http://www.pikiran-rakyat.com:80/index.php?mib=beritadetail&id=19705

Perempuan dan Negara

Oleh Dinda Dewi Warsana

Jika sering menyimak pemberitaan di berbagai media massa tentang nasib 
perempuan, miris rasanya hati kita. Utamanya ketika menyangkut kasus kekerasan. 
Mungkin karena masih diasumsikan sebagai kaum lemah maka selama ini banyak 
perempuan yang dicaci-maki, diperkosa, dipukul, diintimidasi, diancam, bahkan 
sampai dibunuh. Tidak sedikit kasus yang terungkap, namun banyak pula yang 
hilang ditelan ketidakadilan.

Kekerasan terhadap perempuan tampil dalam berbagai bentuk. Biasanya dipilah 
dalam tiga kategori, kekerasan fisik, seksual, dan psikis. Akan tetapi, banyak 
pula yang bisa kita sebut sebagai kekerasan ekonomi, seperti kasus perdagangan 
perempuan dan anak (trafficking). Padahal, kita sudah memiliki UU No. 21 Tahun 
2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun keberadaannya 
belum mampu menekan jumlah korban trafficking. 

Juga, karena terus-menerus didera krisis ekonomi keluarga, di berbagai wilayah 
tanah air kian banyak orang tua yang menyuruh bahkan sebagian memaksa anak-anak 
perempuannya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Padahal, dari 
segi umur, banyak di antara mereka yang tidak layak untuk bekerja mencari 
nafkah.

International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa di Indonesia kini 
2,6 juta perempuan bekerja sebagai PRT, di antaranya 688.000 anak-anak, 
termasuk 640.000 anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Bagi perempuan 
miskin, bekerja sebagai PRT adalah jalan termudah untuk bisa memenuhi kebutuhan 
keluarga. Namun, peran besar perempuan tadi dalam menghidupi keluarga ternyata 
tidak disertai oleh perlindungan hukum yang merupakan kewajiban negara.

Masalahnya, hingga kini UU Ketenagakerjaan kita tidak memasukkan PRT sebagai 
bagian dari kelas pekerja. Hal itu telah menyebabkan kaum perempuan menjadi 
rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan di dalam bekerja. Antara lain gaji 
yang tidak dibayarkan, kekerasan seksual, jam kerja sangat panjang, perbudakan, 
bekerja tanpa hari libur, kekerasan psikis, dan penyiksaan fisik seperi 
pemukulan sampai pembunuhan.

Melanggar HAM

Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon telah 
meluncurkan kampanye global untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap 
perempuan karena merupakan tindakan yang tidak dapat diterima, dimaklumi, dan 
ditoleransi. Maka, PBB menetapkan kampanye antikekerasan terhadap perempuan 
berlangsung hingga 2015, bertepatan dengan target untuk pengurangan kemiskinan 
dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDG`s). Menurut Ban Ki-moon, 
kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah isu yang tidak bisa ditunda-tunda.

Dari data-data empiris menunjukkan bahwa berbagai kasus kekerasan terhadap kaum 
perempuan biasanya disebabkan oleh faktor kelemahan pengendalian diri (self 
control), pelaku kurang penghayatan terhadap iman, ajaran-ajaran moral, 
ketidakpedulian hukum, tekanan psikis dan ekonomi, sebagian lagi terkait 
masalah kepentingan politik dan keamanan.

Deklarasi hak asasi manusia (HAM) melindungi hak perempuan sebagai manusia 
untuk dihormati dan dijunjung tinggi. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan 
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, UU No. 39 
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No. 23 Tahun 2004 tentang 
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, secara umum menegaskan sebagai 
berikut.

Pertama, korban tindak kekerasan adalah perempuan dan anak-anak secara fisik, 
psikis, maupun seksual. Kedua, tindak kekerasan terhadap perempuan yakni setiap 
perbuatan dengan kekerasan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender) yang 
mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, dan atau psikis, pemaksaan 
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik terjadi secara umum 
atau dalam kehidupan pribadi.

Harus disadari bahwa setiap tindak kekerasan terhadap perempuan telah 
mencabik-cabik harga diri, harkat, dan martabat perempuan sebagai manusia. 
Setiap perempuan berhak untuk mengaktualisasikan dirinya, hak untuk dilindungi 
dari berbagai kekerasan, hak untuk memperoleh rasa aman serta rasa nyaman, dan 
terutama hak untuk hidup. Oleh karena itu, kekerasan terhadap perempuan adalah 
berlawanan dengan esensi martabat perempuan yang memiliki hak hidup dan hak 
untuk berkembang secara manusiawi.

Tanggung jawab negara

Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan di PBB, dalam Rekomendasi 
Umum No. 19 Tahun 1992 menyebutkan bahwa setiap negara bertanggung jawab untuk 
memberikan perlindungan bagi perempuan dalam bentuk tindakan preventif, 
investigasi, penjatuhan hukuman pada pelaku, dan menyediakan kompensasi bagi 
korban.

Tanggung jawab negara cukup jelas dalam konteks membebaskan perempuan dari 
segala bentuk kekerasan karena tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan 
salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

Jika kita telaah secara cermat, selama ini upaya investigasi terhadap para 
pelaku telah banyak yang diabaikan negara, sebab kekerasan terhadap perempuan 
dipandang sebagai masalah internal keluarga sehingga investigasi dianggap 
kurang penting. Akan tetapi, jika kita memandang kekerasan terhadap perempuan 
sebagai pelanggaran HAM maka investigasi harus dilakukan. Sebab, itu penting 
untuk menyiapkan aparat yang terkait penanganan kasus kekerasan terhadap 
perempuan dengan pemahaman dan kerangka kerja HAM.

Beratnya hukuman untuk para pelaku seharusnya diukur dari tingkat kesakitan dan 
akibat psikologis yang diderita oleh korban. Upaya untuk membebaskan pelaku 
dari tuduhan sedapat mungkin jangan sampai terjadi karena pengampunan tidak 
dikenal dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Peraturan serta 
perundang-undangan yang dibuat mestinya bisa mengakomodasi masalah sulitnya 
menyiapkan barang bukti ataupun saksi dalam kasus-kasus kekerasan terhadap 
perempuan.

Selain itu, kompensasi untuk perempuan korban kekerasan memiliki arti yang 
luas. Mulai dari penyediaan fasilitas pemulihan psikis dalam bentuk konseling 
dan terapi sampai dengan menyediakan kompensasi finansial. Misalkan, korban 
harus kehilangan mata pencahariannya, pemulihan nama baik, dan penyediaan 
layanan sosial jangka panjang jika korban mengalami kecacatan, semua ini harus 
disediakan oleh negara.

Berbagai tindakan preventif juga harus dilakukan negara agar kasus kekerasan 
terhadap kaum perempuan tidak terjadi lagi, berkurang, atau jumlahnya tidak 
membengkak. Dalam tindakan pencegahan ini yang paling utama adalah memastikan 
bahwa semua perangkat hukum tidak diskriminatif terhadap perempuan, di samping 
upaya melakukan ratifikasi konvensi penghapusan diskriminasi terhadap 
perempuan. Selain itu, negara perlu membuat program-program pendidikan terkait 
sehingga kaum perempuan memahami hak-haknya. Program pendidikan ini bisa dalam 
berbagai bentuk, misalnya melalui kampanye secara nasional.***

Penulis, pemerhati masalah perempuan, tinggal di Jakarta.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke