Refleksi:  Hemat saya pada abad ke -8 dan ke -13 belum terbentuk apa yang 
sekarang disebut bangsa Indonesia. Pada abad-abad ini terdapat 
kerajaan-kerajaan feodal di kepulauan Nusantara, dan oleh karena itu pengertian 
bangsa mempunyai karakter lain dari abad ke-20. Bangsa Indonesia adalah 
formulasi abad ke-20! Apakah ada yang mempunyai komentar terhadap tulisan 
dibawah ini?

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/02/00080178/baju.besi.dan.sangkar.besi

Baju Besi dan Sangkar Besi
Senin, 2 Juni 2008 | 00:08 WIB 
Oleh AM Hendropriyono

Indonesia yang pada abad ke-8 dan abad ke-13 merupakan suatu bangsa besar yang 
dipertuan di Asia Tenggara, kini pada abad ke-21 terpaksa harus mengenakan baju 
besi neoliberalisme yang menyakitkan, seperti juga yang harus dipakai oleh 
hampir semua negara berkembang lain di dunia. Kesakitan yang diderita karena 
baju besi kapitalisme dan demokrasi harus dikenakan oleh negara-negara 
berkembang, dengan ukuran yang terlalu sempit atau terlalu longgar bagi badan 
mereka masing-masing.

Neoliberalisme mengisyaratkan bahwa setiap bangsa yang ingin hidup sejahtera 
dan cerah hari depannya harus menerapkan praksis filsafat kapitalisme liberal 
dan filsafat demokrasi secara bersamaan, baik cocok maupun tidak, bagi 
nilai-nilai tradisi atau budaya bangsanya sendiri. Padahal, kedua macam 
filsafat asing itu berbeda satu sama lain. Hakikat kapitalisme liberal adalah 
ekonomi pasar, yang menuntut fungsi pemerintah berada seminimal mungkin di 
dalam aspek ekonomi. Fungsi pemerintah harus dibatasi hanya untuk menyediakan 
infrastruktur, menjamin keamanan, hak kepemilikan pribadi, dan menegakkan 
kontrak.

Dalam perkembangan globalisasi di era kini, tuntutan neoliberalisme juga 
berkembang sampai penyediaan infrastruktur tidak lagi merupakan fungsi 
pemerintah. Demikian pula halnya kelak dengan fungsi keamanan sehingga fungsi 
pemerintah semata-mata menyelenggarakan pertahanan jika negara terlibat di 
dalam peperangan. Sebaliknya, filsafat demokrasi justru menuntut fungsi 
pemerintah untuk dilaksanakan secara maksimal di bidang politik. Fungsi 
tersebut berada dalam posisi yang terkontrol dan seimbang, sesuai dengan asas 
Trias Politika Montesque yang membagi pemerintahan dalam fungsi-fungsi 
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Sangkar besi globalisasi

Dengan baju besi neoliberal dan sekaligus terkurung di dalam sangkar besi 
globalisasi yang tidak nyaman, manusia Indonesia niscaya membutuhkan kebebasan. 
Hasrat kebebasan sosial untuk menerapkan praksis filsafatnya sendiri, tidak 
mungkin dapat dikompensasi hanya dengan janji ekonomi global di dalam 
kemungkinan cerahnya hari depan. Sebagai contoh adalah harga global BBM dan 
bahan makanan yang mulai dirasakan terlalu tinggi bagi negara-negara maju, bagi 
bangsa Indonesia sudah dirasakan sebagai suatu cekikan di leher yang mematikan.

Bangsa kita ingin bebas dari cekikan maut dan ingin segera berontak untuk 
menyelamatkan diri. Namun, bagaimanakah bentuk pemberontakan itu? Apakah harus 
berupa suatu revolusi? Tentu tidak karena bangsa Indonesia sudah paham akan 
makna revolusi, yang selalu akan berakhir dengan memakan korban anak- anaknya 
sendiri. Revolusi sosial yang meletus di dalam suatu negara bangsa hanya akan 
menghancurkan segenap tatanan kehidupan bangsanya sendiri dan memorakporandakan 
infrastruktur demokrasi.

Jangankan revolusi, disiplin sosial yang rentan saja tidak mungkin dapat 
mempertahankan eksistensi demokrasi yang telah kita perjuangkan dengan mahal 
selama 10 tahun terakhir ini. Seperti yang terjadi pada sekitar tahun 1970 dari 
kampus-kampus seluruh Amerika Serikat hampir setiap bulan turun demonstrasi 
mahasiswa yang ekstrem, keras, dan radikal. Penggeraknya adalah kelompok muda 
The Students for a Democratic Society (SDS). Ketika berlangsung demonstrasi di 
Little Rock yang cenderung anarkis, seorang mahasiswa telah tertembak mati. 
Sesuai dengan tradisi dalam demokrasi, gubernur negara bagian harus bertanggung 
jawab dan wajib dengan legawa mengundurkan diri. Namun, etika demokrasi yang 
anti ekstremitas juga menjatuhkan sanksi sosial sehingga nama SDS yang semula 
harum sebagai pengusung intelek demokrasi menjadi hancur seketika tanpa bekas 
di mata rakyatnya.

Ampera

Kalau begitu, lalu apa yang dapat kita lakukan? Ingatlah sebuah pesan yang 
disampaikan Bung Karno pada Juni 1952: "Jikalau engkau pada suatu hari merasa 
bingung akan jalannya revolusi kita, maka kembalilah segera kepada amanat 
penderitaan rakyat (Ampera)". Rakyat telah memberi amanat kepada para pemimpin 
bangsa, untuk melakukan terobosan universal demi menyelamatkan mereka.

Oleh karena itu, nation state atau negara bangsa Indonesia wajib segera 
dibebaskan dari penderitaan akibat baju besi dan sangkar besi yang 
memenjarakannya. Terobosan tersebut bukan chauvinisme, tetapi suatu wawasan 
kebangsaan yang segar, yang merupakan revitalisasi nasionalisme Pancasila di 
era global. Kebangsaan yang segar adalah wawasan yang berdiri di atas 
interdependensi atau saling ketergantungan di dalam kehidupan modern 
antarnegara di dunia, bukannya hanya menggantungkan nasib kepada negara-negara 
maju.

Pancasila menuntut duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sebagai syarat 
hidup antarbangsa. Pancasila menolak istilah toleransi sebagaimana yang 
ditawarkan dalam sikap globalisasi karena toleransi merupakan bahasa 
paternalistik dari pihak superior kepada pihak inferior, dari mayoritas 
terhadap minoritas, atau bahasa pihak negara maju kepada Indonesia dan pihak 
negara berkembang lain.

Salah satu contoh praksis Pancasila dalam konteks mengemban Ampera akibat 
cekikan maut global adalah suatu renegosiasi kontrak atas konsesi pertambangan 
minyak asing, dengan tujuan mencapai keadilan praksis dari sistem produksi dan 
distribusi BBM. Setelah melalui strategi nasionalisasi perusahaan minyak asing, 
kini harga BBM di dalam negeri Venezuela dapat ditekan sampai hanya 0,1 Bolivar 
per liter = 0,04 dollar AS = Rp 372 per liter. Di negara itu diterapkan 
neo-nasionalisme, suatu ide revolusi wawasan, yang ekuivalen dengan kesegaran 
nilai-nilai kebangsaan di dalam filsafat Pancasila.

AM Hendropriyono Jenderal TNI (Purn), Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke