buat mas aly yang selalu cemas bahwa korupsi di indonesia seolah-olah sudah 
harga mati yang tak terobati.
   
  salam,
   
  ~a~
   
  
        http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=333851

Selasa, 01 Apr 2008,
Orang-Orang di Balik Kegarangan KPK Memerangi Korupsi

Setingkat Eselon I, Uang Saku Hanya Rp 75 Ribu Per Hari
Tak mudah menjadi anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mereka
harus tahan terhadap berbagai godaan, terutama terkait dengan uang.
Bagaimana kehidupan sehari-hari para figur yang berkiprah di lembaga itu?

ELIN YUNITA, Jakarta

Menjelang magrib Jumat lalu (28/3), pria berumur 60 tahun lebih itu
masih sibuk di kantor, gedung KPK di Kuningan, Jakarta. Dia adalah
Abdullah Hehamahua, penasihat di lembaga pemberantasan korupsi. Di
antara para anggota KPK, Abdullah termasuk yang bersedia diwawancarai
terkait aktivitas sehari-hari.

Di kalangan internal KPK, sosok Abdullah dikenal disiplin. Dia memang
termasuk orang KPK yang gampang ditelepon untuk konfirmasi. Tapi, dia
hanya bisa ditelepon setelah jam kerjanya di KPK selesai. Yakni, di
atas pukul 17.00. "Tidak boleh ada urusan pribadi di jam kerja," kata
Abdullah, tegas, saat sore itu menerima Jawa Pos di kantornya.

Dia menambahkan, integritas adalah hal yang mutlak dipunyai para
anggota KPK. "Kode etik harus benar-benar ditegakkan," katanya. Salah
satu penerapan kode etik di KPK, tamu di luar urusan pekerjaan tak
boleh diterima di kantor. Aturan itu berlaku untuk semua orang di KPK.
Bahkan, Abdullah yang dituakan pun harus menemui tamu di musala gedung
tetangga, yakni kantor Jasa Raharja.

"Yang juga ditegakkan di sini, anggota tak boleh menggunakan telepon
kantor untuk urusan pribadi. Ini tak akan pernah terjadi," kata pria
yang sering mengenakan baju koko dan peci itu.

"Latar belakang saya matematika. Jika 3,7 juta PNS (pegawai negeri
sipil) menggunakan telepon kantor untuk urusan pribadi satu menit per
hari, negara membayar untuk 3,7 juta menit sehari. Berapa miliar itu?"
ujarnya.

Bagi Abdullah, berkiprah di KPK adalah pengabdian. Selain itu, dirinya
harus benar-benar tahan dari godaan dan bisa bertahan hidup hanya dari
gaji, tanpa penghasilan tambahan. "Orang di KPK, kalau bukan karena
komitmen, nggak akan mau keluar daerah. Wong saya Eselon I, uang saku
hanya Rp 75 ribu sehari," ujarnya terus terang.

Uang sejumlah itu tentu tak cukup untuk makan di hotel atau restoran.
"Untungnya, selera saya ini termasuk selera kampung. Sukanya beli
makan pecel lele di kaki lima," ujarnya, lantas tertawa lepas.

Seorang petugas di KPK menceritakan, sehari-hari Abdullah ngantor
dengan mengendarai Kijang kotak. "Pak Abdullah di sini kos. Dia
mencuci sendiri baju-bajunya," katanya.

Ketika hal itu dikonfirmasikan, Abdullah tersenyum. "Itulah seninya
mengabdi di KPK," katanya.

Ujian yang tak kalah berat selama mengabdi di KPK, kata Abdullah,
ketika menghadapi orang-orang yang dikenal. "Hampir 25 persen orang
yang diusut KPK adalah senior saya, junior saya, dan teman saya," ujar
mantan Ketua KPKPN (Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara)
Sub-Legislatif itu.

Dia lantas menyebut nama mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan
mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Tak jarang tersangka yang dibidik KPK itu menghubunginya untuk minta
bantuan. "Tak ada satu pun yang saya layani. Mereka menelepon pun tak
saya angkat," tandasnya.

Saat Puteh diperkarakan, demonstran berdatangan, termasuk dari Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Di organisasi ini, Abdullah
menjadi anggota. Mereka berdemo di Juanda. "Akhirnya saya temui. Saya
bilang, pilih Puteh atau saya? Puteh, mantan ketua HMI Cabang Bandung,
atau saya yang mantan ketua PB HMI? Setelah saya ngomong seperti itu,
mereka pulang," ceritanya.

Sepupu Abdullah juga suatu ketika terjerat kasus korupsi yang
ditangani KPK. "M. Khusnul Yakin Payopo (mantan Kasubdit Imigrasi KJRI
Penang) itu sepupu saya. Saya awalnya kaget, karena tahu anak ini
baik," kisahnya. "Tapi bagaimanapun tetap harus diproses," ujarnya.

Abdullah tak cawe-cawe ketika sepupunya itu diproses dalam kasus
dugaan pungli biaya pengurusan dokumen di KJRI Penang. "Dia akhirnya
divonis pidana 29 bulan," lanjutnya.

"Sampai sekarang saya belum jenguk dia karena kode etik. Waktu selesai
satu periode (kepemimpinan Taufiequrachman Ruki), saya mau jenguk
sepupu saya itu. Tapi, karena jadi penasehat lagi di periode ini
(Antasari Azhar) saya belum besuk. Bagaimana pun harus tega," ujarnya.

Bukan hanya Abdullah di KPK yang mengalami konflik batin ketika famili
atau teman dekat sedang terjerat kasus korupsi. Mantan Wakil Ketua KPK
Erry Riyana Hardjapamekas ternyata adalah paman Mulyana W. Kusuma,
terpidana kasus penyuapan auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan
kasus korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Mulyana ketika dikonfirmasi Jawa Pos membenarkan hal tersebut. "Itu
tak masalah," ujarnya ketika ditanya hubungannya dengan Erry Riyana
saat ini.

Meski aturan di KPK ketat, ada juga penyidiknya yang tak kuat godaan.
Dia adalah AKP Suparman, yang tertangkap tangan dan harus menghadapi
tuntutan dari rekan-rekannya sendiri. Suparman tertangkap tangan
sedang memeras saksi kasus korupsi PT Industri Sandang Nusantara. Dia
pun diganjar dengan hukuman delapan tahun penjara. "Apa boleh buat,
dia (Suparman) memang salah," komentar Penyidik KPK Kombespol Heru
Sumartono.

Belajar dari kasus tersebut, penyidik Polri itu mengakui, menjadi
bagian dari KPK memang harus lebih tahan banting menghadapi para
koruptor yang berkantong tebal. "Ada saja godaan seperti itu,
cincay-cincay-lah istilahnya. Hampir setiap kasus, pasti ada (godaan,
Red)," ujarnya.

Bukan hanya digoda uang. Teror pun kerap diterima. "Untung saya dari
Polri, saya masih bawa senjata yang lama, dari organik saya. Itulah
senjata yang saya pakai setiap hari," ujar pria 51 tahun itu.
Bagaimana dengan keselamatan keluarga?

"Lha, itulah risiko," ujar pria asal Surabaya tersebut pasrah. Bukan
hanya ancaman keselamatan, ancaman kehilangan jabatan pun mengintainya
jika salah tangkap dan akhirnya diperkarakan.

Misalnya, saat dia menangkap Irawady Joenoes, anggota Komisi Yudisial
(KY) yang tugasnya mengawasi hakim. Saat itu, Irawady ditangkap karena
menerima suap. Heru mengaku sempat ngeper karena hingga menit ketujuh,
barang bukti atas diri Irawady belum ditemukan di rumahnya, Jalan
Panglima Polim 138, Jakarta. Untung, operasi itu sukses besar. "Kalau
waktu itu salah (salah tangkap, Red), di-grounded-lah kita," ujarnya.

Keputusannya bergabung di KPK dengan alasan ingin memperbaiki diri
juga bukan keputusan mudah. "Saya pernah belum terima gaji meski
bekerja di KPK sudah memasuki bulan keempat," tuturnya. "Hati saya
nelangsa, mantab-lah, makan tabungan maksudnya," ujarnya, lantas tertawa.

Selain gaji, fasilitas yang dimiliki KPK juga tergolong terbatas.
Kantor KPK adalah gedung tua, aset pinjaman Setneg. Laptop, bahkan
kursi dan meja, sering menjadi rebutan. "Saat penggeledahan, karena
kita menganut standar internasional, harus pakai sarung tangan. Waktu
itu KPK belum punya. Jadi, sebelum penggeledahan, penyidik harus beli
sarung tangan di apotek," ujar pria kelahiran Samarinda itu.

Kisah suka duka selama berada di KPK juga diceritakan Khaidir Ramly,
salah satu jaksa di KPK (kewenangan ganda di KPK membuat lembaga itu
punya dua pilar: penyidik dan jaksa). "Selama 1,5 tahun pertama kerja
di KPK, saya tak terima gaji. Jangankan mengirimkan uang bulanan ke
istri dan anak, memenuhi kebutuhan sendiri pun sulit," cerita Khaidir
yang asal Padang itu.

"Terpaksa saya minta subsidi sama keluarga. Kebetulan ada keluarga di
Jakarta," ujarnya. Ketika ditanya berapa dia digaji di KPK, Khaidir
enggan menjawab. "Yang jelas, tak sebesar perkiraan orang," lanjutnya.

Bukan hanya gaji, petugas keamanan yang mengawal jaksa di KPK juga
minim. Jaksa KPK hanya dikawal ketika pergi dan pulang dari
pengadilan. Selanjutnya, keamanan jadi tanggung jawab pribadi jaksa
yang juga tak dilengkapi senjata apa pun. "Kalau mati, mati sendiri
deh," tukasnya.

Meski demikian, Khaidir tetap bersyukur karena selama berada di KPK,
dia masih sempat menyelesaikan kuliah S2-nya. Bukan hanya itu, di KPK
dia juga reuni dengan rekan seangkatannya di Pendidikan Jaksa di tahun
1989, Antasari Azhar (ketua KPK). "Kami seangkatan, tapi beda nasib.
Saya masih bersyukur, ada beberapa teman seangkatan saya yang nasibnya
lebih di bawah," ujarnya. (kum)



                           


minds are like parachutes. they work best when open.
       
---------------------------------
OMG, Sweet deal for Yahoo! users/friends: Get A Month of Blockbuster Total 
Access, No Cost. W00t

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke