Jauh-Jauh ke Paris, Kari pun Kembali Pulang...

   Ini
kisah orang Lampung nun di negeri Napoleon. Kari, tokoh utama, tak
dibiarkan berlama-lama terlunta-lunta. Rosita Sihombing, si penulis,
"memberi" Kari jalan keluar kembali ke Lampung.
---------
Nama lengkapku Karimah. Teman-teman sekampungku memanggilku Kari.
Aku salah satu dari seratus lebih mantan TKW yang akhirnya menjadi
warga ilegal dan terpaksa mengadu nasib di negeri Napoleon, negeri
sejuta mimpi... (hlm. 23)

Kisah sederhana ini--walaupun seharusnya lebih rumit--akhirnya
sampai juga ke tempatku, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Jauh juga
perjalanan Kari. Dari Lampung terus ke Riyadh, Arab Saudi, lalu ke
Paris, Prancis, untuk kembali lagi ke Lampung dengan sehat selamat
sejahtera. Oleh penulisnya, Rosita Sihombing, penulis asal Bandar
Lampung yang tinggal di Paris sejak 2003, jadilah novel bertajuk Luka di Champs 
Elysees ®MDUL¯(Lingkar Pena Publishing House, Jakarta, 2008).

Tak kurang dari penulis Asma Nadia dan Fira Basuki--sebagaimana
dikutipkan di halaman pembuka dan sampul belakang buku--pun memuji
novel ini sebagai kisah yang memikat, indah, dan luar biasa, meskipun
dengan segala kesederhanaan.

Menyederhanakan cerita, Karimah yang orang Lampung atau dari Lampung
menjadi buruh migran sebagai pramuwisma di Riyadh. Meninggalkan anak
dan suami karena himpitan ekonomi keluarga. Namun, di Riyadh ia
menerima perlakuan yang tidak manusiawi. Kekerasan hingga pelecehan
seksual terlalu sering dia alami. Dia tidak tahan. Maka, sebuah
kesempatan ketika majikannya mengajak ke Paris, ia kabur di jalan
Champs Elysees.

Dalam pelarian ini, dia pingsan. Sampai kemudian ditemukan Hamed
yang kemudian menolongnya. Dalam kebingungan, ia pun menjadikan pria
asal Aljazair ini sebagai sandaran hidupnya sebagai warga ilegal di
kota ini. Termasuk tinggal bersama dalam satu apartemen hingga
melahirkan anak tanpa ikatan perkawinan. Sampai kemudian, karena
perselisihan masalah nama, si bayi meninggal karena kesulitan bernapas.

Tidak ada harapan lagi. Sejak itu ia hanya ingin pulang ke Lampung.
Beruntung ia bertemu Imelda, seorang Indonesia yang bersuamikan orang
Prancis menunjukkan jalan kembali ke Tanah Air. Dan...seperti lazimnya
cerita pop, akhirnya berbahagia. Sampai di Tanah Air dengan selamat
disambut anak dan sang suami yang selalu setia menanti.

Ah, memang benar. Tidak perlu berkerut-kerut membaca novel ini.
Semua dituturkan bahasa yang sederhana. Boleh jadi karena penulis novel
ini Rosita Sihombing yang alumnus Bahasa Inggris Universitas Lampung
cukup lama berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai wartawan Daya Ekpres 
dan Sumatera Post, keduanya di Lampung.
Bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa memang kelewat
cair untuk menulis sastra. Kalau bahasa jurnalistik cenderung menuntut
kejernihan (singkat jelas), bahasa sastra akan lebih memilih bahasa
yang lebih rumit dengan segala perangkat nilai estetika bahasa,
misalnya kalimat-kalimat yang cenderung ambigu, konotatif, majas, dan
sebagainya.

***
Nama lengkapku Karimah. Teman-teman sekampungku memanggilku Kari...
Maka, bertuturlah Rosita dengan bahasa yang lancar dan nyaris tanpa
tantangan yang berarti bagi pembaca untuk mengunyah makna dalam novel
ini.

Fokus utama Luka di Champs Elysees memang pada Kari. Penulis
pun tidak perlu mengalih-alihkan perhatian pada tokoh-tokoh lain yang
sebenarnya cukup menarik untuk juga ditampilkan, walau tidak harus
sedetail tokoh utama, si Kari.

Pembaca akan bertemu Hamed, yang begitu tiba-tiba saja bertemu,
lebih tepatnya menemukan Kari yang tengah pingsan di sebuah tempat.
Menyadarkannya, kemudian merawatnya, menjadi teman tidur, dan akhirnya
memberi Kari seorang bayi. Ada juga Maharani yang tidak diberi
kesempatan mengambil peran terlalu lama untuk kemudian menghadap
kehadirat Ilahi dalam sebuah insiden "kecil" ketika terjadi
perselisihan antara Kari dan Hamed.

Lalu, ada Enah dan Icha, sesama orang Indonesia yang "terdampar" di
Paris, yang tiba-tiba sudah menjadi sahabat yang sangat membatu Kari
dalam beberapa kali pertemuan. Bagaimana bisa kenal dan bagaimana bisa
bertemu di Paris, semua begitu tiba-tiba. Termasuk ketika Kari
memutuskan untuk sementara tinggal di apartemen di Enah. Lalu, hanya
dalam beberapa hari kunjungan di Champs Elysees, tiba-tiba saya, Kari
telah bertemu dengan Imelda, dewi penolong yang membuat jalan begitu
lempang untuk kembali ke tanah air, pulang ke Sang Bumi Ruwa Jurai.

Ah, betapa baiknya Hamed karena setelah mengabarkan soal pemakaman
anak mereka, menyatakan bersedia membayar tiket untuk sebuah
kepulangan. Sayang, sebagai pembaca rasanya masih penasaran dengan
bagaimana sebenarnya Hamed, lelaki asal Aljazair bisa di tinggal dan
bekerja di Paris untuk kemudian dipertemukan kepada Kari.
Secara pribadi saya pun merasa kasihan dan gemas kepada lelaki lemah
yang dengan polosnya menerima dan menyambut kepulangan Kari. Tidak ada
prasangka. Tak ada perasaan dikhianati. Kari pulang sebagai pahlawan
keluarga. Dan, Tari, anak mereka... Ah, kisah yang menawan sebenarnya.

Kalau saja Rosita bisa lebih membuat novelnya ini lebih kental,
novel ini mungkin bisa mengharu-biru pembaca. Hanya saja agaknya Rosita
terlampau tergesa untuk segera mencarikan jalan keluar dari setiap
masalah yang dihadapi si tokoh utama.
Pembaca misalnya, belum lagi diberi kesempatan untuk menghayati
kepedihan hati setelah bayi Kari meninggal. Penulis sudah menyodorkan
sebuah kegembiraan akan harapan pulang ke tanah air. Atau, pembaca
tidak diberi waktu sedikit panjang untuk ikut merasakan betapa bahagia
dengan keberadaan bayi Maharani, penulis terburu-buru mematikan tokoh
ini.

Padahal, ada banyak kesempatan bagi penulis untuk membuat novel ini
lebih canggih dalam arti membuat novel ini penuh drama kemanusiaan.
Modal ini itu ada. Misalnya, walau setting novel banyak di
Paris atau lebih spesifiknya Champs Elysees, tokoh utama Tari
sebenarnya mempunyai peluang untuk berkonflik secara kultural. Tari
yang berasal dari Lampung dengan budaya kampungnya (pekon, tiur),
budaya Lampung atau lebih luasnya budaya Indonesianya, pada mulanya
berhadapan dengan kultur Timur Tengah (Riyadh, Arab Saudi) dan lalu
kultur Prancis (Champs Elysees, Paris).

Dalam bayangan (lebih mirip harapan) saya, meskipun ber-background Paris,
Rosita yang Sihombing yang lahir dan besar di Lampung akan mampu
menyelipkan kebudayaan Lampung dalam karyanya. Saya tidak tahu, apakah
orang Lampung masih memiliki sesuatu yang khas yang tidak ditemukan
pada orang lain, ke mana pun dia pergi.

***
Nama lengkapku Karimah. Teman-teman sekampungku memanggilku Kari.
Terlepas dari beberapa catatan saya itu, Luka di Champs Elysees, saya
sepakat dengan Fira Basuki, Asma Nadia, dan Nyoto Prihanto yang
memberikan komentar dalam buku ini bahwa novel ini memang menawan dan
layak dibaca.

Novel ini terdiri dari tiga bagian: Awal, masa lalu, dan kini. Meski ada flash 
back
pada bagian masa lalu, alur novel ini sangat linear. Sehingga
memudahkan pembaca untuk mengikuti jalannya cerita. Ketimbang
deskripsi, Rosita cenderung lebih memilih narasi dalam mengisahkan
cerita ini.

***
Nama lengkapku Karimah. Teman-teman sekampungku memanggilku Kari.
Dan, Rosita menuliskan kisah orang Lampung ini dari nun di negeri
Napoleon. Tapi, Rosita tidak terlalu tega membiarkan Kari
terlunta-lunta di negeri orang. Maka, oleh Rosita, tidak perlu terlalu
lama, Kari pun kembali pulang (ingat lagu dari Kangen Band yang juga
Lampung. Kari juga mungkin suka. Tapi, di kampung ia menyimpan kaset
Joe Dassin, Champs Elysees).
Paris. Dan, saya pun teringat dengan sastrawan produktif yang sempat
tinggal lama di Prancis, N.H. Dini. Semoga Rosita pun produktif
melahirkan karya-karyanya.

Mengingat Rosita, karya, dan Lampung menghubungkan saya dengan
perempuan penulis lain, Anjar (Bandung) dan Dyah Merta (Yogyakarta),
orang-orang pernah (dan masih) 'bersentuhan' dengan Lampung. Rosita,
Anjar, Dyah, tanpa hendak membuat komparasi, ah, novel-novel mereka
begitu menggairahkan dari tangan mereka, (semoga) terus lahir karya,
yang membangun dan mengembangkan dunia literacy.

Udo Z. Karzi, Pembaca Sastra, tinggal di Pangkalan Bun, Borneo.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to