat Nobo Buto, Leragere)
   
  “Ihin weren, matan mear, emas itu tidak boleh dibongkar-bangkir, nanti tanah 
dan kampong ini jadi ringan. Nanti kita hancur sampai anak cucu-cece kita. 
Sebab, saya tidak mau setelah 20 atau 30 tahun mendatang saya sudah jadi 
tulang-belulang musibah ini muncul. Mereka akan maki hancur saya. Sehingga 
bagaimana pun saya tetap pertahankan tanah kami ini. Pemali besar kalo kita 
jual tanah ini,
  sebab kita pasti akan tanggung akibatnya.”
  (Abu Samah Nutunramuq, pemangku adat dari Kampung Peu Uma, Desa 
Hingalamamengi, Kec. Buyasuri, yang berkuasa atas wilayah Puakoyong)
   
   
  Masyarakat gelisah karena kehidupannya terancam. Rencana pertambangan yang 
dibuat Pemerintah bersama PT. Merukh membuat masyarakat gelisah karena merasa 
kehidupannya terancam. Terlebih sejak mereka mendengar daerahnya termasuk dalam 
lokasi bakal tambang. Kegelisahan yang dirasakan masyarakat ini mendorong para 
Kepala Desa mengambil sikap berpihak pada rakyat, seperti yang dilakukan Ibu 
Anastasia Gea, Kepala Desa Lamadale, Kecamatan Lebatukan:
   
   
  “Saya tetap punya prinsip bahwa soal jabatan saya tidak pikir. Soal jabatan 
itu hanya sementara. Sehingga menyangkut rencana pertambangan ini saya lebih 
memihak kepada masyarakat untuk tetap tolak tambang. Walaupun apa yang terjadi 
menyangkut jabatan, saya sendiri tidak takut. Kalau toh sikap penolakan saya 
dan masyarakat berdampak pada penghentian program pembangunan di desa ini, saya 
tidak menyesal. Saya dan masyarakat sudah hidup dari dulu sampai sekarang 
dengan hasil usaha dari pertanian, perkebunan dan tanaman-tanaman komoditi.”
   
  “... Upaya untuk dipersulit tetap ada, tapi saya berada di pihak rakyat. 
Bahwa saya berada dengan rakyat dan apapun juga saya di pihat rakyat, bersama 
rakyat. Jabatan ini tidak bertanggung jawab pada pejabat. Saya bersama rakyat 
karena mereka yang pilih saya sekitar 400-an...” 
  (Rafael Suban Ikun, Kepala Desa Dikesare, Kec. Lebatukan)
   
   
  Masih ada alternatif lain di luar pertambangan. Masyarakat menolak rencana 
pertambangan dilandasi pertimbangan tentang apa yang hilang dari hidup mereka 
bila rencana pertambangan itu dijalankan. Limbah pertambangan akan 
menghancurkan kehidupan di laut, yang berarti hancur pula kehidupan para warga 
yang bergantung pada laut. 
   
  “Rencana pertambangan di lokasi ini sangat dekat dengan pantai berpasir 
putih, pantai indah sekali; masyarakat sudah melakukan budidaya rumput laut dan 
mencari ikan baik sekali. Hanya kalau nanti rencana tambang dibuka di sini 
berarti limbahnya pasti dibuang ke laut sehingga menyebabkan masyarakat 
kehilangan mata pencaharian di laut termasuk rumput laut..............
   
   
  Di hamparan tanah datar hampir 12 km2 ini diapit oleh dua (2) sungai yang 
sudah disiapkan untuk masyarakat di beberapa desa di gunung. Hanya kalau jadi 
pertambangan di sini, bagamaimana masyarakat; karena seluruh hidup di 10 desa 
di gunung tergantung  pada lahan pertanian di areal 12 km2 ini dengan tanaman 
terutama palawija dan tanaman sayur-sayur. Sementara pantai Bean yang indah 
ini, mulai dari Tanjung Merah sampai ke Atanila sana, akan tercemar kalau 
limbah pertama yang akan dibuang ke laut ini, maka budidaya rumput laut akan 
hilang.”
  (Rahmat Wulakada, Kepala Desa Bean, Kec. Omesuri)
   
   
  Bukan sekedar menolak rencana pertambangan, masyarakat juga mengajukan 
alternatif lain di luar pertambangan yang bisa dikembangkan Pemerintah. Salah 
satu alternatif yang diajukan masyarakat adalah pengembangan potensi kelautan, 
pertanian, dan pariwisata. Sebab Lembata dikenal dengan potensi hasil laut dan 
pariwisata lautnya. Sayang bahwa potensi yang ada ini belum banyak 
dikembangkan. 
   
  “Rencana tambang yang akan terjadi di pantai Bean ini, sikap kami sama 
seperti Kepala Desa. Kalau bisa Pantai Bean ini dijadikan atau dikembangkan
  sebagai objek pariwisata. Saya sebagai Ketua BPD tidak setuju untuk menerima
  rencana tambang di tempat ini.”
  (Kasman Manapa, Ketua BPD Desa Bean, Kec. Omesuri)
   
  Sebaiknya program untuk tambang dibatalkan. Masih banyak investasi di sini 
yang masih bisa diberdayakan, antara lain laut, sektor pertanian, dan 
peternakan. Lalu, kenapa harus pertambangan? Kalau Bupati batalkan tambang ini, 
maka bagi saya Bupati cukup dewasa dalam mengambil kebijakan terhadap rakyat 
Lembata. Tapi kalau program ini tetap berjalan, itu berarti Bupati lupa rakyat.“
  (Rafael Suban Ikun, Kepala Desa Dikesare, Kec. Lebatukan)
   
   
  Setelah menyelami bagaimana perasaan warga yang kehidupannya terancam hilang 
dan menjadi non-sense dihadapan butiran-butiran emas pertambangan, masihkah 
kita menilai sikap menolak warga sebagai suatu kebodohan, sebagaimana 
disampaikan Wakil Bupati kepada masyarakat Kedang yang menolak pertambangan? 
Tak terbayangkan, kehidupan macam apa yang akan dihadapi masyarakat Lembata  
ketika kebersahajaan sikap dan cara hidup ribuan warga yang mencerminkan rasa 
hormat mereka terhadap alam sebagai ibunya itu dipandang sebagai kebodohan dan 
tak ada harganya dibandingkan dengan butiran emas. Benarkah emas, yang untuk 
mengambilnya harus merobek dan menyakiti rahim ibu pertiwi itu, pantas dibela 
dan diagungkan sebagai penopang kesejahteraan? Bagaimana kerusakan bumi yang 
tak bisa kembali itu akan dinilai? Sepadankah nilai kerusakan bumi itu dengan 
manfaat yang bisa diakses masyarakat? Pemerintah dan DPRD bisa jadi tidak 
berhitung secermat ini, namun masyarakat dengan logikanya yang
 sederhana telah mempertanyakannya.
   
   
  Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan 
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya 
untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kedaulatan negara ada di tangan rakyat, dan 
Pemerintah (dan DPRD) sebagai pemangku kebijakan  wajib mendahulukan 
kepentingan rakyat sebagai subyek. Rakyat punya hak untuk mendefinisikan apa 
arti kemakmuran baginya dan punya hak pula untuk mengontrol kekuasaan 
Pemerintah (dan DPRD) sedemikian rupa sehingga bumi, air dan kekayaan alam yang 
dikandung di dalamnya tidak diperdagangkan kepada para investor demi 
kepentingan para elite dan segelintir orang saja. Undang-Undang Dasar tidak 
membenarkan dilakukannya eksploitasi bumi, air dan kekayaan alam yang 
terkandung di dalamnya apabila dampaknya menyengsarakan rakyat yang menjadi 
subyek dan tujuan pembangunan".
   
   
  Usai membaca dokumen ini, dengan Kalteng dalam bayangan, Rara sudah tergolek 
lelap di pangkuanku. Ken Prita mengendongnya ke dalam. Aku  berdiri memandang 
keluar, ke arah hamparan pemandangan indah Bantingmurung. Berapa lama 
keindahanmu akan bertahan di hadapan kerakusan  yang tak mengindahkan anak 
manusia? Aku hanya bisa berkata: RI, jangan hancurkan hidup kami! 
   
   
  Yang terjadi di Flores, hanyalah salah satu sekian ratus kasus di mana 
kehidupan penduduk, lingkungan dan budaya lokal dihancurkan atas nama Republik 
dan Indonesia,  pakaian kebesaran terbuat dari sutra mengkilau bagi "uang sang 
raja". Jauh di tengah rimba, kudengar jerit siamang. Siamang hilang rimba 
bersarang. *** 
   
   
  Paris, Menjelang Musim Semi 2008.
  -----------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke