http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/10/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Kuli
Oleh Wahyu Puspito S

 


Lelaki bernama Pairan itu masih tampak giat mencangkuli sawah, membolak-balik 
tanah sejengkal demi sejengkal, padahal matahari sudah tepat di atas kepala. 
Peluh membasahi wajahnya yang hitam dan juga seluruh tubuhnya yang berbalut 
kaos dan celana lusuh, robek di sana-sini pertanda dimakan usia dan sering 
dipakai oleh tubuh yang keras bekerja. Sawah itu bukanlah miliknya, tapi milik 
seorang petani kaya di desanya yang juga masih tetangganya, Haji Hamim. Pairan 
hanya seorang buruh tani-kuli sawah. Saat ini, ia bersama beberapa orang 
rekannya dipekerjakan Haji Hamim untuk mencangkul tanah persawahannya sebelum 
ditanami bibit jagung. Tapi siang ini Pairan hanya seorang diri, rekan-rekannya 
telah pulang sejam lalu untuk beristirahat siang sebelum kembali lagi ke sawah 
selepas waktu dzuhur nanti. Ia sengaja tak pulang, begitulah kebiasaannya 
setiap kali mengerjakan tugasnya sebagai buruh tani. Sehari penuh ia berada di 
sawah, berangkat pagi-buta dan pulang petang-hari. Ia tak mengambil waktu 
istirahat siangnya untuk pulang ke rumah. Pairan tak punya siapa-siapa lagi 
untuk dijumpainya di rumah. Karena itu, ia tak ingin pulang, ia tetap 
melanjutkan pekerjaannya siang ini. 

* 

Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli. Semenjak 
kecil, ia telah menjadi kuli, kuli sawah. Ia tak sempat enyam pendidikan 
sekolah barang secuil pun. Semenjak remaja ia sudah terjun ke dunia kerja yang 
keras, menjadi buruh tani. Ia berasal dari keluarga miskin di pelosok desa, dan 
hanya sawahlah yang menghidupi keluarganya, juga dirinya-sebagai buruh tani. 
Kini, di usianya yang telah kepala empat, ia tetap menjadi kuli, kuli sawah. 
Pairan adalah seorang kuli sejati, kuli yang sebenar-benarnya kuli: kuli 
sawah-buruh tani. 

Lima tahun silam, Pairan punya tekad untuk mengubah nasib diri dan keluarganya. 
Sebagai kepala keluarga, ia merasa wajib dan bertanggung- jawab untuk 
melepaskan jerat kemiskinan yang melilit ia sekeluarga. Pekerjaan sebagai 
buruhtani yang ia dan istrinya jalani selama ini sama sekali tak menjanjikan 
perubahan menuju nasib yang lebih baik. Sebaliknya, dari hari ke hari malah 
membikin ia sekeluarga kian terpuruk. Upah sebagai buruh tani yang hanya 
sepuluh ribu rupiah perhari samasekali tak bisa memberikan sisa untuk keperluan 
lain selain makan, bahkan semakin tak mencukupi bila harga bahan-bahan pokok 
tiba-tiba melambung naik. 

Maka ia pun bertekad berangkat ke negeri jiran, Malaysia, demi mengadu nasib, 
mendulang untung. Bersama seorang rekannya, ia mendaftar ke sebuah perusahaan 
penyalur tenaga kerja ke luar negeri, lewat seorang calo. Ongkos yang ia 
setorkan ke perusahaan itu, lewat perantara si calo, sejumlah empat juta 
rupiah. Jumlah sebesar itu konon untuk biaya mengurus segala persyaratan, mulai 
paspor dan visa hingga ongkos transportasi. Diper- olehnya uang sebesar itu 
dari ber- utang ke beberapa sanak-saudara. Ia kumpulkan sedikit demi sedikit 
pinjaman dari mereka hingga terkumpullah nominal empat juta rupiah itu. 
Berangkatlah ia dan rekannya itu ke negeri jiran dengan harapan sebesar gunung. 
Ia bayangkan, kelak ia akan berhasil memutar roda nasib, tak lagi menjadi 
kuli-sawah tapi menjadi wiraswasta dengan modal besar yang akan ia kumpulkan di 
negeri jiran. Ia tinggalkan istri dan dua anak lelakinya dengan raut muka penuh 
ceria, seolah-olah ia telah genggam kemenangan di tangannya. 

Tapi nasib baik rupanya tak hendak datang kepadanya. Baru dua hari menginjakkan 
kaki di negeri jiran, ia digelandang aparat RELA yang melakukan operasi 
penertiban tenaga kerja asing. Ia tak pernah sangka, dokumen-dokumennya 
ternyata palsu. Pairan dan rekannya telah ditipu mentah-mentah oleh calo dan 
perusahaan tenaga kerja gadungan itu. 

Maka, sebagai hukuman bagi "pendatang haram" seperti dirinya, ia pun divonis 
hukuman penjara selama enam bulan ditambah hukuman cambuk. Pemerintah Malaysia 
memang tak sudi berkompromi dengan para pendatang ilegal yang dianggap telah 
merusak stabilitas sosial dan melecehkan wibawa hukum nasional mereka, tentunya 
di samping merugikan keuangan negara karena pekerja ilegal-sudah barang 
tentu-tak terkena permit. Pairan dan rekan-rekannya sesama pendatang ilegal itu 
kini harus menerima ganjaran dari Pemerintah Malaysia. 

Namun, baru dua bulan berselang ia menjalani hukuman kurungan, datanglah sebuah 
surat dari pihak berwajib untuknya. Isi surat itu: ia dibebaskan dengan 
jaminan. Rupanya ada seorang toke yang membebaskan dirinya dengan sejumlah uang 
tebusan. Selain Pairan, ada sembilan tahanan lainnya yang waktu itu juga 
dibebaskan oleh toke yang sama. 

Keluguan yang bersemayam di dalam dirinya, membuat Pairan sama sekali tak 
menyangka adanya udang di balik batu yang menyertai hari kebebasannya itu. Tak 
terbersit sedikitpun dalam benaknya, bahwa sekeluar dari "mulut singa" ia akan 
masuk ke "mulut buaya". Pairan terlampau lugu, polos, tak mengenyam secuil pun 
pendidikan sekolah. Ia adalah kuli, kuli sejati. 

Maka, sekeluar dari penjara, ia dan sembilan rekannya itu dipekerjakan oleh 
sang toke di sebuah proyek bangunan miliknya di pinggiran Kuala Lumpur. Di sana 
ia menjadi kuli-kuli bangunan, bukan kuli sawah seperti dulu. Ia bekerja dari 
pagi hingga sore, bahkan kerap kali harus kerja lembur di malam hari. Upah yang 
dijanjikan oleh sang juragan sebesar seribu ringgit perbulan plus uang lembur 
sebesar dua kali lipat gaji. Namun, kenyataannya, upah yang ia dan 
rekan-rekannya terima dari tangan sang juragan tak lebih tigaratus ringgit, 
diberikan sebesar tujuh puluh lima ringgit per minggunya. Uang itu ia 
pergunakan untuk makan dan membeli kebutuhan sehari-hari, nyaris tak bersisa. 
Sisa upah sebesar tujuh ratus ringgit ditambah upah lembur dijanjikan akan 
diberikan nanti setelah proyek selesai. 

Hampir setahun lamanya Pairan bersama sembilan rekannya bekerja sebagai kuli 
bangunan di proyek itu, dan proyek itu kini nyaris rampung. Namun tiba-tiba, di 
suatu malam, datanglah aparat RELA menggerebek tangsi tempat ia dan 
rekan-rekannya tinggal di lokasi proyek itu. Pairan dan rekan-rekannya tak 
berkutik karena selama bekerja di proyek itu, ia dan rekan-rekannya tetap tak 
mengantongi dokumen resmi, tetap ilegal. Ia pun kembali digelandang masuk 
penjara bersama rekan-rekannya. Kembali ia harus menjadi pesakitan, meringkuk 
dalam sel tahanan dan siap-siap menerima hukuman cambuk dari Pemerintah 
Malaysia. 

Hari-hari berasa melambat bagi Pairan. Hidupnya seolah-olah berada dalam liang 
kutukan. Sama sekali tak ia sangka bahwa niatnya mendulang untung di negeri 
jiran tak ubahnya bermain judi. Ia tak sangka, bahwa calo yang selama ini ia 
kenal baik sebagai rekan ngobrol di warung kopi, ternyata adalah seorang penipu 
ulung yang tega memakan daging temannya sendiri. Maka, dengan keluguan dan 
kesumat dendam di dalam dadanya, ia bersumpah akan membalaskan tragedi ini pada 
si biang keladi: calo tak tahu diri itu. 

Sebulan berlalu hidup sebagai pesakitan di dalam tahanan, kembali ia menerima 
surat pembebasan. Bersama dua belas orang lainnya, ia dibebaskan dengan uang 
tebusan oleh se- orang toke yang punya usaha perkebunan kelapa sawit. Sekali 
pengalamannya terdahulu, telah membuatnya bisa menebak apa yang akan terjadi 
pada dirinya. Ia yakin, kini akan kembali ia masuki "mulut buaya", persis 
seperti dulu lagi. Namun begitu, ia tak menyimpan daya apa-apa untuk melarikan 
diri dari "lingkaran setan" ini. Mau tak mau ia harus kembali menjalani kerja 
rodi di negeri orang. Tak bisa tidak. Baginya, ini sudah lebih baik bila 
dibandingkan harus meringkuk dalam penjara. Lebih baik menghirup udara bebas 
walaupun harus menjalani "kerja-paksa" daripada harus menjadi pesakitan di 
dalam tahanan. Ia yakinkan diri sendiri, bahwa hidup seringkali harus memilih 
yang buruk di antara yang terburuk. 

Maka ia jalani hari-harinya kini sebagai kuli di perkebunan sawit milik si toke 
yang telah membebaskannya dengan uang tebusan itu. Dijanjikan kepadanya upah 
delapan ratus ringgit per bulan. Tapi sudah ia tebak sebelumnya, yang ia terima 
tak lebih dari setengahnya. Sisanya konon akan diberikan menjelang kontrak 
kerja-nya habis. Kini ia kembali menjadi kuli-kuli perkebunan sawit, bukan kuli 
bangunan ataupun kuli sawah seperti dulu. 

Hampir satu setengah tahun Pairan menjalani kerja sebagai kuli perkebunan 
sawit. Kontrak kerja selama satu setengah tahun yang ia dan rekan-rekannya 
sepakati dengan sang majikan tinggal bersisa tiga bulan lagi. Namun, pengalaman 
pertama yang telah membuatnya paham betul bagaimana permainan tercela 
pihak-pihak di Malaysia terhadap para pendatang ilegal seperti dirinya, membuat 
ia tak ingin jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. 

Maka dengan uang yang setahun lebih ia kumpulkan dengan susah payah, dengan 
menyisakan sepersekian dari "upah semu" yang ia terima setiap bulannya, ia pun 
bertekad melarikan diri dari tempat kerjanya itu. Ia bertekad untuk pulang, 
sebelum terlambat, sebelum datang aparat keamanan Malaysia untuk kembali 
menjebloskannya ke penjara. 

Saat tengah malam, ia pun bergegas pergi meninggalkan kamp para pekerja 
perkebunan sawit yang ada di Negara Bagian Serawak itu. Ia mengambil jalur 
darat dengan melewati hutan-hutan dan melintas tapal batas Malaysia-Indonesia 
melalui jalan tikus. Berhari-hari ia tempuhi jalan-jalan di tengah hutan hingga 
kemudian sampailah ia di sebuah kota kecil di Provinsi Kalimantan Barat. Lega 
kini hatinya. Ia telah lolos sepenuhnya dari ancaman hukuman Pemerintah 
Malaysia yang selama ini senantiasa mengintainya. Tak henti-hentinya ia 
panjatkan puji syukur dalam hatinya kepada Tuhan. Dari kota itu, selanjutnya ia 
naik angkutan umum untuk meneruskan perjalanan menuju kampung halamannya di 
Pulau Jawa. 

Tapi inilah sesungguhnya puncak derita yang menderanya selama ini. Sesampainya 
di rumah, perasaan rindu pada anak-istri yang sekian tahun ia pendam 
dalam-dalam di antara derita yang menderanya di negeri orang, seketika lenyap 
tanpa sisa. Harapan untuk bertemu keluarga yang sekian lama ia tinggalkan tanpa 
pernah saling berkirim kabar, kini porak-poranda laiknya kota-kota di Aceh yang 
dihantam tsunami. Ia dapati rumahnya tak lagi dihuni anak-istrinya. Rumah itu 
telah dijual enam bulan lalu. Ia dapati kabar dari beberapa tetangga: istrinya 
minggat bersama si calo yang dulu membuangnya ke negeri jiran, sementara dua 
anaknya merantau ke Jakarta. Seketika itu pula, langit di atas kepalanya serasa 
runtuh menimpanya. Hatinya remuk redam. Ia tak sangka, bahwa nasib buruk datang 
berantai-rantai, melilit-lilit hidupnya tanpa ampun. 

* 

Semenjak saat itu, hidup Pairan bermuram durja. Ia sama sekali tak ingin 
mencari di mana gerangan istrinya berada. "Istri yang tak setia menunggu, tak 
layak untuk dipertahankan," ia bergumam dalam hati, "biarlah ia hilang ditelan 
bumi. Sedikit pun aku tak sudi mencarinya. Biar ia pertanggungjawabkan semua 
ini kepada Yang Di Atas, karena Dia yang paling berhak menjadi Hakim bagi 
segala perkara manusia. Dialah Hakim yang seadil-adilnya, yang tiada sebiji 
zarah pun perkara manusia terluput dari Timbangan-Nya." 

Kini, ia tinggal seorang diri di sebuah gubug kecil di tepian sungai yang 
membelah desanya. Ia berjanji tak akan pernah kawin lagi. Hatinya telah hancur 
oleh pengkhianatan istrinya. Dan satu-satunya harapan yang masih tersisa di 
dalam dirinya adalah kedua anak lelakinya yang merantau ke Jakarta, dan hingga 
kini tak kunjung datang kabar-beritanya. 

Kini, seperti dahulu lagi, Pairan kembali menjadi buruh tani, menjadi kuli 
sawah. Ia mengabdikan sepenuh-hidupnya pada kehidupan bercocok-tanam, di sawah 
milik Haji Hamim, juragan yang dengan setia mempekerjakannya. Pairan dengan 
tekun mencangkul tanah, menyemai benih, menyiangi rumput, menabur pupuk, 
mengairi sawah, dan memetik hasil panen di sawah milik Haji Hamim itu. Haji 
Hamim terharu melihat ke- tekunan dan sekaligus nestapa yang bersemayam dalam 
diri Pairan. 


Tepi Kali Bedadung, 20 Maret 2008 


Catatan: 

aparat RELA : sukarelawan yang direkrut pemerin- tah Malaysia untuk melakukan 
razia terhadap pendatang ilegal di negeri itu. 

permit : semacam pajak ' pendapatan yang dikenakan kepada pekerja asing. 

toke : sebutan bagi peng- usaha Malaysia keturunan China. 

jalan-tikus : sebutan bagi jalan setapak di tengah hutan Kalimantan di 
tapal-batas Indonesia-Malaysia yang biasa diguna- kan para tenaga kerja 
Indonesia untuk keluar-masuk Malaysia secara ilegal. 



--------------------------------------------------------------------------------

Last modified: 8/8/08 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke