Catatan Bantingmurung: RI, JANGAN HANCURKAN HIDUP KAMI! [2] Apa yang kemudian kudapatkan di Flores dan menjadi bahan renunganku di Bantingmurung di antara deru air terjun dan kepak sayap ribuan kupu-kupu ----lambang kekayaan negeri bhinneka hasian ini? Yang kudapatkan di Flores dalam lawatan singkatan sebelum ke Bantingmurung, tidak jauh berbeda dengan yang kusaksikan di kampung kelahiranku Kalimantan, yaitu tergusurnya masyarakat lokal dari tanah yang mereka huni dan milik sejak turun-menurun oleh pembukaan tambang emas. Tambang yang juga merusak lingkungan, dan meninggalkan supa penyakit kepada penduduk lokal sebagaimana yang diperlihatkan oleh kasus tambang emas terbuka di Hampalit, Kabupaten Katingan, Tambang Emas Indomoro Kencana di Kabupaten Barito Utara. Demi emas, kehidupan dan kesehatan penduduk sama sekali tidak diindahkan. Permasalahan di Flores kudapatkan dari sebuah dokumen dari seorang aktivis gereja yang bekerja di lapangan. Ia menyerahkan dokumen di bawah ini:
"Bukan dari emas kami ini hidup, tetapi dari lahan pertanian. Sikap masyarakat yang menolak rencana pertambangan di daerah mereka tidaklah muncul begitu saja tanpa ada alasan. Juga tidak didasari oleh pertimbangan yang irrasional. Mereka telah menonton televisi dan darinya belajar banyak tentang bagaimana dampak pertambangan yang telah dialami daerah-daerah lain di Indonesia. Pengalaman yang sama disampaikan, di antaranya oleh Bapak Sisko Making, perangkat Desa Dikesare, Lewolein, Kecamatan Lebatukan: Kami memang bodoh dan tidak sekolah tambang, tapi kami melihat tambang-tambang misalnya di Buyat, Minahasa, dan lain-lain. Itu harus butuh lahan yang luas. Meskipun masyarakat menolak rencana pertambangan, bukan berarti bahwa masyarakat juga menolak seluruh program Pemerintah. Mereka tidak menolak program Pemerintah yang lain, tetapi terhadap program pertambangan yang direncanakan Pemerintah, mereka dengan tegas menolaknya. Mengapa? Kondisinya tidak memungkinkan. Tidak pakai emas juga kami tidak lapar. Kami tidak hidup dari emas tapi melalui lahan pertanian yang ada. (Sisko Making, perangkat Desa Dikesare, Lewolein, Kecamatan Lebatukan) Tanpa tambang kami tetap hidup. Tanaman niaga kemiri sudah menghidupi kami selama sejarah hidup kami. Banyak orang kami menjadi orang besar yang sekarang duduk di Lewoleba dan provinsi adalah kemiri yang membiayai sekolah mereka. Jangan sampai ada tambang kehidupan kami punah, tanaman niaga akan hilang dari tanah Leragere ini. Karena itu, kami pertahankan. Orang Leragere tidak akan menjual tanah sedikitpun. (Yosef Magun, warga Leragere, Kecamatan Lebatukan) Tambang menghancurkan tanah, laut, dan ikatan dengan leluhur. Masyarakat menolak tambang bukan saja karena merasa terancam kehilangan lahan pertanian dan hasil laut yang menjadi penopang kehidupan mereka, tetapi penolakan itu juga dilandasi oleh kekuatiran akan terputusnya ikatan mereka dengan tanah yang diwariskan para leluhur. Terputusnya ikatan dengan tanah warisan leluhur berarti juga terputusnya ikatan mereka dengan para leluhur yang selama ini telah menjaga hidup mereka. Kegelisahan seperti ini dirasakan bukan hanya oleh kaum lelaki, tetapi juga oleh kaum perempuan dan kaum muda. Sikap perempuan: Kami ibu-ibu menolak tambang di daerah kami. Kami tidak mau diungsikan ke tempat lain karena kami dilahirkan dan dibesarkan di sini dan kami tidak mau diungsikan. Kami mau hidup aman di daerah kami sendiri. Dari kecil kami diberi makan ubi, kestela (labu kuning), dan jagung. Jadi jangan sampai kami dan ladang kami diganggu. (Eti, 34 th, warga Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan) Tanah tumpah darah kami tidak mau kami tinggalkan. Kami tidak mau hidup sengsara di tempat lain. Dan kami pun tidak mau tinggalkan leluhur kami di sini. (Marta Lou, 35 th, warga Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan) Sikap generasi muda: Sebagai generasi muda, kami menolak tambang di daerah kami. Kami tidak mau diungsikan. Kami dilahirkan di sini, jadi kami tidak mau daerah kami tercemar oleh limbah tambang. Yah kami minta pada bapak-bapak untuk membela kami. Kami berharap agar rencana pertambangan dibatalkan. (Maria Florentina Kasih, 25 th, warga Lewolein, Desa Dikesare, Kec. Lebatukan) Pemerintah bertindak seolah-olah ini tanah milik mereka hingga seenaknya menjual tanpa sepengetahuan masyarakat. Kami ini tidak punya keahlian apa-apa. Paling, seandainya jadi, kami sebagai pekerja kasar dengan upah rendah. Bagaimana mungkin kami sebagai pemilik tanah dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah?Harapan saya kepada Pemkab dan DPRD, tolong dengar aspirasi masyarakat yang sudah mengangkat mereka jadi pejabat. Kalau Pemerintah tetap mau menambang, kami tetap menolak. (Eustakius Hieronimus Ola Muda, 25 th, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Sikap kaum bapa: Dengan seremoni ini kami menolak tambang. Nenek-moyang punya kuburan di sini. Kenapa kita pergi tinggalkan mereka? Mereka juga sudah wariskan tempat ini untuk kita. Mereka yang jaga lewotana ini. (Anton Motong Making, 58 th, warga Lewolein, Desa Dikesare, Kec. Lebatukan) Kami undang leluhur kami dan masyarakat di Nobo Buto ini untuk kumpul di sini buat pernyataan dan menghadap Bupati untuk menyampaikan aspirasi kami, menolak tambang. Tapi, sampe saat ini belum ada jawaban. (Benediktus Ola Pue, tetua adat Nobo Buto, Leragere, Kec. Lebatukan) Mereka percaya bahwa seremoni adat yang dinyatakan melalui upacara-upacara atau ritual dan sumpah adat selain dapat mempersatukan masyarakat, juga merupakan permohonan kepada leluhur agar terlibat bersama mereka dalam perjuangan menolak rencana pertambangan. Tambang melahirkan pengungsi dan potensial menciptakan konflik horisontal. Tak ada yang mampu menggambarkan kecemasan mendalam yang dirasakan masyarakat atas rencana masuknya Industri Pertambangan dalam kehidupan mereka, selain masyarakat itu sendiri. Hidup keseharian mereka, yang betapapun sederhana, telah dirasakan sebagai kesejahteraan. Kesejahteraan ini nilainya jauh melebihi keberlimpahan materi yang dijanjikan dari pertambangan. Dari sini, kita bisa menilai betapa jauh jarak sudut pandang antara Pemerintah/DPRD dan khalayak biasa dalam melihat ukuran kesejahteraan. Masyarakat menolak pertambangan tidak berarti mereka menolak kesejahteraan. Ukuran kesejahteraan itulah yang mereka persoalkan. Berbeda dengan para pejabat, bagi masyarakat yang bersahaja itu, kesejahteraan identik dengan kampung halaman warisan leluhur (Lewoulung), lahan pertanian (Mang, Nura Newa) yang menjadi penopang kehidupan, dan pusat-pusat ritual adat (Nuba Nara). Kehilangan semuanya itu membuat kehidupan berubah menjadi non-sense, sebab mereka dicabut dari tempat mereka berakar dan berbagi sebagai komunitas selama puluhan tahun. Terusir dari kampung halaman berarti hidup di atas tanah suku orang lain yang kelak bisa menimbulkan konflik. Cobalah selami ketakutan dan kecemasan warga akan hadirnya industri pertambangan ini. Jika ada pertambangan di Leragere, kami pasti akan mengalami kesusahan, penderitaan dan hidup jauh lebih berat akan kami rasakan. Bagaimana anak-cucu kami? Besok-lusa anak-cucu kami akan hidup sengsara. (Agustinawati, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Kami pertahankan tanah kami ini. Kami tidak mau pergi untuk tinggalkan tanah Leragere ini. Jika tambang jadi dibuka di daerah sini, maka kami pasti pindah ke daerah lain. Tanah yang mungkin akan kami tempati tidak aman. Atau mungkin kami akan diusir ke mana saja. (Kristina Lini, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Keempat anak saya itu jadi sarjana. Saya rasa senang karena saya punya anak lulus karena kemiri yang membantu saya dan tidak ada harta benda lain. (Mama Ananoe, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Tambang hanya menguntungkan segelintir orang. Dari pengalaman pertambangan yang pernah berlangsung di wilayahnya, masyarakat meragukan keuntungan yang bisa mereka peroleh dari pertambangan. Lebih dari itu, mereka juga belajar tentang bagaimana tambang hanya akan menguntungkan orang-orang tertentu saja dan bukan untuk warga masyarakat. Kami minta rencana pertambangan ini dipertimbangkan baik-baik oleh Pemkab dan PT. Merukh. Dan menurut masyarakat di sini dampak negatif lebih banyak ke timbang positif. Kalau toh ada dampak positif itu bukan untuk masyarakat kecil. Kami masyarakat kecil di sini akan menderita sampai anak cucu, bahkan cece kami. (Rahmat Wulakada, 55 th, Kepala Desa Bean, Kec. Omesuri) Tidak terbayangkan bahwa masyarakat yang selama ini dinilai kurang paham soal pertambangan ternyata mampu berpikir jauh soal konsekuensi pertambangan bagi generasi mendatang. Bukan hanya dampak negatif pertambangan terhadap kehidupan alam dan manusia yang dilihat masyarakat, tetapi juga dampaknya bagi generasi berikutnya yang bakal kehilangan tanah sebagai tumpuan hidup mereka. Logika semacam ini disampaikan, salah satunya oleh Bapak Philipus D. Muda, Ketua BPD Desa Seranggorang, Kec. Lebatukan: Dampak negatifnya lebih banyak, sedangkan positifnya sedikit. Dari tambang batu barit di Atanila, orang bisa lihat. Selepas pertambangan batu barit di tempat itu, kehidupan masyarakat di wilayah itu tidak menunjukkan perubahan. Jauh dari harapan dan janji-janji muluk yang diucapkan perusahaan. (Karenanya) rencana buka lokasi untuk tambang, kami mati-matian untuk tolak. Apalagi untuk generasi penerus kami tidak tahu menahu. Mereka akan diperlakukan tidak baik. Meski dengan tegas menolak pertambangan, masyarakat tetap memilih untuk menyelesaikan masalah secara damai. Masyarakat mengedepankan jalan perundingan, baik dengan pihak Pemerintah maupun DPRD Lembata. Sayangnya, upaya untuk menempuh jalan damai lewat perundingan ini tidak sejalan dengan pikiran Pemerintah yang bersikeras untuk menjalankan rencana pertambangan dengan jalan pemaksaan. Masyarakat benar-benar dibuat kecewa dengan sikap otoriter Pemerintah dan sikap pasif DPRD: Mereka bersikap pasif bahkan menolak mengambil reaksi apa-apa terhadap aspirasi kami sampai saat ini. Bukan hanya sikap pasif yang membuat masyarakat kecewa, tetapi mereka pun merasa hanya dimanfaatkan selagi pejabat butuh suara mereka. Warga Leragere, misalnya, menilai bahwa semasa pilkada, Bupati mendapat dukungan penuh dari masyarakat Leragere. Namun aspirasi mereka tak lagi dihiraukan ketika kekuasaan sudah didapatkan. Bahkan Bupati dinilai telah menjual rakyat beserta tanahnya: Ketika isu rencana tambang merebak, Bupati terpilih tak pernah mengunjungi masyarakat Leragere yang sedang gelisah dan bingung dengan informasi rencana tambang di desa kami. Untuk bapa Pemerintah yang waktu pilkada mereka datang biar jam dua belas oto dinas datang, tapi ketika isu pertambangan mulai, mereka tidak pernah datang untuk mengatakan ada tambang di Leragere. (Mama AgustinaTukan, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Setelah ia mendapat dukungan suara, ia menjual rakyat bersama tanah-tanahnya. Belum sampai satu tahun memimpin, Bupati sudah menjual rakyatnya bulat-bulat bersama dengan tanah-tanahnya. (Donatus, Ketua FOKAL, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Sikap menolak pertambangan adalah bagian dari kearifan lokal. Sikap masyarakat untuk menolak pertambangan bukanlah sebentuk ketidakpahaman atau bahkan cerminan kebodohan sebagaimana dilihat para elite selama ini. Sebaliknya, sikap menolak pertambangan bagi masyarakat adalah sebentuk kearifan lokal yang mereka pertahankan demi menjaga keberlangsungan hidup masyarakat kini dan generasi berikutnya. Masyarakat adat memiliki kearifan lokal untuk menghormati alam sebagai ibu mereka dan karenanya mereka juga tidak memperjualbelikan tanah. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dari tumpukan rupiah atau bongkahan emas. Kesejahteraan jangka panjang dengan mengandalkan hidup yang selaras dengan alam adalah pilihan mereka. Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam kepada mereka. Hidup berlimpah dengan cara menyakiti bumi adalah pamali (tabu). Eksploitasi manusia atas alam di mata masyarakat adat Lembata telah membuat alam itu sendiri sakit dan menderita. Dampaknya, manusia juga yang akan menanggung akibatnya di hadapan alam. .....Wahai kampung halaman beserta nama-nama tugu batu kekuatanmu, kampung yang hijau, tanah nan permai, kampung tua, tanah yang kian uzur, ibu yang merawat, ayah yang melindungi, ibu yang memperhatikan, ayah yang menopang, ibu yang memberi, ayah yang menatang. Kami menolak pertambangan di sini karena sejak dulu tanah ini telah melahirkan leluhur, kami sendiri serta anak cucu kami. Kalau Bupati menjual tanah ini, pasti tanah akan memakannya. Karena tanah itulah ayah dan ibu kami. Jadi dengan menjual tanah itu, Bupati ibaratnya menanggalkan kain sarung ibu kami dan menanggalkan celana ayah kami. (Rafael, tua adat, warga Leragere, Kec. Lebatukan) Kami undang leluhur kami dan masyarakat di Nobo Buto ini untuk kumpul di sini buat pernyataan dan menghadap Bupati untuk menyampaikan aspirasi kami, menolak tambang. Tapi, sampe saat ini belum ada jawaban. Di Leragere ini kami hidup dengan tanah kami ini. Lalu, di mana kami akan dibuang? (Benediktus Ola Pue, tetua adat Nobo Buto, Leragere) Ihin weren, matan mear, emas itu tidak boleh dibongkar-bangkir, nanti tanah dan kampong ini jadi ringan. Nanti kita hancur sampai anak cucu-cece kita. Sebab, saya tidak mau setelah 20 atau 30 tahun mendatang saya sudah jadi tulang-belulang musibah ini muncul. Mereka akan maki hancur saya. Sehingga bagaimana pun saya tetap pertahankan tanah kami ini. Pemali besar kalo kita jual tanah ini, sebab kita pasti akan tanggung akibatnya. (Abu Samah Nutunramuq, pemangku adat dari Kampung Peu Uma, Desa Hingalamamengi, Kec. Buyasuri, yang berkuasa atas wilayah Puakoyong) Masyarakat gelisah karena kehidupannya terancam. Rencana pertambangan yang dibuat Pemerintah bersama PT. Merukh membuat masyarakat gelisah karena merasa kehidupannya terancam. Terlebih sejak mereka mendengar daerahnya termasuk dalam lokasi bakal tambang. Kegelisahan yang dirasakan masyarakat ini mendorong para Kepala Desa mengambil sikap berpihak pada rakyat, seperti yang dilakukan Ibu Anastasia Gea, Kepala Desa Lamadale, Kecamatan Lebatukan: Saya tetap punya prinsip bahwa soal jabatan saya tidak pikir. Soal jabatan itu hanya sementara. Sehingga menyangkut rencana pertambangan ini saya lebih memihak kepada masyarakat untuk tetap tolak tambang. Walaupun apa yang terjadi menyangkut jabatan, saya sendiri tidak takut. Kalau toh sikap penolakan saya dan masyarakat berdampak pada penghentian program pembangunan di desa ini, saya tidak menyesal. Saya dan masyarakat sudah hidup dari dulu sampai sekarang dengan hasil usaha dari pertanian, perkebunan dan tanaman-tanaman komoditi. ... Upaya untuk dipersulit tetap ada, tapi saya berada di pihak rakyat. Bahwa saya berada dengan rakyat dan apapun juga saya di pihat rakyat, bersama rakyat. Jabatan ini tidak bertanggung jawab pada pejabat. Saya bersama rakyat karena mereka yang pilih saya sekitar 400-an... (Rafael Suban Ikun, Kepala Desa Dikesare, Kec. Lebatukan) Masih ada alternatif lain di luar pertambangan. Masyarakat menolak rencana pertambangan dilandasi pertimbangan tentang apa yang hilang dari hidup mereka bila rencana pertambangan itu dijalankan. Limbah pertambangan akan menghancurkan kehidupan di laut, yang berarti hancur pula kehidupan para warga yang bergantung pada laut. Rencana pertambangan di lokasi ini sangat dekat dengan pantai berpasir putih, pantai indah sekali; masyarakat sudah melakukan budidaya rumput laut dan mencari ikan baik sekali. Hanya kalau nanti rencana tambang dibuka di sini berarti limbahnya pasti dibuang ke laut sehingga menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencaharian di laut termasuk rumput laut.............. Di hamparan tanah datar hampir 12 km2 ini diapit oleh dua (2) sungai yang sudah disiapkan untuk masyarakat di beberapa desa di gunung. Hanya kalau jadi pertambangan di sini, bagamaimana masyarakat; karena seluruh hidup di 10 desa di gunung tergantung pada lahan pertanian di areal 12 km2 ini dengan tanaman terutama palawija dan tanaman sayur-sayur. Sementara pantai Bean yang indah ini, mulai dari Tanjung Merah sampai ke Atanila sana, akan tercemar kalau limbah pertama yang akan dibuang ke laut ini, maka budidaya rumput laut akan hilang. (Rahmat Wulakada, Kepala Desa Bean, Kec. Omesuri) Bukan sekedar menolak rencana pertambangan, masyarakat juga mengajukan alternatif lain di luar pertambangan yang bisa dikembangkan Pemerintah. Salah satu alternatif yang diajukan masyarakat adalah pengembangan potensi kelautan, pertanian, dan pariwisata. Sebab Lembata dikenal dengan potensi hasil laut dan pariwisata lautnya. Sayang bahwa potensi yang ada ini belum banyak dikembangkan. Rencana tambang yang akan terjadi di pantai Bean ini, sikap kami sama seperti Kepala Desa. Kalau bisa Pantai Bean ini dijadikan atau dikembangkan sebagai objek pariwisata. Saya sebagai Ketua BPD tidak setuju untuk menerima rencana tambang di tempat ini. (Kasman Manapa, Ketua BPD Desa Bean, Kec. Omesuri) Sebaiknya program untuk tambang dibatalkan. Masih banyak investasi di sini yang masih bisa diberdayakan, antara lain laut, sektor pertanian, dan peternakan. Lalu, kenapa harus pertambangan? Kalau Bupati batalkan tambang ini, maka bagi saya Bupati cukup dewasa dalam mengambil kebijakan terhadap rakyat Lembata. Tapi kalau program ini tetap berjalan, itu berarti Bupati lupa rakyat. (Rafael Suban Ikun, Kepala Desa Dikesare, Kec. Lebatukan) Setelah menyelami bagaimana perasaan warga yang kehidupannya terancam hilang dan menjadi non-sense dihadapan butiran-butiran emas pertambangan, masihkah kita menilai sikap menolak warga sebagai suatu kebodohan, sebagaimana disampaikan Wakil Bupati kepada masyarakat Kedang yang menolak pertambangan? Tak terbayangkan, kehidupan macam apa yang akan dihadapi masyarakat Lembata ketika kebersahajaan sikap dan cara hidup ribuan warga yang mencerminkan rasa hormat mereka terhadap alam sebagai ibunya itu dipandang sebagai kebodohan dan tak ada harganya dibandingkan dengan butiran emas. Benarkah emas, yang untuk mengambilnya harus merobek dan menyakiti rahim ibu pertiwi itu, pantas dibela dan diagungkan sebagai penopang kesejahteraan? Bagaimana kerusakan bumi yang tak bisa kembali itu akan dinilai? Sepadankah nilai kerusakan bumi itu dengan manfaat yang bisa diakses masyarakat? Pemerintah dan DPRD bisa jadi tidak berhitung secermat ini, namun masyarakat dengan logikanya yang sederhana telah mempertanyakannya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kedaulatan negara ada di tangan rakyat, dan Pemerintah (dan DPRD) sebagai pemangku kebijakan wajib mendahulukan kepentingan rakyat sebagai subyek. Rakyat punya hak untuk mendefinisikan apa arti kemakmuran baginya dan punya hak pula untuk mengontrol kekuasaan Pemerintah (dan DPRD) sedemikian rupa sehingga bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya tidak diperdagangkan kepada para investor demi kepentingan para elite dan segelintir orang saja. Undang-Undang Dasar tidak membenarkan dilakukannya eksploitasi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya apabila dampaknya menyengsarakan rakyat yang menjadi subyek dan tujuan pembangunan". Usai membaca dokumen ini, dengan Kalteng dalam bayangan, Rara sudah tergolek lelap di pangkuanku. Ken Prita mengendongnya ke dalam. Aku berdiri memandang keluar, ke arah hamparan pemandangan indah Bantingmurung. Berapa lama keindahanmu akan bertahan di hadapan kerakusan yang tak mengindahkan anak manusia? Aku hanya bisa berkata: RI, jangan hancurkan hidup kami! Yang terjadi di Flores, hanyalah salah satu sekian ratus kasus di mana kehidupan penduduk, lingkungan dan budaya lokal dihancurkan atas nama Republik dan Indonesia, pakaian kebesaran terbuat dari sutra mengkilau bagi "uang sang raja". Jauh di tengah rimba, kudengar jerit siamang. Siamang hilang rimba bersarang. *** Paris, Menjelang Musim Semi 2008. ----------------------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia, Paris. --------------------------------- Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel [Non-text portions of this message have been removed]