DUNIA BARAT "LELAH" TERHADAP ISLAM (Oleh : dr. Eddy Supriyadi, Vrije Universiteit, Amsterdam)
Tidak saya sebut laporan pandangan mata, tapi laporan pandangan hati, karena lahir dari rasa cemburu. Yakni cemburu kepada kelompok KiaiKanjeng dan terutama kepada Emha Ainun Nadjib, selama membuntuti tiga hari perjalanan mereka di Denhaag dan Amsterdam, Negeri Belanda. Tentu juga ada rasa bangga, terpompa semangat nasionalisme Merah Putih, tetapi saya hanya seorang pelajar pengejar masa depan studi S3 Childhood Leukemia di Vrije Universiteit Amsterdam: saya tidak merasa berhak mewakili nasionalisme sebuah bangsa besar. Juga muncul rasa ketenangan sebagai seorang yang beragama, tetapi ini perasaan yang relatif, dan tingkat komplikasi ketegangan antar ummat beragama, terutama yang menyangkut Ummat Islam, saat ini, di seluruh dunia, sedang cukup tinggi. Apalagi Negeri Belanda, yang mengalami pembunuhan Theo van Gogh seorang sutradara film oleh seorang Muslim Marokko, serta mengalami film "Fitna" oleh anggota Parlemen Geert Wilders. Kiaikanjeng dan Emha merupakan sosok yang menempuh prinsip dan sepakterjang yang dalam banyak hal "tidak sejalan dengan mainstream nilai-nilai" secara nasional maupun apalagi internasional, tetapi tiba-tiba saja mereka klop dengan "mainstream" itu tanpa saya bisa menemukan apa yang dilanggar oleh mereka atas prinsipnya sendiri. Itu salah satu cemburu saya. Ketika berjumpa dengan Edwin Keijzer, Adviser for the Relations with Islamic World, Kementerian Luar Negeri Belanda, pertentangan yang sebenarnya sangat substansial itu seakan-akan tak ada. Pemerintah Belanda, dan mungkin juga banyak pemerintah negeri "Barat" lain seperti merasa sangat kelelahan dengan urusan Islam. Mereka membentuk subs-institusi khusus dan mengeluarkan biaya sangat besar untuk urusan hubungan dengan dunia Islam, tetapi mulai terdapat kecenderungan untuk menerapkan suatu policy pengelolaan sosial yang menghindarkan label Agama. "Kita memutuskan untuk minum ini makan itu dan ambil suatu pekerjaan, itu tidak harus dikaitkan dengan identitas bahwa saya seorang Kristen. Seluruh pekerjaan ekonomi, politik dan kebudayaan bisa kita langsungkan tanpa harus menyertakan identitas Agama". Tentu saja itu semacam sindiran kepada Protestante Kerk in Netherland (PKN) dan Hendrik Kraemer Instituut yang mengundang KiaiKanjeng dan Emha berkeliling Belanda selama dua minggu dan mengumumkan di media-media bahwa acara-acara yang mereka selenggarakan adalah dalam konteks dialog antar-Agama, dengan Emha diberi label sebagai "Penyair Islam". Keijzer tidak berpandangan bahwa dialog antar Agama diperlukan. Ini suatu kecenderungan berpikir sebagaimana di Indonesia sendiri dipikirkan serius untuk menggoalkan suatu aturan baru di mana KTP tidak perlu lagi mencantumkan Agama seseorang. Emha merespon tanpa menunjukkan pertentangan terhadap kecenderungan itu. Kepada orang Kemlu Belanda itu ia mengulangi pernyataanya dalam konferensi pers sehari sebelumnya bahwa ia "lebih senang kalau tidak dikenal orang lain dan tidak diundang ke Belanda sebagai orang Islam. Islam itu latar belakang saya, bukan penampilan saya. Mungkin lebih tenang kalau orang tidak perlu memperhatikan saya Muslim atau bukan, cukup mengamati apakah perilaku saya bermanfaat bagi sesama manusia, sebagaimana prinsip sosial Islam, atau tidak". Sebagaimana ketika KiaiKanjeng dan Emha bersilaturahmi, berdialog dan bermusik dengan komunitas Gereja-gereja di Belanda, juga di Italia, Australia atau Inggris -- iktikad primernya adalah berjumpa antar manusia, antar makhluk hasil karya Tuhan. Bahwa gamelan KiaiKanjeng dihamparkan di sisi podium dalam Gereja atau bahkan dilatari gambar Salib sangat besar atau patung Yesus Kristus, kata Emha "biarlah Salib dan patung itu menjadi urusan dan proses teologis teman-teman Kristiani, sementara bagi