http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/14/sh03.html

Antara Penyakit Menular dan Kesehatan Bangsa

Oleh
Web Warouw



JAKARTA - Belakangan ini kembali ramai disoroti berbagai persoalan kesehatan, 
mulai dari pelayanan rumah sakit sampai peningkatan angka penyakit menular. 
Meningkatnya kasus kaki gajah (filariasis) dan lepra dari data Departemen 
Kesehatan tiba-tiba mengagetkan semua kalangan. Peningkatan jumlah penderita 
kaki gajah dari 4.472 kasus pada tahun 2000 menjadi 10.239 kasus pada 2005.  
Peningkatan juga terlihat pada penderita kusta dan malaria. Namun, Menteri 
Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan bahwa membengkaknya angka tersebut 
justru karena kerja surveilance (pelacakan) petugas-petugas kesehatan semakin 
efektif pada penyakit menahun ini. 


Ternyata, temuan kasus akhir-akhir ini adalah cermin dari kasus bertahun-tahun 
lalu yang tidak terjangkau oleh petugas kesehatan. Sepuluh tahun lalu, 
penderita kaki gajah dan lepra tidak terdeteksi karena si pengidap tidak tahu 
gejala awal penyakit tersebut dan tidak pergi ke puskesmas. Sejak 2004 petugas 
kesehatan menggencarkan surveilance penyakit menular, aktif mendatangi 
masyarakat tanpa memungut biaya. Bagi pendeita kaki gajah dilakukan isolasi 
wilayah dari penyebaran penyakit yang disebabkan oleh nyamuk ini.


Dua penyakit menular ini erat hubungannya dengan kemiskinan. Sarana tempat 
tinggal yang tidak layak dan rendahnya kemampuan ekonomi warga menjadikan 
daerah-daerah tertentu sebagai daerah endemis kaki gajah dan lepra. Tetapi dua 
penyakit ini hanyalah sebagian kecil dari gejala runtuhnya kesehatan bangsa 
secara ekonomi-politik sejak 1998, yang hingga kini belum teratasi secara 
mendasar.
Hilangnya kewenangan pusat untuk mengurus kesehatan rakyat karena Undang-Undang 
Otonomi Daerah yang menyerahkan hak itu pemerintah daerah, juga menjadi salah 
satu penyebabnya. "Uang dari pusat berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana 
Alokasi Khusus) yang seharusnya untuk memperbaiki kondisi kesehatan, di daerah 
bisa berubah untuk pembangunan jembatan dan lapangan bola," ungkap seorang 
kepala Dinas Kesehatan sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Di masa Orde Baru, 
pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas telah bergerak walaupun rakyat 
dalam kondisi pasif. Itu karena ada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 
(ABRI) yang mengawasi, untuk mengisi pundi-pundi utang luar negeri. 

"Setelah tentara tidak lagi berkuasa, banyak puskesmas dan sarana kesehatan 
lainnya tidak ada petugas kesehatannya dan terbengkalai, padahal rakyat masih 
pasif," kata Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumatera Selatan Anwar Sadat. 
Hal ini dibenarkan oleh Hari Subagyo, Ketua DKR Yogyakarta. Tetapi menurutnya, 
sudah saatnya semua pihak berhenti saling menyalahkan, apalagi jika ditunggangi 
titipan agenda luar negeri yang masuk ke kepala kaum intelektual sampai di 
tingkatan desa. "Di tengah kemiskinan dan rusaknya sistem karena otonomi 
daerah, memberikan peluang bagi pihak asing memancing di air keruh. Di antara 
bangsa kita juga banyak yang jadi antek. Bangsa ini memang sakit," katanya. 

Forum Desa
Penderitaan rakyat akibat berbagai penyelewengan yang menyebabkan kemiskinan, 
tidak bisa lagi dijawab secara parsial dan hanya dibebankan pada pemerintah. 
Semua penyakit hanya bisa disembuhkan jika akar penyakitnya ditemukan dan 
diperangi secara bersama. Cara yang paling efektif adalah menggerakkan kekuatan 
rakyat. Rakyat yang pasif akan menjadi beban pemerintah, tapi pemerintah yang 
korup dan komprador akan menyengsarakan rakyat. 


"Maka rakyat harus aktif dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), sebagai organisasi 
rakyat yang mengaktifkan semua desa menjadi Desa Siaga. Semua rakyat harus 
akitif menjawab masalah kemiskinan di desanya," kata Ketua DKR Gorontalo Debby 
Haryanti Mano. Menurut Menkes Siti Fadilah, rakyat harus diajarkan untuk 
mandiri dan tidak tergantung pada bangsa lain. "Desa Siaga tidak cukup mengurus 
masalah kesehatan rakyat, tapi juga harus terlibat pada pembangunan kesehatan 
bangsa, menghidupkan kembali kegotong-royongan, memastikan tetangganya cukup 
makan, memastikan tidak ada yang mengganggu keamanan rakyat desa, memastikan 
semua program pemerintah sampai dan berguna buat rakyat," katanya.


Rakyat adalah komponen penting dalam pembangunan, bukan pemerintah yang 
membangun untuk rakyat, tetapi rakyatlah yang membangun untuk rakyat. "Rakyat 
harus menjadi subjek, berdaulat untuk ikut mengatur arah pembangunan bangsa 
ini. Tidak seperti dulu lagi, rakyat hanya menunggu tetesan dana dari investor 
atau pemerintah," kata Menkes. Hal di atas dibenarkan oleh juru bicara DKR 
Papua, AF Alves Fonataba. Menurutnya, hanya jika rakyat aktif berkumpul secara 
rutin, maka setiap persoalan akan dibicarakan dan ditemukan jawabannya. 
"Forum-forum desa dalam Desa Siaga harus mendiskusikan semua persoalan rakyat 
di desa, mencari jalan keluarnya dan membangun solidaritas," katanya dari 
Manokwari.
Ketua DKR Jambi Eko Ratu Perwira, juga menegaskan bahwa sekarang saatnya untuk 
bertindak. "Berhentilah beropini, rakyat membutuhkan arahan dan tindakan nyata 
yang segera bisa menjawab persoalan-persoalan hidup dari soal kemiskinan, 
kesehatan dan pendidikan," katanya dari Jambi. 
Kini kurang lebih 48.000 dari 78.000 desa telah berhasil menjadi Desa Siaga. 
Namun jika Desa Siaga dengan difasilitasi pemerintah dan didirikan pos 
kesehatan desa (poskesdes) termasuk disiapkan bidannya namun tidak ada 
aktivitas rakyat, tidak akan ada gunanya. Oleh karena itu, Menkes meminta agar 
rakyat desa terus-menerus mengaktifkan Desa-desa Siaga dengan forum dan 
kegiatan yang membangun kesadaran rakyat dari soal kesehatan sampai urusan 
kebangsaan. 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke