Bung Amir, Tragedi Seorang Patriot

Sabam Siagian
Redaktur Senior Harian The Jakarta Post, mantan Duta Besar Indonesia di 
Australia

SEKITAR
tengah malam 19-20 Desember 1948 di Desa Ngalihan, di luar Kota Solo,
dilakukan eksekusi terhadap sekelompok tahanan politik oleh peleton
Polisi Militer. Satu di antaranya Amir Sjarifoeddin Harahap, Perdana
Menteri Republik Indonesia kedua (Juni 1947-1948). Mereka dituduh
terlibat dalam ”Pemberontakan Madiun”.

Bung Amir berumur 41
tahun lebih sedikit ketika ditembak, beberapa hari menjelang perayaan
Natal. Para pemrakarsa ”Pemberontakan Madiun” itu, yang dicetuskan pada
18 September 1948, khususnya Soemarsono, tokoh Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), yang berperan dalam Pertempuran Surabaya,
menyebutnya sebagai tindakan ”koreksi” terhadap jalannya Revolusi
Indonesia. Perdana Menteri Mohammad Hatta, dalam keterangan pemerintah
di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta,
menyebut kejadian di Madiun sebagai ”perampasan kekuasaan”.

l l l

PERTANYAAN
besar ketika mengenang tewasnya Bung Amir 60 tahun lalu: kenapa seorang
Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri RI ke-2, yang pernah tampil di
panggung internasional sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan
dengan delegasi Kerajaan Belanda dan difasilitasi oleh Komisi Jasa Baik
Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai terlibat dalam suatu tindakan
”perampasan kekuasaan” Negara RI?

Han Suyin, novelis dan penulis
biografi politik, pernah mengatakan, ”Agar penulisan sejarah dilakukan
secara benar, tokoh harus ditampilkan sebagai manusia, bukan sebagai
legenda.” Wanti-wanti Han Suyin itu agaknya tepat sekali diterapkan
dalam menilai peran kesejarahan Amir Sjarifoeddin. Sebab, Amir memiliki
beberapa ciri yang cenderung menciptakan legenda.

Dia orator yang setara dengan
kehebatan Soekarno dalam memukau massa. Cetusan pemikirannya yang serba
cerah mencerminkan kualitas intelektualnya, yang dibina di sekolah
menengah atas elite di Negeri Belanda. Selama menjadi pelajar di
gymnasium di Kota Haarlem (1921-1927), di samping mempelajari bahasa
Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman, dia menekuni bahasa dan sastra
Latin dan Yunani Kuno.

Namun mereka yang kenal Bung Amir dari
dekat juga mencatat beberapa kelemahan karakter yang fatal akibatnya
bagi seorang pemimpin politik. Dia senang disanjung dan dipuji. Sering
emosional dalam mengambil keputusan. Rasa kesetiakawanan kuat yang
dimilikinya menimbulkan kekecewaan yang mendalam kalau dia merasa
ditinggalkan kawan seperjuangan. Semuanya itu tecermin pada 1948, tahun
kalender terakhir dalam hidup Amir Sjarifoeddin.

l l l

SETELAH
enam bulan menjadi perdana menteri, menggantikan teman separtainya,
Partai Sosialis, Soetan Sjahrir, sebagai ketua delegasi RI Bung Amir
berhasil menempa kerangka kesepakatan dengan pihak Belanda. Perundingan
dilakukan di geladak sebuah kapal angkut militer Angkatan Laut Amerika
Serikat yang berlabuh di Teluk Jakarta. Kesepakatan yang ditandatangani
pada 17 dan 19 Januari itu dikenal sebagai ”Perjanjian Renville”.

Beberapa
hari sebelum penandatanganan ”Renville”, Bung Amir terbang ke
Singapura. Di sana ia melakukan pertemuan amat penting dengan Wakil
Presiden Mohammad Hatta, yang datang dari Bukittinggi, dan Soetan
Sjahrir, mantan perdana menteri dan Wakil Khusus RI di Dewan Keamanan.
Sjahrir mengkritik habis konsep ”Renville”. Ia menuding Amir telah
memberikan konsesi kepada Belanda, yang sebenarnya tidak perlu. Pada
malam 17 Januari, Amir Sjarifoeddin tampil dengan busana hitam-putih,
dasi kupu-kupu hitam, dalam resepsi yang diselenggarakan Komisi Jasa
Baik PBB. Itulah klimaks kariernya.

Belum genap seminggu, kabinet Amir menghadapi
krisis. Dua partai besar pendukungnya, Masyumi dan Partai Nasional
Indonesia (PNI), menarik dukungan dan para menterinya. Meskipun pada
awalnya mendukung Perjanjian ”Renville”, mereka tidak bersedia memikul
tanggung jawab atas pelaksanaannya.

Tanpa dukungan dua partai
besar itu, Bung Amir merasa terpojok. Pada 23 Januari 1948, ia
mengembalikan mandatnya sebagai kepala pemerintahan kepada Presiden
Soekarno. Lebih menjengkelkan, ketika Presiden Soekarno pada 29 Januari
1948 mengumumkan kabinet presidensial yang dipimpin Wakil Presiden
Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, dua partai besar itu, Masyumi
dan PNI, tampil mendukung. Masing-masing mendapat porsi kursi menteri
yang lumayan. Dan program pertama kabinet Hatta ini: Pelaksanaan
Perjanjian Renville!

Ada lagi perkembangan yang menambah
kekecewaan Bung Amir. Wakil Amerika Serikat, Profesor Frank Graham,
yang dianggapnya sebagai teman baik dan seiman, pernah sama-sama
menjadi tokoh Gerakan Mahasiswa Kristen semasa muda mereka, ditarik
kembali oleh Departemen Luar Negeri Amerika. Grahamlah yang meyakinkan
Bung Amir agar menyetujui tuntutan Belanda supaya Tentara Nasional
Indonesia mengosongkan daerah pendudukan.

Januari
itu merupakan klimaks, sekaligus antiklimaks, dalam karier politik Bung
Amir. Mengapa Masyumi dan PNI menarik dukungannya kepada Bung Amir? Apa
sebenarnya peran Frank Graham? Apakah sebagai sasaran tahap awal, ia
bekerja keras supaya Perjanjian ”Renville” disepakati dulu? Tapi,
berdasarkan pantauannya, ia mengobservasi kecenderungan Perdana Menteri
Amir ke kiri, sedangkan Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet
justru terus memuncak.

Seperti sering terjadi pada tokoh politik
yang menderita sindrom purnakekuasaan, Amir semakin bersikap kritis dan
radikal. Koalisi partai yang dipimpinnya kemudian diluaskan, dan
fokusnya dipertajam, menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai
rapat umum diselenggarakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Amir
seakan-akan menggali kekuatan baru dari interaksi langsung dengan massa.

Sebenarnya,
Perdana Menteri Hatta mulai bersikap akomodatif dan mencatat kenyataan
politik. Pembicaraan pendahuluan mulai dilakukan dengan oposisi. Kalau
Bung Amir mampu mengurai egonya dan memperlunak tuntutannya, bukan
mustahil pada sekitar perayaan 17 Agustus 1948 sebuah kabinet nasional
persatuan dapat dibentuk. Lagi-lagi sebuah peristiwa baru mengubah peta
politik.

Pada 11 Agustus 1948, Soeripno, utusan khusus untuk
Eropa Timur yang diangkat oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, tiba
di Yogyakarta. Ia ditemani, katanya, oleh sekretarisnya yang bernama
Musso. Siapa Musso? Ia tokoh veteran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika partai itu mengorganisasi ”pemberontakan” pada 1926, Moskow
sudah menginstruksikan supaya ditunda, karena persiapannya dianggap
belum matang dan polisi rahasia Hindia Belanda sudah mencium rencana
tersebut. Tapi Musso tetap meneruskannya. Akibatnya, ribuan
aktivis—juga yang bukan pengikut PKI—ditangkap, dan Musso melarikan
diri ke luar negeri.

Ada
laporan, Musso kembali pada 1935 ke Jawa Timur untuk mendirikan PKI
ilegal. Diduga, Amir Sjarifoeddin direkrut sebagai anggota PKI pada
tahun-tahun itu. Dalam waktu singkat Musso seperti menguasai panggung
politik. Dia menginap di rumah Amir. Tapi Amir, yang menguasai FDR dan
berprestise sebagai mantan perdana menteri, sepertinya terdesak oleh
Musso.

Menjelang akhir Agustus 1948, Amir mengumumkan bahwa dia
sebenarnya sudah lama menjadi anggota PKI. Para pengamat menafsirkannya
sebagai ”oportunisme politik”, supaya dia jangan sampai tersingkir sama
sekali oleh Musso. Dia juga mengumumkan bahwa FDR dileburkan menjadi
bagian PKI. Pada 1 September 1948, susunan baru kepemimpinan PKI
diumumkan. Tampak betapa Musso menguasai Politbiro. Amir hanya diberi
jabatan sekretaris urusan pertahanan.

l l l

MULAI
awal September 1948, Musso, Amir, dan tokoh PKI lainnya berkeliling
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita tidak tahu apa persisnya ”master plan”
PKI. Mungkin tahap akhir perebutan kekuasaan baru dilakukan pada
Oktober atau November. Karena itu, prakarsa Soemarsono, 18 September
1948, sebenarnya di luar skenario.

Ketika berita dari Madiun
masuk tentang ”perampasan kekuasaan”, kabinet Hatta cepat bertindak.
Agaknya pemimpin PKI, Musso dan Amir, ketika bergabung dengan kelompok
Soemarsono di Madiun tidak memperkirakan sikap tegas pemerintah RI di
Yogya. Mereka juga tidak memperhitungkan kelincahan operasional
pasukan-pasukan Siliwangi menuju Madiun, serangan dari timur oleh
pasukan Kolonel Sungkono, serta penugasan batalion Kemal Idris ke
daerah Kudus/Pati untuk memotong rombongan dan pasukan Amir menuju
daerah demarkasi dengan Belanda.

Madiun direbut pasukan TNI pada 30 September 1948.
Setelah berminggu-minggu berkelana, rombongan Amir Sjarifoeddin dan
Soemarsono tiba di daerah Kudus. Bung Amir ditangkap pada Senin malam,
20 November 1948, tapi Soemarsono lolos. Ia diangkut ke Yogyakarta
dengan kereta api khusus. Ada yang masih ingat, ketika gerbong Bung
Amir singgah di stasiun Pati, dia tampak duduk tenang di sudut, membaca.

Kolonel
A.H. Nasution, sebagai Panglima Komando Jawa, bersama Jaksa Agung
sempat menjumpai Bung Amir dan Soeripno di tempat tahanannya di
Yogyakarta. Jaksa Agung berpendapat bahwa masih perlu dilakukan
interogasi oleh TNI untuk mempersiapkan tuduhan resmi. Karena Bung Amir
dan kawan-kawan ditahan di daerah komando Kolonel Gatot Soebroto,
mereka dikembalikan ke Solo.

Lagi-lagi suatu peristiwa mendadak
mengubah peta politik militer. Belanda melancarkan serangan umum pada
19 Desember 1948 pagi. Siang hari Yogyakarta diduduki. Presiden
Soekarno, Wakil Presiden/Perdana Menteri Hatta, dan penasihat presiden
Soetan Sjahrir, berdasarkan kalkulasi politik, tetap tinggal. Mereka
ditahan Belanda. Panglima Besar Soedirman, Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang Kolonel Simatupang, Panglima Komando Jawa Kolonel A.H. Nasution,
sesuai dengan rencana, menuju markas gerilya mereka.

Para
komandan, sesuai dengan hukum militer dalam darurat perang, mempunyai
wewenang penuh. Kolonel Gatot Soebroto memutuskan mengeksekusi para
tahanan politik di daerah kekuasaannya.

Sungguh tragis akhir
hidup Bung Amir ini. Tapi kata-kata di nisan yang baru-baru ini
diresmikan hendaknya diterima secara tulus: ”Rest in Peace, Mr. Amir
Sjarifoeddin…”.

Sumber: 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/KL/mbm.20081215.KL128991.id.html


Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 
....Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to