http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/08/OPI/mbm.20081208.OPI128956.id.html
Menagih Bukti, Bukan Janji SALAH satu keahlian Grup Bakrie adalah melakukan financial engineering. Teknik kreatif olah-keuangan itulah yang membuat grup ini bangkit setelah diterjang krisis ekonomi sepuluh tahun lalu. Karena itu agak mengherankan kalau sekarang grup bisnis milik Aburizal Bakrie dan keluarganya itu seakan mati akal menghadapi tuntutan korban Lapindo. Pembayaran ganti rugi untuk korban semburan lumpur panas yang bermula dari lokasi pengeboran gas PT Lapindo Brantas (milik Grup Bakrie) di Sidoarjo, Jawa Timur, dua setengah tahun lalu belum juga rampung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saking masygulnya sampai berujar, "Aceh saja bisa diselesaikan, kenapa ini tidak." Sangat beralasan bila Presiden jengkel. Urusan ini sudah terlalu lama terkatung-katung. Kesepakatan telah dicapai antara pemerintah dan Bakrie pada April tahun lalu, kemudian diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Semua jelas, di atas kertas. Pasal 15 mengatur pembayaran ganti rugi dalam bentuk pembelian tanah dan bangunan milik masyarakat akan dilakukan secara bertahap. Sebanyak 20 persen harus dibayar Lapindo di muka, sisanya dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Atas dasar peraturan presiden itu, sesungguhnya pemerintah telah berbaik hati mengambil alih sebagian besar kerugian. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menaksir kerugian bakal mencapai Rp 27,4 triliun. Beban Lapindo sebenarnya tinggal Rp 3,4 triliun, untuk ganti rugi tanah dan bangunan serta biaya tanggap darurat. Kesepakatan ini tak jalan di lapangan. Pihak Bakrie mengaku sebagian korban sering mengubah sistem yang telah disepakati. Krisis finansial global juga dipakai sebagai alasan terlambat bayar. Alhasil, sampai pekan lalu, dari hampir 13 ribu berkas pengajuan ganti rugi, sebagian besar belum dilunasi. Ini sangat ironis, karena tahun lalu Aburizal dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia oleh majalah Forbes Asia dengan kekayaan ditaksir Rp 54 triliun. Keadaan berubah sepekan terakhir ini. Grup Bakrie menyelesaikan tunggakan uang muka dan menyanggupi mencicil sisa ganti rugi yang 80 persen sebesar Rp 30 juta per bulan untuk setiap keluarga korban. Banyak yang percaya ini terjadi setelah dua kejadian sepekan lalu. Pertama, sekitar seribu warga Sidoarjo yang terendam lumpur pekan lalu datang ke Jakarta dan berdemonstrasi di depan Istana. Tapi agaknya yang paling menentukan adalah yang kedua: kedatangan Nirwan Bakrie, CEO Grup Bakrie, memenuhi panggilan Presiden. Nirwan sampai dua kali dipanggil ke Istana. Tak semua korban Lapindo puas dengan janji baru Bakrie, tapi harus diakui ini merupakan langkah maju. Yang harus dipastikan setelah ini adalah janji baru itu benar-benar terealisasi. Pemerintah bisa meminta jaminan aset pribadi keluarga Bakrie dan membuat perjanjian pengikatan. Jika janji tak terlaksana lagi, pemerintah perlu menyita dan menjual aset itu. Bakrie hampir pasti akan keberatan untuk memberikan jaminan. Sebab, selama ini mereka beranggapan bahwa semburan lumpur bukan akibat pengeboran, melainkan bencana alam. Kesediaan Bakrie mengucurkan dana, seperti tertuang dalam peraturan presiden, menurut mereka semata-mata atas dasar itikad baik dan pertimbangan kemanusiaan. Memang belum ada keputusan pengadilan. Penyebab semburan masih misterius. Kendati begitu, mayoritas geolog dunia yang berkumpul di Cape Town, Afrika Selatan, akhir Oktober lalu, sepakat bahwa semburan lumpur di Sidoarjo akibat kesalahan pengeboran, bukan bencana alam. Dalam situasi seperti ini, pemerintah tak perlu gamang. Kesepakatan toh sudah diambil. Sekarang pemerintah tinggal menuntut komitmen penuh Grup Bakrie. Pemerintah dan juga Bakrie perlu membantu korban menata masa depannya kembali. Korban yang berada di luar "peta terdampak"-daerah yang menurut peraturan presiden berhak menerima ganti rugi-juga harus dipikirkan kelangsungan hidupnya. Masih ada yang mesti dituntaskan. Sumber penyebab semburan perlu dicari dengan membawa kasus ini ke pengadilan. Jika kelak terbukti terjadi salah pengeboran, Lapindo perlu "menggenapi" tanggung jawab yang sebagian sudah dibayarnya sekarang. Bahkan, bila hasil penyidikan membuktikan keterlibatan pemegang saham, pemilik Lapindo bisa dimintai tanggung jawab yang lebih besar, seperti tersirat dalam Pasal 3 Ayat 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995. Selalu ada dua sisi pada mata uang. Jika pengadilan kelak memutuskan Lapindo Brantas tidak bersalah, perusahaan itu bisa menuntut pemerintah mengganti semua ongkos yang telah dikeluarkannya. Semua pihak harus berbesar hati bila hal ini menjadi kenyataan. Keadilan bisa hadir di tempat-tempat yang tak disukai oleh pemerintah, Grup Bakrie, bahkan korban semburan lumpur. Tapi, di mana pun keadilan itu kelak hadir, mereka yang sebagian hidupnya sudah terampas harus dipastikan bisa ditolong. [Non-text portions of this message have been removed]