*Kolom IBRAHIM ISA
15 August 2008
-----------------------------*

*TIGA RANGKUM SAJAK PUTU OKA SUKANTA*

*MENGHIAS SUASANA MENJELANG HUT Ke-63 R.I. *

Kumulai saja dengan penjelasan berikut ini: Tiga Rangkum Sajak Putu Oka 
Sukanta,

"*MY NAME IS E.T." , "IN MY CELL "*, dan *"THEY GAVE ME", *- - -- semua 
dalam bahasa Inggris (lihat lampiran). Teks aslinya tentu dalam bahasa 
Indonesia. Tetapi teks aslinya itulah yang tak ada padaku. Hari ini 
ketika aku melihat-lihat catatanku, kujumpai tiga rangkum sajak Putu Oka 
Sukanta, dalam bahasa Inggris. Yang kuambil dari media internet: 
http://hrp.band.edu/resorce_pdfs/sukanta.poems.pdf.


Puisi tsb adalah terjemahan Keith Foucher. Siapa Keith Foucher? Nama itu 
baru kali ini kukenal. Menurut informasi, Keith Foucher mestinya seorang 
wanita Amerika, yang pernah studi di New York University pada tahun 
1973. Dewasa ini umurnya kira-kira diatas limapuluh tahun.

Puisi Putu Oka dalam bahasa Indonesia, bahasa sang penyair, tak 
diragukan lagi tentunya lebih ekspresif, lebih kuat. Pembaca Indonesia 
akan lebih tergugah meresapi keindahannya serta isinya yang penuh arti 
serta berbobot. Mencerminkan sekaligus watak kuat dan jiwa pantang 
menyerah penyairnya. Sayang, meskipun telah diusahakan, dengan menyesal 
kusampaikan disini, bahwa aku tidak berhasil menemukan teks Indonesia 
sajak-sajak Putu Oka tsb. Namun demikian, begitu membaca tiga rangkum 
sajak Putu Oka Sukanta, meski terjemahan bahasa Inggrisnya, aku sudah 
tak sabar lagi menanti.


Tak sabar lagi untuk segera menyajikannya kepada pembaca yang budiman 
sebagai suatu PUISI PUTU OKA SUKANTA yang menghiasi hari-hari menjelang 
bangsa ini memperingati dan merayakan Hari Kemerdekaan bangsa dan tanah 
air. Maksudnya agar perasaan dan jiwa pembaca tergugah oleh apa yang 
tersirat dan tersurat dalam puisi Putu Oka Sukanta tsb. Namun yang 
terpenting ialah bahwa puisi Putu Oka itu masih amat relevan dengan 
keadaan bangsa kita sekarang.


Aku bukan penyair, juga bukan penerjemah. Namun, hatiku terpesona oleh 
puisi Putu Oka , tergugah oleh kokohnya watak tak mengenal menyerah dari 
sang penyair. Jiwa dan semangat yang lebih teguh dan mantap yang muncul 
dari penderitaan dan perjuangan hidup yang keras dan menderita. Maka, 
sebagai surprise dari seorang sahabat, kuberani-beranikan diri untuk 
dengan bebas leluasa menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia. 
Mudah-mudahan tidak terlalu nyebal dari maksud penyairnya.


Inilah terjemahan bebas PUISI PUTU OKA SUKANTA tsb:


"*NAMAKU E.T. "*

"*DI DALAM SELKU"*

"*MEREKA BERIKAN AKU"*


** * **


Perlu juga dijelaskan bahwa Tiga Rangkum Sajak Putu Oka Sukanta itu, 
sudah lama dibuatnya. Kapan persisnya, juga tak kuketahui. Aku tidak 
sempat berkomuikasi untuk menanyakan lagi kepada Putu Oka mengenai 
sajaknya itu. Yang jelasd adalah bahwa sajak-sajak itu bukan dibuat Putu 
Oka sehubungan dengan HUT Ke-63 Kemerdekaan Indnesia.


Karena menyentuh sanubariku, dan ketika kebetulan kujumpai sajak-sajak 
tsb pas pada hari-hari menjelang HUT Ke-63 RI, tambahan lagi karena isi 
dan jiwa puisi Putu Oka tsb amat relevan dengan sikon dewasa ini, maka 
timbul fikiran spontan untuk segera menyajikan sajak-sajak Putu Oka tsb 
sebagai PUISI MENGHIASI HUT Ke-63 RI.


