http://batampos.co.id/edisi-harian/opini/mendampingi-atau-menghakimi?-.html
Mendampingi atau Menghakimi? Monday, 21 April 2008 Oleh: Yayak Dahlia Ibu Rumah Tangga/Konselor Hukum Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (Refleksi Atas Sikap Judgemental Aktivis Perempuan terhadap Korban KDRT) Fenomena menggembirakan dari mengemukanya persoalan perempuan adalah banyaknya aktivis perempuan yang muncul memperjuangkan hak-hak perempuan. Terlepas dari kepentingan-kepentingan politis yang juga memicu maraknya aktivis perempuan, ini menunjukkan kaum perempuan makin sadar sesungguhnya mempertahankan hak-hak memang harus melalui perjuangan yang panjang. Forum diskusi yang dilakukan oleh aktivis perempuan di Batam yang membahas pendampingan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga mendorong saya membuat tulisan ini. Aktivis perempuan yang sudah berniat membantu korban kekerasan merasa dipermainkan karena korban seringkali tidak konsisten dalam mengadukan dan melanjutkan kasus yang dialaminya. Hari ini didampingi melapor ke polisi ternyata besoknya mencabut pengaduan. Hari ini menggebu-gebu dibantu proses cerai, besoknya malah lengket lagi. Akhirnya diskusi berakhir dengan kesimpulan bahwa korban perempuan sendirilah yang membuat undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga sulit ditegakkan. Benarkah demikian? Karakteristik Kasus KDRT Ada hal prinsip yang tidak dibahas dalam diskusi tersebut sehingga berakhir pada kesimpulan yang salah dan jauh dari keberpihakan kepada korban. Dalam memandang kasus kekerasan dalam rumah tangga, setiap orang yang bermaksud membantu, memperjuangkan maupun sekadar berkomentar terhadap kasus tersebut sebaiknya memahami konteks kekerasan di ranah privat yang di dalamnya terdapat siklus yang akan hampir selalu dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami fase-fase ketidakberdayaan, kepasrahan, ketakutan yang jika dialaminya secara berulang akan meningkat pada tataran klimaks yaitu adanya pemberontakan dari korban. Pemberontakan ini biasa dilakukan dengan cara kabur, membalas, membunuh diri, mencari pertolongan kepada orang yang dipercayainya atau melapor ke polisi. Karena sifatnya yang privat, di mana pelaku adalah orang yang secara emosional dekat dengan korban, ada hubungan darah dan ada perasaan cinta, siklus ini seringkali berputar menurun, yaitu munculnya kebimbangan dan perasaan kasihan dan tidak tega dari korban terhadap si pelaku yang telah diproses hukum, apalagi jika si pelaku sudah meminta maaf dan mengatasnamakan keutuhan keluarga dan kepentingan anak simpati dan maaf dari korban. Alasan lain dari munculnya kebimbangan ini adalah kondisi ekonomi, di mana kebanyakan korban masih bergantung kepada pelaku. Sehingga si korban seringkali tidak mempunyai pilihan lain selain mencabut pengaduannya. Siklus ini akan terus berputar, di mana si pelaku suatu saat akan melakukan tindak kekerasan lagi, semakin lama intensitasnya semakin sering dan semakin meningkat, korban merasa takut lagi, ada keinginan untuk berontak lagi. Terus akan berputar seperti itu karena interaksi antara pelaku dan korban terjadi secara intensif. Hal ini diperparah dengan adanya dikotomi di masyarakat jika antara pelaku dan korban ada hubungan darah dan perkawinan maka kekerasan dianggap sebagai kekerasan domestik yang tidak berhak orang lain mencampurinya sehingga korban sangat sulit untuk diselamatkan. Yang mendasari kenapa undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga perlu ada, karena untuk mendobrak tembok tebal yang bernama patriarkhi itu butuh suatu penciptaan sistem juga yang salah satunya adalah melalui undang-undang. Prinsip dasar dalam mendampingi korban kekerasan adalah memahami segala perilaku dan keputusan korban sehingga segala upaya yang kita berikan berorientasi pada kepentingan korban. Di sinilah pentingnya peran pendampingan dan konseling agar korban mempunyai gambaran terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi akibat keputusan yang diambilnya. Menghakimi mereka sebagai sosok yang tidak konsisten dan menganggap ketidak konsistenan itu menjadi kendala dalam menegakkan peraturan perundang-undangan justru menunjukkan bahwa kita masih berada di awang-awang dan bukan sedang di samping mereka. Tembok Bernama Patriarkhi Secara umum, dalam memahami ketidak berdayaan perempuan berarti kita juga harus memahami dimana perempuan sekarang berada. Perempuan dihadapkan dan dikitari oleh tembok tebal yang bernama tradisi, dimana ada peraturan boleh dan tidak boleh yang diterapkan kepada perempuan sejak perempuan lahir. Sejak kecil, anak perempuan ditabukan untuk bersikap aktif dan agresif. Perempuan tidak diperkenankan oleh tradisi melakukan hal-hal yang bersifat keras dan reaktif. Perempuan harus bisa meredam diri, bisa lebih tabah dan sabar, harus lebih bisa mengendalikan emosi dan amarah. Perempuan tabu untuk berkelahi atau bereaksi keras atas perlakuan yang tidak menyenangkan yang dialaminya. Tradisi mengenai boleh dan tidak ini yang kemudian membentuk sikap pasif kaum perempuan. Ketika perempuan mengalami kekerasan, dia tidak berani untuk menentang. Ketika diperkosa, dia tidak berani bereaksi keras. Ketika disiksa suaminya, dia akan mencoba pasrah dan meredamnya sendirian. Namun, lagi-lagi sikap lemah korban ini disesalkan oleh para aktivis perempuan dan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang patut disalahkan. Kalau diperkosa kenapa tidak berteriak? Padahal seumur hidupnya korban dibiasakan oleh lingkungannya untuk tidak bersikap reaktif terhadap kondisi yang ada. Jangankan untuk berteriak, untuk berkata "tidak" saja mungkin korban tidak sanggup melakukannya. Bahkan beban psikologis dan ancaman yang terus menerus seringkali tidak cukup membuat korban berani untuk menunjukkan penolakannya secara lebih nyata. Jadi, ini ketidak berdayaan, bukan kesalahan. Karena kultur dan lingkungan membentuk korban menjadi orang yang pasif. Ditambah lagi dengan kompleksitas persoalan ekonomi, aib keluarga, masa depan anak, image lingkungan yang membuat korban semakin tidak berdaya. Keputusan yang Terbaik Mengurai benang panjang kenapa perempuan seringkali menjadi korban kekerasan sebagaimana diatas akan memudahkan kita dalam melakukan "kerja bakti" pendampingan yang prosesnya bisa sangat panjang, berbelit-belit, melelahkan, menguras waktu, energi, biaya, tenaga dan pikiran kita. Mendampingi perempuan korban kekerasan tidak harus selalu berakhir di proses hukum dan perceraian jika korban memang tidak menginginkannya. Tugas pendamping adalah memberikan penguatan bagaimana korban dapat membuat pilihan dalam hidupnya dan bisa survive dengan keputusan yang sudah dibuatnya. Tanpa pemahaman itu semua, justru yang timbul adalah upaya pendampingan yang jauh dari empati dan alakadarnya sehingga korban yang sudah terlanjur mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap pendamping justru akan lebih terpuruk karena sikap dari pendampingnya. Kita pasti sepakat, yang namanya perempuan, dia akan lebih memilih menutup-nutupi "aib" keluarganya sehingga jika ada perempuan yang terpaksa membuka "aib"nya, pasti karena bersangkutan sudah pada titik klimaks mengalami tekanan. [Non-text portions of this message have been removed]