Mereka Bisa karena Pemerintah Peduli
Sabtu, 24 September 2005 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/24/Fokus/2072964.htm Sama-sama negara agraris, kalau bicara soal perberasan, kondisi Indonesia sangat kontras dibandingkan dengan dua negara tetangganya, Thailand dan Vietnam. Kedua negara itu kini eksportir terbesar beras dunia. Sementara, Indonesia masih tertatih-tatih untuk kembali berswasembada. Mengapa dua negara itu mampu mengukuhkan diri sebagai negara produsen produk pertanian yang disegani di dunia, sementara Indonesia yang sekitar 70 persen penduduknya hidup dari pertanian, petaninya terus berkubang dalam kemiskinan dan kelaparan? Ternyata kuncinya, karena pemerintah mereka peduli! Seperti Indonesia, Thailand dan Vietnam juga mengandalkan sebagian besar hidup perekonomiannya pada sektor pertanian, terutama beras. Sejak terjadinya reunifikasi tahun 1975, Vietnam menetapkan pertanian sebagai tulang punggung perekonomiannya. Ini bukan tanpa alasan. Saat itu, lebih dari 60 persen rakyatnya hidup dari pertanian padi yang dikelola secara kolektif. Oleh karena itu, meski ingin menjadi negara industri, Pemerintah Vietnam sadar tidak mungkin meninggalkan begitu saja pertanian. Apalagi, tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat untuk mengadopsi ilmu dan teknologi yang menjadi syarat utama industri belum mencukupi. Lompatan yang terlalu cepat hanya akan membuat rakyat gagap. Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh para pemimpin Vietnam. Untuk itu, diambil keputusan untuk membagi pembangunan Vietnam dalam dua arah. Wilayah selatan dikembangkan menjadi daerah industri dan perdagangan, sementara wilayah utara untuk pertanian karena iklimnya lebih memungkinkan. Agar antara utara dan selatan tidak terjadi jurang yang dalam, pada tahap awal Pemerintah Vietnam memfokuskan diri dalam membangun infrastruktur, mulai dari irigasi, pencetakan sawah, hingga jalan-jalan yang menembus sampai ke pelosok-pelosok desa yang menjadi sentra produksi padi. Pemerintah Vietnam dengan ketat menjaga agar tidak terjadi alih fungsi tanah pertanian, terutama sawah yang beririgasi untuk kepentingan lain. Pelanggaran terhadap hal ini akan mendapat hukuman sangat berat, bahkan dikategorikan sebagai “kejahatanâ” politik. Pemerintah memang tidak memberikan subsidi, tetapi segala kebutuhan sarana produksi pertanian, khususnya padi, dijaga ketersediaannya oleh pemerintah. Mulai dari benih, pupuk, pestisida, hingga alat-alat pertanian dengan mudah bisa diperoleh oleh petani melalui koordinator kelompoknya. Ini hampir mirip dengan suasana di Indonesia ketika melakukan revolusi hijau melalui program Bimbingan Massal (Bimas) untuk mencapai target swasembada beras yang dicanangkan oleh mantan Presiden Soeharto. Namun, sebagai negara sosialis, Vietnam mempunyai kebijakan kepemilikan tanah yang lebih tegas. Ada batas minimum kepemilikan lahan yang dijaga oleh pemerintah. Lebih dari 80 persen kebutuhan pangan keluarga petani dipenuhi sendiri oleh lahan pertanian yang dimiliki keluarga itu. Kelebihan produksi yang tidak dikonsumsi oleh keluarga boleh dijual ke pasar, dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Penjualan kepada pemerintah maupun ke pasar akan mendapatkan harga sama baiknya. Namun, ada ketentuan yang tidak tertulis tetapi berlaku di masyarakat, yakni bahwa keluarga petani akan menyerahkan beras terbaiknya untuk dikelola pemerintah, yang diperuntukkan untuk ekspor. Sementara, yang kurang baik dikonsumsi sendiri. Hanya dalam waktu 11 tahun sejak reunifikasi atau berakhirnya perang saudara, Vietnam telah menjadi negara pengekspor, tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian lainnya seperti gula, kacang tanah, kopi, teh, karet, dan serat jute. Hingga hari ini Pemerintah Vietnam tetap berupaya untuk menjadikan pertaniannya sebagai tulang punggung, meski industrinya mulai berkembang dan meluas. Bekerja sama dengan China, Kamboja, dan Laos, Vietnam membangun infrastruktur di daerah aliran Sungai Mekong. Proyek yang akan selesai tahun 2010 ini akan menjadi landasan kuat bagi pembangunan pertanian negara-negara di Indochina itu. Sangat kompetitif Dengan dukungan yang diberikan pemerintah, pertanian kini benar-benar menjadi tulang punggung perekonomian Vietnam. Beras menyumbang 90 persen dari total produksi pangan dan sekitar 50 persen dari total produksi pertanian. Dari total lahan pertanian yang ada, sekitar 78 persen dialokasikan untuk tanaman padi. Pada tahun 1995, dengan areal padi seluas 4,2 juta hektar, produksi padi negara ini sudah mencapai 25 juta ton. Produksi beras Vietnam meningkat rata-rata 5 persen (sekitar 1 juta ton) setiap tahun sejak tahun 1989. Penerimaan ekspor beras menyumbang sekitar 30 persen dari total devisa ekspor produk pertanian dan kehutanan. Vietnam sendiri sekarang ini merupakan eksportir beras terbesar kedua di dunia, dengan menguasai sekitar 15-17 persen pangsa pasar beras dunia. Berbagai survei menunjukkan, biaya produksi beras Vietnam adalah yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, di kawasan delta Cuu Long, biaya produksi adalah yang terendah di dunia karena kondisi alam yang sangat mendukung. Dalam hal kualitas, Vietnam memang masih kalah dari Thailand. Saat ini baru sekitar 40 persen dari total produksi beras Vietnam yang termasuk kualitas bagus (5-10 persen pecah), sementara 70 persen beras produksi Thailand sudah merupakan beras kualitas bagus. Meskipun demikian, di pasar internasional, beras Vietnam menjadi pesaing berat bagi beras dari India, China, dan bahkan Vietnam. Dalam hal produktivitas padi, Vietnam bahkan sudah melampaui Thailand. Pada tahun 2000 produktivitas (diukur dari volume produksi per hektar lahan) di Vietnam sekitar 1,7 kali dibandingkan Thailand. Sementara, biaya produksi juga jauh lebih kompetitif, yakni 220 dollar AS per ton. Untuk Thailand, 250 dollar AS per ton. Keberpihakan pemerintah Sebagaimana di Vietnam, sektor pertanian juga memainkan peran penting dalam perekonomian Thailand. Saat ini Thailand adalah negara pengekspor beras terbesar di dunia. Tahun lalu negara ini bisa mengekspor beras hingga hampir sembilan juta ton. Pada tahun ini diperkirakan turun menjadi sekitar tujuh juta ton dalam setahun. Kemampuan Thailand ini didukung oleh produksi mereka yang melimpah, sementara secara perlahan konsumsi beras mereka mulai mengalami penurunan. Akan tetapi, hal yang mendasar adalah keberpihakan Pemerintah Thailand kepada petaninya. Keberpihakan itu terlihat jelas dari cara Pemerintah Thailand menangani produksi pada saat panen raya. Setiap tahun pemerintah selalu melakukan pembelian beras petani melalui program intervensi. Pembelian yang dimaksudkan untuk mengatrol harga gabah di tingkat petani ini dilakukan pada saat panen raya.Pembelian oleh Pemerintah Thailand sangat besar pengaruhnya ke pasar, karena dari produksi sekitar 26 juta ton, pemerintah bisa menyerap hingga 10 juta ton. Dengan kekuatan pembelian sebesar itu para spekulan dan pedagang akan kesulitan menekan harga beras petani. Inspeksi secara cermat juga dilakukan oleh Pemerintah Thailand untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam pembelian beras itu. Tahun lalu Thailand sempat menunda ekspornya setelah muncul dugaan kecurangan dalam pengadaan. Bahkan, polisi dilibatkan untuk menelitinya. Beras yang dibeli pemerintah itu kemudian disimpan di gudang-gudang milik pemerintah. Gudang ini kualitasnya sangat baik sehingga beras bisa disimpan dalam jangka waktu lama, sekitar dua tahun. Pada saat gudang penuh dan masalah pangan di dalam negeri tidak mencemaskan, Pemerintah Thailand mengeluarkan stok ini. Sekali pengeluaran stok, bisa mencapai 1,7 juta ton. Melalui tender, beras tersebut beralih tangan ke pengusaha. Meskipun telah dimiliki pengusaha, namun Pemerintah Thailand mengharuskan beras tersebut diekspor, alias tidak boleh dijual di dalam negeri. Begitulah Thailand menjaga kesetimbangan stok berasnya. Dukungan lain seperti pupuk, benih, dan lain-lain juga sangat jelas. Sarana produksi pertanian selalu tersedia ketika musim tanam tiba. Pada saat panen, pengangkutan hasil panen ini juga sangat mendukung. Mereka biasa mengirim beras melalui sungai sehingga tidak tergantung pada bahan bakar minyak. Peranan lembaga penelitian juga sangat besar. Lembaga penelitian bersentuhan langsung dengan kebutuhan petani. Mereka menghasilkan benih-benih baru yang bermutu tinggi, termasuk beras aromatik. Tidak kalah menariknya adalah organisasi yang cukup kuat dalam agrobisnis padi di negara itu. Para petani tergabung dalam Asosiasi Petani Thailand (Thai Farmers Association), para pemilik penggilingan tergabung dalam Asosiasi Pemilik Penggilingan Padi Thailand (Thai Rice Millers Association), dan para pengekspor beras tergabung dalam Asosiasi Eksportir Beras Thailand (Thai Rice Exporter Association). Keberadaan organisasi ini sangat membantu mereka dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk ketika berunding dengan pemerintah atau dengan pihak lain. Berbeda dengan di sini, agrobisnis padi di Thailand sudah sangat terpadu. Lebih penting lagi, keberpihakan pemerintah pun tidak hanya sekadar slogan, tetapi benar-benar ditunjukkan dengan langkah konkret di lapangan. ___________________________________________________________________________ Nama baru untuk Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. Cepat sebelum diambil orang lain! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/