--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, "Tri Budi Lestyaningsih (Ning)" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Untuk yang di luar akal, ya pakai dalil naqli. Bukankah begitu > seharusnya ? Banyak yang di luar jangkauan akal, mas. Allah, Surga, > Neraka, dll.. Bagaimana mas bisa mengatakan saya sami'na wa atho'na pada > hasil akal orang lain ? Saya tidak pernah bilang begitu. Saya sami'na wa > atho'na pada syari'at,... Ya mungkin belum 100% sih, masih berusaha, > tapi itu prinsip yang saya pegang. > Ikutan nimbrung bagian ini saja, karena bagian lain penjelasan Mas Ary sudah lebih dari cukup.
Dalil naqli .. ujung-ujungnya akan kembali ke akal juga .. Karena untuk bisa memahami dalil naqli dibutuhkan akal .. Akal juga nanti yang akan bilang: "Oooo pemahamannya harus begini .." atau "Oooo di luar jangkauan akal, jadi harus sami'na wa atha'na .." Pada titik itu, apakah tidak boleh mengambil sikap menuruti akal sendiri atau menyetujui akal orang lain untuk sami'na wa atha'na? Tentu sangat boleh, karena Tuhan nggak membebani manusia melebihi kesanggupannya. Yang berbahaya (bisa jadi syirik lho ..) jika kemudian memutlakkan hasil olah pikiran (akal) dalam memahami dalil naqli itu, sembari menutup semua kemungkinan kebenaran akal orang lain yang dengan akalnya juga mengambil sikap atau pemahaman yang berbeda. Oke .. ini saya posting ulang rengeng2 lama saya .. -------------------------- Rengeng-Rengeng: Obrolan Tauhid Obrolan di warung kopi antara Dul Kemplu(DK), Mat Kemin(MK) dan Kang Sarjo(KS). MK: Dul, tauhid itu makanan apa tho Dul? DK: Tauhid itu bukan makanan, Min! MK: Kalau bukan makanan, terus apa Dul? DK: Tauhid itu ilmu. Ilmu buat nelusuri dan mengurai makanan, biar kita bisa tahu bahan sejatinya makanan itu apa tho .. biar bisa ketemu sumber dari segala sumber makanan itu. MK: Oooo .. jadi tauhid itu ilmu tentang makanan tho? DK: Sak tenan-nya bukan. Tapi berhubung 'dapurmu' udah telanjur bilang makanan, ya terpaksa aku sebut makanan juga. MK: Terus .. sak tenane tauhid itu apa? DK: Sebenarnya .. tauhid itu ilmu tentang Gusti. Ilmu buat nelusuri bahwa sejatinya Gusti itu 'mung siji', satu, tunggal, esa, ahad. Kang Sarjo nimbrung .. KS: Dul .. Gusti itu kan jelas-jelas satu. Kenapa harus pake ditelusuri lagi? DK: Soalnya .. pada kenyataannya Gusti itu banyak. KS: Lho .. bukannya yang banyak itu cuman sebutan? Ada yang nyebut Gusti, Allah, God, Tuhan dan seterusnya? DK: Bukan cuman soal sebutan, tapi kenyataan. Kenyataannya Gusti itu banyak. KS: Sik .. sik .. sik .. Kenyataan itu kan 'sing sak tenane', faktanya gitu kan? DK: Iya .. KS: Lah kalo gitu, kamu yang nggak beres. Tuhan kenyataannya itu satu thok thil! DK: Salah. Kenyataannya Tuhan itu banyak. Kenyataaannya, Gustimu sama Gustiku itu beda. Dari dua orang saja Gusti itu sudah ada dua. Ditambah Mat Kemin dengan Gustinya sendiri, akhirnya jadi tiga. Kalau ada semilyar orang, Gustinya juga jadi semilyar. KS: We .. ladhalah .. tambah ediiaan bocak iki. Nyebut Dul, nyebut. Istighfar, bisa kualat kowe ngomong kayak gitu. DK: Wong ngomong sing bener kok kualat. Apa mestinya ngomong itu yg nggak bener, biar nggak kwalat? KS: Bener gundulmu! Ngomong Gusti banyak kok bener .. Dul Kemplu mesem .. KS: Dul, kamu mesti tobat. Berani-beraninya kamu bilang Gusti itu kenyataannya banyak! Mat Kemin menimpali .. MK: Iya Dul. Kamu itu pikirannya udah nggak beres! Lagian kamu 'mencla-mencle', tadinya bilang Gusti sejatinya satu, sekarang ngomong kenyataannya banyak. Dul Kemplu menjawab sambil mesam-mesem .. DK: Gusti itu sejatinya emang satu, tapi kenyataannya banyak. Kenyataan itu artinya ya kenyataan yang bisa dijumpai, sedang sejatinya itu di atas kenyataan yang bisa dijumpai. MK: Omonganmu kok mbulet tho Dul? DK: Mbulet itu kan karena kamu belum nyambung. Kalau bahasanya anak-anak sekolahan begini lho .. Tuhan itu kenyataannya hanyalah persepsi tiap-tiap manusia tentang Tuhan yang sejati. Persepsi ini juga bukan sesuatu yang 'mak bleg' langsung jadi. Persepsi-persepsi itu terbentuk. Ada proses, ada sebab-akibat. Ada unsur-unsur luar kayak orang tua, guru, buku, lingkungan dan lain sebagainya. Ada juga unsur dalam, berupa kemauan dan kemampuan tiap-tiap orang dalam menempuh proses itu. Hal-hal seperti itulah yang akhirnya membentuk persepsi tentang Tuhan. KS: Sik .. sik .. sik .. Dul, persepsi itu kan pikiran ya? DK: Yap .. kurang lebih begitu. KS: Lha, kalo begitu apa nggak syirik Dul? DK: Yap .. kenyataannya memang begitu. Apa yang kita sebut Tuhan, kenyataannya ya hanya pikiran kita tentang Tuhan. KS: Waduh .. waduh .. syirik itu kan dosa besar, nggak terampuni lagi. Wah, ini kamu udah ngelantur .. berarti kan semua orang itu syirik? DK: Yap .. kenyataannya memang begitu. KS: Memang begitu gundulmu! Kan sejak kecil kita udah diajarin supaya menjauhi sifat syirik. Lha ini kamu kok bilang memang begitu .. memang begitu .. DK: Lha ya kenyataannya memang begitu kok, aku mesti bilang gimana? Pada akhirnya toh larangan keras terhadap syirik itu bisa dipahami sebagai pendorong, motivasi, agar kita selalu dan selalu berupaya mengikis sifat syirik dalam diri kita masing-masing. Sekali kita berhenti, maka di situlah awalnya kita bakalan terjerumus ke dalam sifat syirik sungguhan. KS: Aku belum mudeng Dul .. DK: Begini lho .. balik seperti di atas tadi .. bahwa apa yang kita sebut Tuhan itu kenyataannya hanya persepsi kita masing-masing tentang Tuhan yang sejati .. Sekali kita berhenti dan menganggap bahwa persepsi kita tentang Tuhan adalah Tuhan yang sejati, maka itulah awalnya kita terjerumus ke dalam syirik. Akhirnya ya kita hanya menuhankan persepsi kita. KS: Aku udah mulai mudeng .. tapi masih belum jelas betul .. bisa make contoh Dul? DK: Persepsi kita tentang Tuhan kan terbentuk. Misalnya terbentuknya itu melalui dalil-dalil. Terus kita percayai bahwa apa yang tersebut dalam dalil itulah Tuhan yang sejati, sembari kita menyalah-nyalahkan bahwa Tuhan yang tidak seperti dalil itu pasti salah. Di titik seperti itu kita sudah menuhankan dalil. Contoh lain lagi, ketika kita percaya seratus persen bahwa Tuhan sejati adalah seperti yang dibilang guru kita, dan Tuhan yang berbeda dengan yang dibilang guru kita berarti bukan Tuhan, alias salah. Di titik itu artinya kita sudah menuhankan guru kita. KS: Waaa ... kalau begitu ya repot Dul. Masak pakai dalil nggak boleh. Nurut guru salah .. terus kepriye .. DK: Bukan Nggak boleh. Pada akhirnya kan kembali lagi, bahwa tiap-tiap manusia itu tidak memikul beban melebihi kesanggupannya. Kalau kesanggupan seseorang menuju Tuhan itu harus melalui pengajaran dalil-dalil, ya tempuhlah itu. Kalau kesanggupan seseorang itu melalui guru, ya tempuh juga itu. Yang berbahaya, dan bisa jatuh ke sifat syirik adalah jika tidak ada kesadaran bahwa yang kita tempuh itu HANYA salah satu jalan menuju Tuhan yang sejati. Bahwa Tuhan melalui pengajaran dalil atau guru itu hanya menghasilkan persepsi tentang Tuhan, dan bukan Tuhan yang sejati. Artinya ada Tuhan sejati yang Esa, yang diluar, di atas, melampaui, lebih dari persepsi-persepsi manusia tentang Tuhan. Itulah tauhid. Itulah "Laa ilaaha Illa Allah". Itulah "tiada tuhan melainkan Tuhan". Itulah "there's no god but God". KS: Ya..ya.. ya.. mudeng aku sekarang. Min .. Kemin .. kowe mudeng dhurung? MK: zzzzzzz ...ggggrrrookk ... zzzzzzz ... ggggroooookkkkkk KS: Wealah .. tobil .. malah ngorok bocah ini! 22 Mei 2004