setuju, tidak bisa dipungkiri lagi, sesungguhnya adanya SBI adalah kebanyakan 
beroerientasi pada bisnis semata.....
http://www.aqiqahaqilah.com

Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                             
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=rubrik&kid=7&id=Debat%20Publik
 
 Rabu, 16 Juli 2008  
      
       Menggugat Sekolah Bertaraf Internasional 
       Oleh Pudjo Sugito
 
 SEBUTAN sekolah bertaraf internasional (SBI) kini makin banyak di negeri ini. 
Dulunya hanya terdapat di kota-kota besar, kini telah merambah ke berbagai 
daerah. Biaya pendidikannya sangat mahal. Saking mahalnya, sekelompok 
masyarakat memberikanplesetan dengan kepanjangan sekolah bertarif 
internasional. Memang, digembar-gemborkan bahwa penyelenggaraan SBI bertujuan 
untuk meningkatkan kualitas lulusan. Namun dalam menetapkan tarif pendidikannya 
tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan pemerataan masyarakat dalam 
memperoleh akses pendidikan yang murah dan berkualitas. Karena biaya pendidikan 
yang mahal tentu sangat tidak ramah pada kelompok masyarakat miskin. Namun 
sikap pengelola SBI dan pemerintah terus saja menebar janji untuk dan demi 
kepentingan peningkatan kualitas.
 
 Namun, di balik janji manis tersebut tersirat sebuah dugaan, sangat mungkin 
pendirian SBI bukan semata ingin meningkatkan kualitas, tetapi lebih untuk 
merespons masyarakat yang memiliki fanatisme tinggi pada pendidikan dengan 
label-label internasional. Tidaklah mengherankan manakala kemudian diserbu 
masyarakat, utamanya kalangan the haves untuk menyekolahkan putra-putrinya. 
Bahkan, mereka tidak mempedulikan berapa pun biayanya. Baginya yang paling 
penting prestise, karena anaknya berstatus siswa sekolah internasional.
 
 Selain itu, maraknya penyelenggaraan SBI memunculkan pertanyaan, benarkah 
sekolah-sekolah tersebut berstandar internasional. Berdasarkan hasil 
pengamatan, faktanya sangat mengejutkan. Karena penyelenggaraan sekolah 
internasional kurang mencerminkan standar pendidikan bertaraf internasional. 
Boleh dibilang, sekolah internasional tetapi tetap berstandar lokal. Karena 
realitasnya, penyelenggaraan sekolah internasional tidak lebih dari 
sekolah-sekolah reguler lainnya. Bedanya, media komunikasi dalam proses 
pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris. Itu pun masih bilingual.
 
 Padahal sejatinya, sekolah berstandar internasional adalah sebuah 
penyelenggaraan pendidikan yang memiliki kurikulum berstandar global, 
setidaknya berkurikulum cambridge, dan didukung dengan infrastruktur pendidikan 
lengkap. Mulai dari jejaring internasional, international office, ketersediaan 
pengajar profesional dengan pengalaman internasional, asrama, fasilitas olah 
raga, perpustakaan yang komplit, budaya disiplin tinggi serta masih banyak yang 
lainnya. Bahkan, sebenarnya penyelenggaraan sekolah internasional tidaklah 
harus selalu menggunakan bahasa Inggris dalam pembelajarannya, serta tidak 
mengabaikan pentingnya mengajarkan kearifan budaya lokal yang unik, yang 
memiliki daya tarik tersendiri di kancah global. Tetapi yang lebih 
memprihatinkan, para siswa sekolah internasional ini ternyata kurang kreatif 
dan miskin prestasi.
 
 Tentu temuan ini benar-benar memprihatinkan dan kian menjadi pembenar, 
penyelenggaraan sekolah internasional selama ini hanya untuk membidik 
masyarakat yang selalu menganggap wah dengan sesuatu yang berlabel 
internasional. Maknanya, penyelenggaraan SBI yang banyak dilaksanakan di daerah 
selama ini lebih banyak bermotifkan bisnis, hanya untuk mendapatkan untung 
besar. Ironisnya, pemerintah daerah juga merasa silau dan over convidence 
dengan label-label internasional. Bahkan, terus berupaya menjadikan semakin 
banyak sekolah penyelenggara SBI, juga dengan dalih meningkatkan kualitas. 
Sehingga, dugaan penyelenggaraan sekolah internasional sengaja membidik segmen 
pasar kalangan menengah atas yang tidak cukup mampu untuk mengirim anaknya 
untuk menempuh pendidikan di luar negeri memanglah benar.
 
 Sebuah strategi bisnis pendidikan yang cukup jitu. Tetapi fenomena ini makin 
membuktikan bahwa paham liberalisme telah benar-benar merasuk pada hampir semua 
sendi kehidupan bangsa. Imbasnya, suka tidak suka kita semua harus siap pula 
menerima semua akibatnya. Karena liberalisasi pengelolaan pendidikan pasti akan 
melahirkan generasi-generasi baru yang materialistik, yang tidak sejalan dengan 
idealisme pendidikan nasional.
 
 Bahkan sangat mungkin, sekolah-sekolah dengan predikat SBI hanya akan 
melahirkan generasi-generasi eksklusif, egois dan menganggap dirinya paling 
superior. Hal itu karena jebolan pendidikan ini akan miskin terhadap pemahaman 
pentingnya nilai-nilai dan budaya luhur bangsa, seperti pertalian sosial, 
toleransi, kerja sama, serta berbagai nilai sosial lainnya. Padahal kompetensi 
sosial tersebut jauh lebih superior dan berfungsi sebagai life skill, yang 
menurut hasil riset berperan dominan dalam mengantarkan seseorang pada berbagai 
keberhasilan hidup.
 
 Belum lagi, penyelenggaraan SBI dilakukan dengan sistem pembelajaran full day 
school. Dampaknya para siswa akan terisolasi dari lingkungan masyarakat real 
dalam masa pertumbuhannya. Padahal sebenarnya hal tersebut merupakan 
laboratorium kehidupan tempat belajar yang sesungguhnya. Sehingga, konsep 
pendidikan demikian jelas bertentangan dengan sebuah keyakinan budaya lokal 
bahwa sesungguhnya tempat pendidikan ideal adalah rumah tempat tinggal kita 
sendiri dan guru teladannya adalah para orangtua siswa.
 
 Untuk itu, penyelenggaraan SBI mungkin sah-sah saja. Namun harus diingat, 
aksesibilitas masyarakat dalam memperoleh pendidikan berkualitas harus tetap 
sama. Tentu pula, muatan kurikulum tentang kearifan budaya lokal tidak bisa 
diabaikan. Karena hanya dengan demikianlah, negeri ini akan terhindar dari 
kemungkinan datangnya generasi-generasi sontoloyo. Sebaliknya akan banyak 
bermunculan generasi baru harapan bangsa, yang dalam sepak terjangnya nanti 
akan lebih mengutamakan kemakmuran ekonomi bersama.
 
 Penulis, alumni CSU-R Australia, kini tinggal di Malang.
 
 'Imbasnya, suka tidak suka kita semua harus siap pula menerima semua 
akibatnya. Karena liberalisasi pengelolaan pendidikan pasti akan melahirkan 
generasi-generasi baru yang materialistik, yang tidak sejalan dengan idealisme 
pendidikan nasional'.
      
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
     
                                       

       
---------------------------------
  Dapatkan nama yang Anda sukai!  
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke