Tanya: Saya gadis berusia 22 tahun. Saya memiliki penyakit yang cukup berat. Saya sudah operasi sebanyak 5 kali dan sekarang alhamduliah dalam proses penyembuhan. Bapak yang terhormat, saat ini saya ingin sekali menikah dan menjalani hidup berumah tangga. Hal ini sangat saya inginkan sebagai rasa syukur saya yang luar biasa kepada Allah yang sudah memberi saya kesempatan hidup dalam kesakitan saya dan rasa bakti kepada orang tua.
Beberapa waktu yang lalu di tengah pencarian ada seorang muslim yang sangat baik mengutarakan niat baiknya untuk menikahi saya. Saya sangat bahagia. Beliau hampir sempurna untuk saya. Namun yang sangat mengganjal perasaan ini adalah dia sudah berkeluarga, entahlah pa saya sedih dan senang dalam hal ini. Dia bertanya pada saya apa saya menyayanginya? Saya bingung menjawabnya, karena jika saya jawab "iya" atau "tidak" saya menyakiti dia dan istrinya. Saya harus bagaimana, pak? Saya menyayanginya tapi saya tidak mau menjadi yang kedua dan diduakan terlebih keluarga saya sangat tabu untuk hal ini. Mohon bantuannya, pak. Terima kasih. Jawaban: Anda dalam kondisi sakit (proses penyembuhan) dan seorang perempuan. Mendapat pinangan tidak mudah dan pinangan tidak datang setiap saat. Di satu sisi, Anda keberatan menjadi istri kedua. Di sisi lain, pilihan yang ada adalah menjadi istri kedua atau berspekulasi antara (1) tidak kawin sama sekali dan (2) mengharapkan mendapat jodoh yang lain. Saran saya: kalau calon suami bagus agamanya, mulia akhlaknya, Anda hendaknya bertawakkal kepada Allah dengan menerima pinangannya. Agama melihat tidak ada perbedaan antara menjadi istri pertama dan kedua. Tabunya berpoligami dalam keluarga Anda bukanlah hal yang sejalan dengan agama. Islam tidak mengakui anggapan bahwa istri ke-2 dan seterusnya adalah selingkuhan atau simpanan, tapi sebagai istri yang sah. Semua istri yang sah berkedudukan sama dalam agama. Dengan kata lain, kalau penannya menjadi istri laki-laki tersebut maka kedudukannya sejajar dengan istri yang pertama. Meskipun demikian, keputusannya terpulang kepada penanya sendiri. Kalau anda menolak pinangan tersebut, Anda juga tidak berdosa dengan catatan Anda bisa bersabar dalam koridor ridha Allah (tidak justru berbuat maksiat). Kalau Anda khawatir tidak bisa bersabar dalam ridha Allah, Anda sebaiknya berpikir kembali tentang penolakan tersebut (khususnya dalam hal calon suami orang yang baik agamanya). Sebaliknya, bila yang bersangkutan tidak bagus agamanya, dikawatirkan ketidakadilannya, dan bobrok akhlaknya, Anda hendaknya bersabar dan menjauhkan diri darinya. Allahu Ta'ala a'lam. Rusli Hasbi (Dosen Ushul Fiqh Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) http://ruslihasbi.com <http://ruslihasbi.com> [Non-text portions of this message have been removed]