kami ini adalah bagian dari bumi Tuhan, itu adalah gedung, itu adalah garis silang dan patung yang kami tidak terkait dengan konteks bahwa itu Salib dan Yesus". KiaiKanjeng dan Emha jadinya bisa dikategorikan seirama dengan cara berpikir Keijzer dan policy Pemerintah Belanda, serta "berbeda pandangan" dengan PKN dan HKI yang membawa mereka keliling Belanda. Tetapi ternyata tidak sepenuhnya demikian. Sesudah dialog dengan Kemlu Belanda itu saya mengintip pembicaraannya dengan Aart Verberg, representatif PKN. Emha bilang, "Aart pasti memahami batas-batas politik dan aplikasi birokrasi Pemerintah Belanda. Mereka sudah lama direpotkan oleh berbagai kasus yang disebut berkait dengan Islam, yakni yang di Belanda dirumuskan dalam lima points: bahwa dalam pandangan Belanda Islam tergambar melalui wajah (1). Fundamentalisme dan Radikalisme, (2) Terorisme, (3). Kriminalitas, (4). Pendidikan rendah dan (5). Islamofobia. Bisa kita pahami kenapa mereka punya kecenderungan mengambil 'shortcut' dengan delabelling Agama". Jadi kenapa KiaiKanjeng dan Emha bersedia datang ke Belanda padahal PKN dan HKI meletakkan mereka dalam label Islam? Emha menjawab: "Label yang dikalungkan ke leher saya sangat banyak: ya seniman, penyair, Kiai, garong, makelar lumpur, Dukun dan macam-macam lagi. Itu urusan yang memberi label, dan seumur hidup saya tak akan pernah membantahnya. Yang saya lakukan hanya nasehat Ibu saya: 'Nak, lakukan kebaikan dan pertahankan kebenaran, di mana saja, bersama siapa saja, kapan saja'. Seandainya yang mengundang kami ke Belanda adalah Konsorsium Jin Internasional, kami insyaallah akan berangkat juga, sepanjang tidak ditiketi oleh uang rakyat Indonesia yang masih sengsara. Karena di mana pun, apapun dan dengan siapapun, tidak akan mengubah kami menjadi bukan kami". Aart Verberg saya lihat bergembira dan bisa menerima, semacam pilihan cara memandang di mana orang lain yang berbeda dengan kita bukan hanya kita letakkan tidak sebagai musuh kita, melainkan kita apresiasi, kita coba pahami 'kelemahan' yang melatarbelakangi pandangan itu, untuk kemudian kita coba tetap menemaninya dan syukur membantunya sampai akhirnya pandangan orang yang bersangkutan mengecil perbedaannya dengan pandangan kita. Dalam suatu kesempatan kecil saya mengorek hal itu agak lebih detail, dan Emha mengatakan: "Orang berbuat jahat tidak harus seratus persen kita pahami sisi kejahatannya, tetapi bisa kita cari kemungkinan bahwa kejahatan itu bersumber dari kelemahan atau keterpaksaan. Dengan demikian kita bukan membencinya karena kejahatannya, melainkan ada peluang dan bahkan kewajiban untuk mengantarkannya terlepas dari kelemahan itu, sehingga produk jahatnya juga bisa terkurangi. Bahkan orang yang membenci kita, memfitnah kita dan memaki-maki kita, sesungguhnya mengantarkan kepada kita keharusan untuk menggali ilmu dan pengetahuan tentang sebab kebencian itu. Misalnya bahwa kebenciannya itu berasal dari suatu keadaan mental yang terbatas sedemikian rupa sehingga ia tidak punya kemungkinan lain kecuali membenci kita. Kemudian kebencian itu juga mengantarkan juga pancingan untuk menambah kasih sayang kita kepadanya, syukur diam-diam menolongnya untuk berjalan menuju kondisi mental yang lebih kuat dan positif sehingga ia tidak perlu membenci siapapun sebagai satu-satunya jalan untuk survive secara psikologis..." Diam-diam saya mencuri pelajaran tentang diplomasi kebudayaan dan diplomasi kemanusiaan. Dan itu menambah rasa cemburu saya karena ternyata kedatangan KiaiKanjeng dan Emha ke Belanda bukan perjalanan yang tegang dengan urusan fobi Islam, ketegangan Islam vs Barat atau apapun. Sesungguhnya ke manapun manusia pergi, bisa tetap santai dengan obyektivitas berpikir dan ketenangan hati.***** *) bagi wartawan yang menghendaki foto terkiatn tulisan diatas silahkan kontak [EMAIL PROTECTED]