Sekali Lagi, Tentang Perkawinan Antar Agama
  Ditulis oleh Adian Husaini   
   
  Beberapa hari lalu, saya mendapat hadiah buku kecil yang menarik dari seorang 
tokoh Islam di Bekasi. Judulnya, ”Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda”. 
Penulisnya seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. 
Muhammad Daud Ali (alm.). Buku setebal 32 halaman ini ditulis tahun 1992.
   
  Setelah menguraikan pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah 
peraturan hukum di Indonesia, Prof. Daud Ali menarik beberapa kesimpulan, 
diantaranya:
  (1) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara 
pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui 
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan 
didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum 
agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.
  (2) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari 
pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang 
Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun 
merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, 
tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga 
negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita 
hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di 
Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.
   
  Demikianlah kesimpulan Prof. Daud Ali tentang perkawinan antar agama di 
Indonesia. Penegasan guru besar UI itu perlu kita renungkan, mengingat saat ini 
sejumlah guru besar liberal yang mengajar di sejumlah kampus Islam, seperti 
Prof. Musdah Mulia dan Prof. Zainun Kamal, justru aktif membongkar dasar-dasar 
hukum Islam dalam soal perkawinan, dan menciptakan hukum baru. Buku Fiqih 
Lintas Agama yang ditulis oleh sejumlah profesor di UIN Jakarta dan aktivis 
liberal juga terus-menerus disebarkan di tengah masyarakat Indonesia. Seperti 
kita tulis dalam CAP-234 lalu, buku Fiqih Lintas Agama ini bukan hanya 
membolehkan perkawinan antar agama, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan 
menganjurkan masyarakat Indonesia agar melakukan perkawinan antaragama.
   
  Kata buku terbitan Paramadina dan (edisi Inggrisnya oleh) International 
Center for Islam and Pluralism (ICIP) ini: “Di tengah rentannya hubungan antar 
agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk 
membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula 
dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”
   
  Sebagai umat beragama, kita tentu sulit memahami logika macam apakah yang 
bercokol di otak para guru besar bidang agama ini, sampai tega-teganya 
menganjurkan umat Islam melakukan perkawinan antar-agama, demi membangun 
kerukunan umat beragama. Lagi pula apakah mereka juga melakukan hal itu pada 
keluarga mereka sendiri; pada anak-anak mereka sendiri?
   
  Lihatlah, apakah nama-nama yang tercantum sebagai penulis Buku Fiqih Lintas 
Agama dan penyebar buku ini -- seperti Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Kautsar 
Azhary Noer, Syafii Anwar, dan sebagainya -- juga bersedia menikahkan 
anak-anaknya sendiri dengan orang yang beragama lain? 
   
  Kita patut bertanya-tanya, mengapa sebagian mereka aktif menikahkan orang 
lain dengan pasangan beda agama, tetapi justru mereka sendiri tidak 
menerapkannya. Ketika putrinya, Nadia Madjid, akan menikah dengan seorang 
Yahudi Amerika, Nurcholish Madjid mengirimkan surat keberatannya. Diantara 
isinya ialah mensyaratkan calon mantunya itu harus masuk Islam. ”Kalau memang 
jadi, dia mutlak harus masuk agama kita,” tulis Nurcholish Madjid dalam surat 
bertanggal 13 Agustus 2001.
   
  Bahkan, lebih jauh lagi, Nurcholish memberi syarat yang lebih berat untuk 
calon mantunya waktu itu: ”Dan yang lebih penting, bahwa pengislaman itu 
tercatat, dengan surat keterangan/tanda bukti yang mencantumkan nama-nama para 
saksi resmi (biasanya dua orang, lebih banyak lebih baik) dan tanda tangan 
mereka. Karena itu, acara pengislaman tersebut harus dilaksanakan di sebuah 
lembaga yang diakui, seperti Islamic Center setempat, dan dibimbing oleh yang 
berwenang di situ.”
   
  Kita tahu, apa yang kemudian terjadi pada kasus perkawinan antara Nadia 
Madjid dengan David, seorang Yahudi Amerika. Kita tidak pernah tahu, bagaimana 
sebenarnya sikap Nurcholish Madjid terhadap buku Fiqih Lintas Agama ini. Yang 
jelas buku ini diterbitkan sebelum dia meninggal dunia. Namanya tercantum 
sebagai salah satu Tim Penulis di buku ini. Yang kita tahu kemudian, tahun 
2006, ICIP yang dipimpin Dr. Syafii Anwar – sahabat dekat dan pengikut setia 
Nurcholish Madjid – malah menerbitkan edisi bahasa Inggris dari buku yang 
jelas-jelas merusak aqidah dan syariat Islam ini. Dalam edisi bahasa Inggris 
yang diberi judul ”Interfaith Theology” ini, nama Nurcholish Madjid tetap 
dicantumkan dalam jajaran penulis, setelah nama Zainun Kamal, seorang guru 
besar UIN Jakarta yang juga berprofesi sebagai ’penghulu swasta’ dalam 
perkawinan antar-agama.
   
  Kita perlu benar-benar memperhatikan pemikiran dan perilaku para penganjur 
perkawinan antar-agama dari kalangan dosen-dosen UIN dan aktivis liberal ini. 
Sebab, sadar atau tidak, melalui pemikiran dan tindakan tersebut, mereka 
sebenarnya sudah melakukan sebuah tindakan yang merobohkan bangunan masyarakat 
Islam dari dasarnya, yaitu merusak institusi keluarga Muslim. Padahal, dari 
keluarga inilah diharapkan akan lahir generasi masa depan yang tangguh, yang 
tentu saja harus didasari dengan keimanan yang kokoh. Jika di tengah keluarga 
ini kedua orang tuanya berbeda keimanan, bagaimana mungkin akan terbangun 
generasi anak yang shalih menurut Islam?
   
  Karena itulah, perkawinan antar-agama bukan hanya menjadi masalah bagi Islam, 
tetapi juga bagi agama-agama lain. Dalam bukunya, Prof. Daud Ali mengutip 
ketentuan perkawinan antar-agama pada sejumlah agama di Indonesia. Agama 
Katolik dengan tegas menyatakan bahwa ”Perkawinan antara seorang Katolik dengan 
penganut agama lain tidak sah” (Kanon 1086). Namun demikian, bagi mereka yang 
sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, 
pejabat gereja yang berwenang, yakni uskup, dapat memberi dispensasi 
(pengacualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan 
mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain itu, asal saja 
kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam kanon 1125 yakni:
   
  1. yang beragama Katolik berjanji (a) akan tetap setia pada iman Katolik, dan 
(b) bersedia mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik.
   
  2. Sedangkan yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (a) menerima 
perkawinan secara Katolik (b) tidak akan menceraikan pihak yang beragama 
Katolik, (c) tidak akan menghalangi pihak yang Katolik melaksanakannya imannya 
dan (d) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
   
  Karena akan menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga, maka menurut agama 
Katolik, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari. 
Demikian kutipan dari buku Prof. Daud Ali.
   
  Dr. Al. Purwohadiwardoyo MSF, dalam bukunya yang berjudul ”Perkawinan Menurut 
Islam dan Katolik, Implikasinya dalam Kawin Campur”, (Yogyakarta: Kanisius, 
1990), menulis sebagai berikut:
   
  “Menurut hukum gereja katolik, perkawinan mereka (kawin campur.pen) itu 
bukanlah sebuah sakramen, sebab salah satu tidak beriman kristen. Hukum gereja 
katolik memang dapat mengakui sahnya perkawinan mereka, asal diteguhkan secara 
sah, namun tidak mengakui perkawinan mereka sebagai sebuah sakramen (sebuah 
perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat berlimpah. Pen). (hal. 18-19).
   
  Lebih jauh dikatakan dalam buku ini:
  “Kesulitan lain muncul dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak 
mereka. Pihak Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak dalam 
semangat katolik, bahkan ia harus berusaha sekuat tenaga untuk membaptis mereka 
secara katolik. Padahal kewajiban yang sama juga ada pada pihak yang beragama 
Islam.”(hal. 77).
   
  Karena memandang penting dan strategisnya soal perkawinan ini, maka pada awal 
tahun 1970-an, umat Islam Indonesia telah mengerahkan segala daya upaya untuk 
menggagalkan RUU Perkawinan sekular yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. 
Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi 
edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 
ayat (2) disebutkan:
   
  ”Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, 
kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”
   
  Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi 
Manusia pasal 16 yang menyatakan: ”Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa 
sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin 
dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan 
dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”
   
  Dalam tulisannya tentang Perbandingan Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB 
dengan Islam, khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang 
sangat tajam: ”Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang 
Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu, lalu pindah 
bergantung kepada ”Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San 
Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat ”Hak-hak Asasi” sendiri karena 
jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.” (Hamka, Studi Islam, 
(1985:233).
   
  Jika kaum sekular di awal 1970-an berusaha meluluskan sebuah RUU Perkawinan 
sekular yang meninggalkan agama, maka kini sejumlah dosen UIN Jakarta, seperti 
Prof. Zainun Kamal dan Musdah Mulia, justru berusaha membuat hukum syariat 
baru, bahwa perkawinan antar agama adalah halal. Lebih jauh, Prof. Zainun Kamal 
bahkan sering bertindak sebagai penghulu swasta dalam perkawinan antar-agama. 
   
  Dengan sokongan lembaga-lembaga donor Barat seperti The Asia Foundation, apa 
yang dikerjakan oleh para ilmuwan agama dalam merusak hukum Islam ini adalah 
jauh lebih besar kadar kejahatan dan daya rusaknya. Sebab, yang mereka lakukan 
adalah merusak konsep kebenaran itu sendiri. Mereka berusaha menciptakan 
kebingungan dan ketidakpastian dalam hukum Islam.
   
  Seperti kita ketahui, pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan: 
”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya 
dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal demi pasal menyatakan dengan 
tegas, bahwa: ”Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan 
di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
   
  Dengan legitimasinya sebagai guru besar bidang keagamaan di kampus berlabel 
Islam, maka para dosen penganjur perkawinan antar-agama itu berusaha 
meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Dengan posisinya itu, 
seolah-olah mereka memiliki otoritas di bidang hukum Islam, sehingga 
pendapatnya juga dianggap mewakili Islam. Toh selama ini, pimpinan kampus dan 
pihak pemerintah juga membiarkan saja perilaku para dosen tersebut. Sesuai 
dengan doktrin liberal, tidak ada penafsiran yang tunggal dalam soal hukum 
Islam. Mereka menyebarkan paham, perbedaan pendapat dalam soal apa saja adalah 
sah dan harus dihormati.
   
  Tidak heran, setelah dikawinkan dengan Kalina (Muslimah) oleh Prof. Zainun 
Kamal, pesulap nyentrik Deddy Corbuzier (Katolik) merasa perkawinannya telah 
sah menurut agama. Ia berujar, ”Yang penting, kami sah dulu secara agama.” 
(Tabloid C&R edisi 28 Februari-06 Maret 2005).
   
  Memang, banyak cara merusak Islam. Tapi, kita tidak pernah risau dengan semua 
tindakan mereka tersebut. Toh, Islam adalah milik Allah. Masing-masing tindakan 
sudah disediakan balasan yang setimpal. Tindakan merusak Islam pasti akan 
berdampak kepada pelakunya sendiri. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat. 
Wallahu A’lam. [Depok, 10 Jumadilawwal 1429 H/16 Mei 2008/www.hidayatullah.com]
   

       

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke