On 5/5/08, Kartono Mohamad <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Bung Wawan, UUD 45 tidak memberi mandat kepada pemerintah atau Presiden
> untuk menetapkan agama apapun. Dia bukan Tuhan. Tidak ada pasal yang
> menyatakan demikian, baik eksplisit maupun implisit.
> Maka ketika menteri agama menetapkan agama mana yang diakui pemerintah dan
> mana yang tidak, sebenarnya minimal ia sudah tidak sejalan dengan UUD 45.
> Maksimal ia telah melanggar UUD 45. Apalagi penetapan itu tidak dilandasi
> kriteria yang jelas atau kriteria yang diikuti oleh pemerintah secara
> konsisten. Bahwa Presiden tidak diimpeach karena pelanggaran itu, hanya
> karena kita sudah terlanjur mewarisi pola pemerintahan Suharto. DPR tidak
> menyadari hal itu atau pura-pura tidak tahu.
> MUI boleh mengeluarkan fatwa apa saja yang ia inginkan, tetapi hal itu
> tidak
> harus mengikat pemerintah untuk melaksanakannya.



pak KM,

bukankah kebebasan , bukan berarti bebas sebebas2nya .
justru dengan adanya penetapan agama2 yg diakui pemerintah,
prinsip2 kebebasan di masing2 agama menjadi lebih baik.

mengutip banjarmasin pos,  ada 250 aliran sesat di jabar,
dalam kurun 2001-2007 saja. bagaimana negara
akan mengatur hubungan masing2 aliran jika kebebasan
berarti sebebas2nya.

ini ada sedikit copas


*Menyoal Logika HAM Pembela **Ahmadiyah*
Oleh Munarwan

An Nashr Institute , mantan Ketua YLBHI

Pro kontra pelarangan Ahmadiyah terus bergulir. Setelah diberi kesempatan
selam 3 bulan, ternyata tidak ada yang berubah dari Ahmadiyah.
Ahmadiyahdinilai tidak konsisten dengan 12 butir pernyataan yang
sebelumnya
disepakati Ahmadiyah. Akhirnya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan
Masyarakat (Bakor Pakem) Kejaksaan Agung merekomendasikan Ahmadiyah untuk
menghentikan aktivitas.

Pihak yang kontra terhadap pelarangan Ahmadiyah sebagian besar berpijak pada
HAM. , terutama kebebasan berkeyakinan dan beragama. Beberapa argumentasi
pembela Ahmadiyah tentu saja perlu dikritisi.

Pertama, melarang Ahmadiyah dianggap telah melanggar HAM dan UUD 1945. Dalam
UUD 1945 kebebasan berkeyakinan ini dijamin konstitusi. Dalam Editorial
Media Indonesia ditulis : Begitulah, sangat jelas bahwa menurut konstitusi,
kebebasan meyakini kepercayaan sesuai hati nurani adalah merupakan hak asasi
manusia. Ia juga merupakan hak konstitusional warga, yang harus dilindungi
dan dibela negara. Namun, hak itulah yang sekarang dicopot negara dari warga
Ahmadiyah dengan cara menghentikan aktivitas Ahmadiyah. Sebuah perbuatan
yang dapat dikategorikan sebagai melanggar HAM dan juga konstitusi.

Argumentasi diatas seakan-akan benar. Namun yang terkesan dilupakan
editorial Media Indonesia, dalam Bab XA tentang HAK ASASI MANUSIA pasal 28 J
point 2 tertulis : *Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan utnuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis*. Hal yang sama dijelaskan dalam pasal 29 Duham, pasal
18 ICCPR.

Artinya, *pelaksanaan HAM bukanlah tanpa batas*. Negara bisa melakukan
intervensi atau melarang dengan pertimbangan nilai-nilai agama. Karena
masalah Ahmadiyah adalah persoalan agama Islam, maka pertimbangan
nilai-nilai agama Islam-lah yang patut diperhatikan dan dijadikan rujukan
oleh negara. Dalam pertimbangan Islam , perkara Ahmadiyah ini sudah sangat
jelas, merupakan paham kufur yang menyimpang dari Islam.

Penting juga dibedakan antara kebebasan beragama dengan kebebasan menodai
agama. Untuk perkara yang pertama, negara memang sudah sepantasnya
memberikan jaminan. Namun bukan pula berarti memberikan jaminan terhadap
kebebasan menodai dan menghina agama. Apa yang dilakukan Ahmadiyah adalah
penghinaan terhadap agama Islam, dengan menjadikan Mirza Gulam Ahmad sebagai
Nabi. Padahal sudah sangat jelas dalam Islam tidak ada nabi dan Rosul
setelah wafatnya Rosulullah SAW.

Sungguh mengerikan kalau antara kebebasan beragama dan kebebasan menodai
agama tidak dibedakan atas nama HAM. Sangat mungkin dengan mengatasnamakan
keyakinannya sekelompok orang sholat bukan menghadap kiblat tapi ke arah
Monas, sholat dengan dua bahasa, mungkin juga sambil telanjang. Kalau
berdasarkan keyakinan berarti tidak bisa dilarang, sungguh mengerikan. Kalau
logika diatas diikuti apa yang dilaukan oleh Wilders, Salman Rushdie, yang
menghina Islam tidak bisa disalahkan, sekali lagi sungguh mengerikan.

Pembatasan HAM justru dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim dirinya
kampium HAM. Di Perancis , Jilbab dilarang, dengan alasan mengancam
sekulerisme, padahal jilbab adalah kebebasan beragama. Di sebagian besar
negara Eropa, siapapun yang mengkritik dan mempertanyakan kesahihan
peristiwa hollacoust akan diseret ke pengadailan , padahal bukankah itu
bagian dari kebebasan berpendapat ?

Kedua, muncul anggapan kalau Ahmadiyah dilarang oleh negara, berarti negara
telah mengadopsi penafsiran tunggal, dengan kata lain negara melakukan
monopoli penafsiran. Lagi-lagi hal ini patut dipertanyakan, sebab dalam
banyak hal, negara memang melakukan monopoli. Dalam logika demokrasi,
monopoli negara ini sah-sah saja, kalau hal itu merupakan aspirasi
masyarakat banyak yang kemudian ditetapkan oleh undang-undang.

Lihat saja, meskipun ada yang tidak setuju dan berbeda tafsir tentang impor
beras,kenaikan BBM, privatisasi, tetap saja negara melakukannya. Sebab hal
itu telah ditetapkan dalam undang-undang yang diklaim merupakan keinginan
rakyat banyak. Lantas, kalau negara mengadopsi bahwa Ahmadiyah dilarang
karena dianggap menodai agama Islam dimana salahnya ? Apalagi mengingat
mayoritas elemen umat Islam di Indonesia sepakat bahwa Ahmadiyah itu
menyimpang dari Islam, termasuk dua ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama. MUI yang merupakan representasi ormas Islam di Indonesia
juga telah menetapkan fatwa sesatnya Ahmadiyah ini. Lantas kenapa bukan
suara mayoritas yang dirujuk ?

MUI juga bukan sendiri, kesesatan Ahmadiyah telah ditetapkan oleh Rabithah
Alam Islamy. Referensi utama Islam (mu'tabar) dalam kitab tafsir, fiqh,
aqidah maupun syariah yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren tidak
satupun yang membenarkan penilaian Ahmadiyah bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah
Nabi dan ada nabi baru setelah Muhammad saw. Pandangan ini hanyalah
pandangan pendukung Ahmadiyah saja. Jadi keliru kalau ini dikatakan monopoli
penafsiran MUI.

Ketiga, ketika membedah editorial Media Indonesia (19/04/2008) dengan judul
Hak Konstitusional Warga , Saiful Mujani mengatakan, sah-sah saja siapapun
mengatakan Ahmadiyah sesat, tapi negara tidak boleh memihak. Jelas logika
ini sangat berbahaya. Sesuatu yang jelas-jelas sesat kenapa dibiarkan ?
Justru negara harus bertanggung jawab agar kesesatan itu tidak meluas.
Negara justru dalam posisi keliru kalau membiarkan kesesatan meluas di
masyarakat. Kalau logika Saiful Mujani diikuti akan membayahakan masyarakat.
Sudah jelas-jelas lesbian atau homoseksual itu keliru, termasuk
berkembangnya paham ateis-komunis, tapi negara tidak boleh melarang.

Keempat, larangan terhadap Ahmadiyah baik oleh MUI atau Negara telah
menyebabkan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Logika ini seperti ini
mengabaikan fakta bahwa terjadinya kekerasan justru karena negara tidak
bersikap tegas terhadap Ahmadiyah yang menyebabkan sebagian masyarakat tidak
sabar . Disinilah letak penting negara harus segera melarang Ahmadiyah.
Justru untuk menghindari tindakan kekerasan.

Kelima, ada anggapan apa yang diyakini oleh Ahmadiyah tidak berbahaya,
karena tidak pernah merusak secara fisik dan melakukan tindakan
kriminalitas. Berbahaya tidaknya sesuatu tidaklah selalu ditunjukkan oleh
tindakan fisik. Melakukan fitnah, menghina, bukanlah kekerasan fisik, tapi
tindakan tersebut sangat berbahaya dan juga dianggap tindakan kriminal.

Dalam pandangan Islam, masalah Ahmadiyah ini adalah persoalan aqidah.
Sementara masalah aqidah adalah masalah yang paling pokok dalam Islam.
Pengakuan nabi Palsu jelas akan merusak aqidah umat Islam. Termasuk menghina
Rosulullah, menghina Al Qur'an adalah perkara penting karena berhubungan
dengan aqidah. Karena sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas, kalau
tidak apa yang dikhawatirkan seperti konflik horizontal akan semakin
membesar dan berlarut-larut.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke