Refleksi: Partai-partai politik besar dan para petinggi mereka termasuk juga  
para mantan petinggi militer tidak menjadikan pelanggaran HAM sebagai salah 
salah satu masalah penting untuk diselesaikan, karena kebanyakan dari mereka  
langsung mau pun tidak langsung terlibat dalam kasus-kasus kejahatan 
pelanggaran HAM, maka oleh karena itu pada umumnya mereka membisu seribu bahasa 
dengan harapan agar zaman melupakan perbuatan mereka! 

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/10/29/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Jangan Jadikan Pelanggaran HAM Komoditas Politik
 

Bambang W Soeharto 

 

 

Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu menjadi pekerjaan rumah 
yang belum terselesaikan. Padahal, penyelesaian masalah HAM penting agar proses 
penataan identitas Indonesia Baru dapat tercapai. Siapa pun pasti akan setuju 
jika pelanggaran HAM di- tuntaskan, lepas dari kepentingan politik. 

Kita tahu persoalan pelanggaran HAM akan terus berkembang. Maka, penuntasannya 
pun tidak mengenal kedaluwarsa. Artinya, pelanggaran HAM pada masa lalu tidak 
boleh begitu saja dihapus dari sejarah. Hal ini penting, karena sejarah bukan 
hanya catatan, melainkan guru yang berharga. Namun, penyelesaian kasus 
pelanggaran HAM harus melalui mekanisme dan norma-norma yang berlaku. 

Mengaitkan pelanggaran HAM dengan kepentingan politik, yang pada dasarnya tidak 
memiliki relevansi, merupakan tindakan tidak bertanggung jawab. Sebab, 
penyelesaian kasus pelanggaran HAM harus secara tulus, sungguh-sungguh, dan 
menggunakan kaidah hukum. 

Baru-baru ini, Pansus DPR untuk kasus penghilangan orang secara paksa berencana 
memanggil sejumlah mantan jenderal. Menurut Ketua Pansus Effendi Simbolon, 
upaya tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yang 
diajukan tahun 2006. 

Seperti kita ketahui, KPP HAM telah menyelesaikan penyelidikannya terhadap 
kasus penghilangan orang pada 8 November 2006. KPP HAM menyimpulkan bahwa untuk 
kasus penculikan dan peng- hilangan paksa aktivis 1997/1998 telah ditemukan 
adanya unsur pelanggaran HAM berat. 

Kemudian, laporan tersebut diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti 
penyidikannya. Namun, dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung tampak lambat 
merespons kasus ini. 

Kemudian, pada 13 Maret 2007 dibentuk Pansus DPR, yang diketuai Panda Nababan 
(politisi PDI-P). Pascapemilihan ketua Pansus hingga penggantian ketua Pansus 
yang baru, kejelasan kasus penghilangan orang pada 1997/1998 itu tidak lagi 
diketahui. 

Kini, menjadi sulit dimengerti, mengapa kasus penghilangan orang secara paksa 
dimunculkan kembali. Mengapa tidak dari semula semua pihak yang terkait 
berupaya untuk menjernihkan masalah ini. Dapat ditebak di belakang semua ini 
pasti tersembunyi kepentingan politis yang sulit dimengerti publik. Dengan 
menyoroti kembali kasus ini, pelanggaran HAM seolah dijadikan komoditas politis 
dan akhirnya meremehkan masalah HAM yang urgen dan memerlukan keprihatinan 
semua. Padahal, penyelesaian pelanggaran HAM bukanlah komoditas politis. 
Kehendak untuk menuntaskannya tiada lain merupakan tugas suci dan mulia untuk 
menjadikan bangsa Indonesia lebih bermartabat. 


Harus Konsisten 

Kasus penghilangan orang secara paksa pada periode 1997/1998 memang bukan 
perkara sepele. Apalagi pada 29 Juni 2006, Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa 
sudah mengesahkan International Convention for the Protection of All Persons 
from Enforced Disappearances (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua 
Orang dari Penghilangan Paksa. 

Konvensi tersebut menekankan bahwa penghilangan paksa merupakan "ibu" dari 
segala pelanggaran HAM. Paling tidak, ada empat hak dasar (basic human rights) 
yang dilanggar dalam kasus penghilangan orang. Pertama, hak untuk tidak 
disiksa. Kedua, hak atas kebebasan dan keamanan. Ketiga, hak diperlakukan sama 
di depan hukum, dan keempat hak hidup. 

Mengingat pentingnya konvensi tersebut, tentu penyelesaian kasus penghilangan 
orang menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Namun, kita tidak boleh 
mencampuradukkan antara penyelesaian masalah HAM dan kepentingan politik. 
Apalagi, pernyataan resmi Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menyatakan bahwa 
kasus ini sudah selesai secara hukum dan pihak-pihak yang terlibat sudah 
dihukum sesuai dengan tuntutan pengadilan. 

Ke depan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM, khususnya dalam kasus 
penghilangan orang, harus diselesaikan secara konsisten, tulus, 
sungguh-sungguh, dan menggunakan kaidah hukum yang berlaku. Kinerja Pansus DPR 
harus ada batasan waktu yang jelas, terarah, dan ada target dan 
capaian-capaian. 

Hal ini penting agar kinerjanya netral dan tidak latah dengan momentum politik. 
Kemudian, apabila diperlukan, bisa menyusun agenda baru untuk menyelesaikan 
kasus orang hilang. Seperti ditulis Tomy Su (2008), tidak ada salahnya kita 
belajar dari negara Argentina yang membentuk Komisi Nasional untuk Orang 
Hilang. 

Komisi ini mempunyai kewenangan untuk memanggil pejabat-pejabat militer yang 
diduga melakukan pelanggaran HAM masa lalu. Dalam perkembangannya, komisi ini 
menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab dalam 
kasus penghilangan orang.Tanpa mengurangi dukungan terhadap maksud baik dari 
para penegak HAM, kita harus pandai memilah-milah, mana yang berniat tulus dan 
politis. 

Intinya, bila kita ingin menata kembali bangsa ini, mengungkit masa lalu, 
terutama menyangkut masalah HAM untuk kepentingan politis, seperti orang 
hilang, adalah tidak mendidik. Bangsa ini memerlukan kejernihan, kejujuran, dan 
komitmen moral yang tinggi agar dapat melangkah ke depan. 


Penulis adalah mantan Wakil Ketua Komnas HAM, alumnus Program Doktoral Ilmu 
Politik UGM Yogyakarta 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 29/10/08 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to