Postingan udah agak lama. Akhir Mei lalu.

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19269&cl=Fokus

Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah
[19/5/08]

Pro kontra mengenai apakah SKB pelarangan Ahmadiyah bertentangan atau
tidak dengan konstitusi sebenarnya bisa terjawab bila ada mekanisme
constitutional complaint. Sayangnya, MK belum memiliki kewenangan
tersebut.

Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri sebagai tindak lanjut
rekomendasi Bakor Pakem yang menyatakan ajaran Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) menyimpang, memang belum diterbitkan. Namun, pro
kontra seputar SKB itu sudah merebak di masyarakat. Ada yang meminta
agar SKB segera diterbitkan, ada juga yang meminta agar SKB tak perlu
dikeluarkan. Dua-duanya mengacu pada hal yang sama, yaitu UUD 1945.

 

Forum Umat Islam (FUI) merupakan organisasi yang getol memperjuangkan
agar SKB segera diterbitkan. “Itu hak konstitusional umat Islam.
Perlindungan terhadap akidah umat Islam,” ujar Ketua Tim Advokasi FUI
Munarman, beberapa waktu lalu. Ia menilai pembubaran JAI tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Langkah tersebut, menurut Munarman,
justru dijamin oleh UUD 1945. Pendapat ini mengemuka ketika rombongan
FUI menyambangi MK untuk membicarakan pembubaran Ahmadiyah dengan
merujuk pada Konstitusi.

 

Beda FUI, beda Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBB). “Kalau sampai SKB ini disahkan, berarti telah
terjadi pelanggaran Konstitusi,” ujar Aktivis AKKBB yang juga menjadi
kuasa hukum Ahmadiyah, Asfinawati. Direktur LBH Jakarta ini
mendalilkan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk
dan beribadah menurut kepercayaan dan agamanya.

 

Sayangnya, pendapat Munarman dan Asfin masih merupakan klaim
masing-masing. Di Indonesia, jalur hukum untuk mempertentangkan secara
langsung SKB dengan UUD 1945 belum ada. Padahal, hanya langkah hukum
lah yang bisa membuktikan klaim masing-masing kubu benar atau salah.
“Kalau SKB terbit, tak bisa ke MK. Kalau di Afrika Selatan atau
Spanyol ada yang namanya constitutional complaint (pengaduan
konstitusional, red),” ujar Wakil Ketua MK Laica Marzuki saat menerima
perwakilan AKKBB di MK.

 

Definisi constitutional complaint secara bebas adalah pengaduan warga
negara ke MK karena mendapat perlakuan dari pemerintah yang
bertentangan dengan konstitusi. Baik UUD 1945 maupun UU No 24 Tahun
2003 tentang MK tak memasukan constitutional complaint sebagai
kewenangan MK. Selama ini, salah satu kewenangan, MK sebatas menguji
undang-undang dengan UUD 1945. Dengan kata lain, hanya terkait
pelanggaran hak konstitusional warga negara dalam bentuk undang-undang.  

 

Jerman adalah salah satu negara di benua Eropa yang menerapkan
mekanisme constitutional complaint. Di negeri Hitler tersebut dengan
istilah Verfassungsbeschwerde, setiap warga negara yang merasa hak-hak
fundamentalnya dilanggar oleh pejabat publik dapat mengajukan
constitutional complaint ke MK. Hanya saja, pengajuan ini
diperkenankan apabila medium pengadilan lain telah dicoba.

 

Pengajuan constitutional complaint tidak dikenakan biaya dan tidak ada
kewajiban didampingi oleh pengacara. Dalam kurun waktu 1951-2005,
tercatat 157.233 permohonan didaftarkan ke Federal Constitutional
Court. Dari jumlah itu, 151.424 yang masuk klasifikasi constitutional
complaints. Namun, hanya 3.699 permohonan atau 2,5% yang berhasil.

 

Contoh kasus yang cukup terkenal, ketika masyarakat muslim di Jerman
mengajukan permohonan constitutional complaint gara-gara adanya
larangan penyembelihan hewan berdasarkan UU Perlindungan Hewan.
Masyarakat muslim merasa berkeberatan atas larangan itu karena dinilai
bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Ajaran Islam justru
mewajibkan hewan disembelih sebelum halal dimakan. Federal
Constitutional Court mengabulkan permohonan dengan pertimbangan
kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi. Sementara, larangan
penyembelihan hewan hanya diatur dengan aturan di bawah konstitusi.

 

Selain Jerman, sejumlah negara lain yang juga menerapkan
constitutional court antara lain Afrika Selatan, Korea Selatan,
Azerbaijan, Bavaria, dan Kroasia.

 

Harus Amandemen UUD'45

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin
mengakui memang sering terjadi pelanggaran konstitusi, tetapi warga
negara yang terlanggar tak bisa berbuat apa-apa. “Fakta empirisnya,
memang sering terjadi pelanggaran konstitusi yang langsung dirasakan
oleh warga negara. Tetapi tak bisa men-challenge-nya,” jelasnya kepada
hukumonline, Senin (12/5).  

 

Meski begitu, Firman menyadari mengapa kewenangan constitutional
complaint tak diberikan kepada MK. Ia pun menjelaskan latarbelakang
dibentuknya MK. Bila melihat risalah sidang MPR, lanjutnya,
pembentukan MK berdasarkan kebutuhan pragmatis. Kala itu,
latarbelakangnya adalah kasus Gus Dur yang bisa di-impeach begitu
mudah. Karenanya, MPR mengharapkan agar ada mekanisme impeachment
presiden yang jelas, sehingga terbentuklah MK. 

 

Pasal 24C UUD 1945

 

(1)  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.

(2)  Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

 

Menurut Firman, latarbelakang dibentuknya MK ini berbeda dengan MK di
negara lain. Ia mengungkapkan, di banyak negara, kewenangan pokok MK
itu sebenarnya hanya ada tiga. “Pengujian UU dengan UUD 1945,
constitutional complaint, serta memutus sengketa kewenangan lembaga
negara,” ungkapnya. Sedangkan kewenangan seperti memutus sengketa
hasil pemilu dan pembubaran partai politik hanya bersifat aksesoris. 

 

Berdasarkan penjelasan Firman, latarbelakang inilah yang membuat MK
tak memiliki kewenangan constitutional complaint. Karena MPR kala itu
lebih fokus kepada mekanisme pemakzulan presiden dibanding memikirkan
mekanisme menyelesaikan pelanggaran konstitusi yang menimpa warga
negara. Walau pada dasarnya, wacana pengujian undang-undang bukan hal
yang baru di Indonesia. “M. Yamin dalam sidang BPUPKI juga sudah
mewacanakan hal tersebut (pengujian UU, red),” ungkapnya.

 

Sementara itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie terkesan kurang tertarik
dengan wacana constitutional complaint. Dalam kasus Ahmadiyah ini, MK
memang menjadi lembaga negara yang ketiban pulung. Pihak-pihak yang
berseberangan bergantian menyambangi gedung MK. Pertama adalah FUI,
kemudian dalam hitungan hari hadir AKKBB. “Setelah kubu Gogon (Ahmad
Sumargono, Anggota FUI,-red), kini hadir kubu AKKBB,” candanya saat
menerima AKKBB yang didampingi oleh pengacara kondang Todung Mulya Lubis. 

 

Pertemuan itu memang tak menghasilkan apa-apa. Jimly pun enggan
berkomentar lebih dalam, karena masalah ini belum sampai ke MK. Namun,
soal constitutional complaint, Jimly punya pendapat sendiri. Ia
menilai tak mudah memberikan kewenangan itu kepada MK. Banyak tahap
yang perlu dilalui.

 

Di antaranya adalah amandemen UUD 1945 karena kewenangan MK hanya
terbatas pada lima kewenangan dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) saja.
Norma pasal ini pun bersifat tertutup. Lain hal, kalau normanya
bersifat terbuka seperti yang dimiliki Mahkamah Agung. Anak kalimat 
'....dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang,” dalam Pasal 24A UUD 1945, berarti memungkinkan
penambahan kewenangan MA tanpa perlu mengubah UUD 1945.

 

Selain itu, lanjut Jimly, constitutional complaint bisa membuat MK
berbenturan dengan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Bila seseorang
merasa dilanggar HAM maka orang tersebut bisa mengajukan
constitutional complaint ke MK atau pengadilan HAM. Hal ini tak boleh
terjadi. Satu kasus bisa dibawa ke dua pengadilan berbeda, ke MK dan
pengadilan HAM. Analoginya, seperti kasus korupsi yang bisa diadili di
pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi. Dalam
putusannya, MK sudah menyatakan dualisme seperti ini menabrak asas
kepastian hukum.

 

Sementara itu, dalam benak Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan
constutional complaint bisa saja dilakukan bila hakim konstitusi
menafsirkan secara dinamis dan meluas terkait hak konstitusional
pemohon dan legal standing (kedudukan hukum) pemohon yang diatur dalam
Pasal 51 UU MK. “Namun sebagai catatan bahwa perkara semacam ini
(constitutional complaint,-red) telah menimbulkan beban berat bagi MK
Jerman sehingga untuk membatasi perkara semacam itu masuk disyaratkan
bahwa semua upaya hukum telah terlebih dahulu ditempuh,” tulis
Maruarar dalam bukunya yang berjudul 'Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia'.

 

PTUN atau ke MA

Jimly juga belum bisa memberi saran terkait langkah hukum khusus untuk
SKB bila nanti jadi diterbitkan. “Kita harus lihat isi SKB itu dulu,”
ujarnya. Memang banyak langkah hukum yang bisa ditempuh, seperti
membawa SKB itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) atau menguji ke
MA. Namun, kedua langkah itu memiliki kajian berbeda.

 

Bila dilihat dari bentuknya, SKB merupakan ketetapan atau beschiking.
Sifat dan isinya, seharusnya individual-konkret. Kalau memang sesuai
antara bentuk dan isinya nanti, maka forum untuk mengujinya adalah
PTUN. Namun, belum tentu antara bentuk dan isi akan sesuai. “Bagaimana
bila isinya berupa pengaturan?” tanya Jimly. 

 

Bila seperti itu memang akan sulit memilih forum untuk mengujinya.
Berbeda dengan ketetapan, sifat dari sebuah peraturan adalah
umum-abstrak. Forum penyelesaiannya, bisa menguji peraturan itu ke MA
dengan dipertentangkan dengan undang-undang. Namun, Uniknya, bentuk
SKB tak dikenal sebagai peraturan perundang-undangan menurut UU No 10
Tahun 2004 yang berbicara mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.

 

Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sonny Maulana Sikumbang berpendapat kedudukan SKB setara dengan
Peraturan Menteri. Ia pun mengutip ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang
mengatur peraturan menteri secara implisit.

 

Pasal 7 UU 10/2004

 

(1)  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

 

(4)  Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.

 

Mengacu kepada pendapat Sonny, maka pengujian SKB bisa saja diajukan
ke MA. Karena telah dikualifisir sebagai peraturan yang berada di
bawah undang-undang. Namun, undang-undang apa yang harus ditabrakkan
dengan SKB ini. Bukankah UU No.1/Pnps/1965 dan UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) justru yang mengamanatkan Jaksa Agung
untuk mengawasi aliran kepercayaan dengan membuat produk seperti SKB?
Jawabannya bisa jadi adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

 

LBH Jakarta pun sudah berjanji akan membawa UU No.1/Pnps/1965 ke MK.
Bahkan berdasarkan catatan hukumonline, janji ini sudah berusia tiga
tahun. Tak jelas apakah janji ini hanya gertak sambal atau benar-benar
terealisasi tahun ini, yang pasti kubu 'lawan' sudah siap menunggu.
Bahkan Tim Pengacara Muslim, melalui Mahendradatta menantang agar
janji itu direalisasikan. “Kita siap menjadi pihak yang intervensi,”
sambung Munarman yang juga mantan Ketua YLBHI.

(Ali/Rzk)

Kirim email ke