Kusajikan terlebih dulu terjemahan bebas Puisi Putu Oka Sukanta sbb:


*NAMAKU E.T.*


*Selamat pagi*

*Selamat sore*

*Selamat malam*


*Apa ada orang di rumah?*


*Kulonuwun -- apa ada orang di rumah Punten -- apa anda di rumah?*

*Jero meduwe jero -- apa anda di rumah?*


*Karena tidak ada yang jawab*

*Aku duduk-duduk di serambi dengan istri ku dan anak-anak*


*Suatu hari salah seorang dari majikan datang untuk ngecek*

"*Nama saya e.t., tuan*

*Aku tunjukkan KTP-ku dan KTP keluarga*

*Bukti legal yahg kubawa kemana-mana*


*'Oh, ya, kelas dua"*


** * **


*DI DALAM SELAKU*


*Aku seperti air mengendap sesudah diguncang Membiarkan busah-busah 
melambung*

*Biar sampah-sampah membentuk*

*Menapis yang palsu*

*Suatu pagi yang cerah Aku sperti air*

*Mengendap setelah diguncang*

*Lihatlah ke dalam Kejernihan dikitari halimun*

*Dan figur yang muncul dalam keseluruhannya*

*Samasekali bukan sekadar seseorang*

*Aku seperti/ /air layaknya*

*Yang mengendap sesudah diguncang*

*Kegelapan melenyap*


*Dan cahaya memancar lancar*

*Bukan lagi hanya seseorang belaka.*


** * **


*MEREKA BERIKAN AKU*


*Mereka berikan aku sebungkah keberanian*

*Mengalir di sekujur tubuhku*

*Mereka berikan sepercik cahaya*

*Bercahaya di dalam mataku*

*Mereka berikan secangkir empedu*

*Menguatkan setiap langkahku*

*Mereka berikan sebungkah batu*

*Yang kuhancurkan dan membuat jalanraya*

*Mereka melampiaskan cambuk pada tubuhku*

*Yang mengokohkan otot dipangkal lidahku*

*Apa lagi yang kau bisa berikan*

*Untuk menguji hargadiriku?*


** * **


Mungkin saja ada yang bertanya apa relevansi puisi Putu Oka Sukanta tsb 
dengan situasi dewsa ini.

Bukankah rezim otoriter Orba sudah jatuh? Sudah digantikan dengan 
pemerintah pasca Suharto sebagai kelanjutan dari Gelombang Besar Gerakan 
Reformasi dan Demokratisasi? Benar, pemerintah pasca Suharto bukan lagi 
pemeritah otoriter. Sudah berlangsung pemilihan umum memilih DPR. Bahkan 
presiden sudah dipilih langsung, pilkada dilaksanakan di daerah-daerah, 
sudah ada kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan 
berorganisasi dsb? UUD-RI sudah berkali-kali diamandir dan fasal-fasal 
HAM telah tecantum di dalam UUD-RI kita?

Itu semua benar! Tetapi program Reformasi baru dilaksanakan pada taraf 
permulaanya menuju negara hukum yang demokratis dan adil. Korupsi dan 
kolusi masih merjalela dan pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM masih 
berjdi.


Di atas segala-galanya, masih terdapat warisan Orba, yaitu masalah 
Tragedi Peristiwa 1965 yang telah menelan jutaan korban manusia 
Indonesia yang tak bersalah, dan paling tidak tigapuluh juta keluarga 
korban 1965 yang hak-hak politik dan kewargenegaraannya masih dilanggar 
terus, masih didiskriminasi dan distigmatisasi. Semata-mata oleh tuduhan 
tanpa alasan hukum dan fitnah semata-mata. Nama baik mereka msih belum 
dipulihkan. Seperti diungkap dalam sajak Putu Oka, mereka-mereka itu 
masih warganegara 'KELAS DUA'.


Selama para korban Peristiwa Tragedi 1965 belum dijamah, selama hak-hak 
mereka sebagai warganegara belum DIREHABILITASI, selama itu pula apa 
yang diungkap oleh Putu Oka, masih tetap relevan.


Enam puluh tiga tahun kita merdeka. 43 tahun sudah berlalu sejak 
Peristiwa 1965, namun jutaan warga negara kita masih dalam keadaan 
'cacad hukum', akibat stigmatisasi dan perlakuan penguasa. Dengan 
sewenang-wenang mencap mereka sebagai 'orang-orang yang bemasalah', 
seumur hidup mereka.


Ketidak-adilan itulah yang menjadi penyebab mengapa puisi Putu Oka 
Sukanta seperti yang dimuat diatas tetap relevan!


* * *



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke