memberikan tanggapan.. menurut saya, sebenarnya pemekaran wialayah bertujuan untuk meng-optimalkan potensi daerah untuk mempercepat ekonomi sehingga pemerataan pembangunan bisa mencapai seluruh pelosok daerah,karena yang tahu akan kondisi daerah adalah penduduk yang menempati daerah tersebuat,tidak mungkin pemerintah pusat lebih mengetahui kondisi daerah,penmerintah pusat hanya mem-fasiliataasi dan mendorong hal untuk itu..
selama tujuan pemekaran masih seperti itu,sah sah saja beberapa daerah melakukan pemekaran,masalahnya,,UU menuju pemekaran wilayah ini kadang bertabrakan denganĀ beberapa kepentingan politik lokal sehingga terjadi egoisme dan fanatisme daerah saya pendukung pemekaran wilayah,sebagai orang tapanuli,saya mendukung terbentuknya Propinsi Tapanuli tanpa adanya embel2 SARA. Secara hukum administrasi,suatu wilayah dijadikan dalam satu kesatuan ( yang selanjutnya disebut Provinsi ),,karena adanya persamaan dan kedekatan kultural,sosiologis. Saya kira semua orang tapanuli yang ber-aneka macam keyakinan,akan tetap mendukung Pembentukan Provinsi tapanuli,lepas dari Sumatra Utara Provinsi Tapanuli dan Provinsi Sumatra Utara diharapkan berdiri sendiri,namun bukan berarti saling menghilangkan dan saling mencurigai akan faktor pendorong maupun adanya ego,namun lebih saling membantu dan saling mengetahui sehingga potensi SDA dan SDM di kedua daerah tersebut menjadi optimal --- On Fri, 2/6/09, Sunny <am...@tele2.se> wrote: From: Sunny <am...@tele2.se> Subject: [wanita-muslimah] Menimbang Untung Rugi Pemekaran Wilayah To: undisclosed-recipi...@yahoo.com Date: Friday, February 6, 2009, 7:25 AM http://202.169. 46.231/spnews/ News/2009/ 02/05/index. html SUARA PEMBARUAN DAILY Menimbang Untung Rugi Pemekaran Wilayah Oleh Tony Wardoyo dan M Aminuddin Isu pemekaran membawa korban. Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat meninggal, diduga dikeroyok demonstran yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli. Ini untuk ke sekian kalinya muncul gelombang massa mengangkat isu pemekaran, yang sebelumnya muncul di beberapa daerah, seperti, Papua, Riau, dan Lampung. Melihat meningginya intensitas gesekan politik yang muncul dari masalah pemekaran wilayah, ada baiknya persoalan ini dikaji lebih serius, menyangkut manfaat dan kerugian apabila keran pemekaran wilayah terus dibuka lebar, seperti beberapa waktu yang lalu. Meluasnya tuntutan masyarakat untuk melakukan pemekaran melalui pemerintahan daerah sendiri dipicu euforia politik termasuk otonomi daerah setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lahir. Spirit UU itu kemudian dilanjutkan melalui Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Disebutkan bahwa "Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih". Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (4), disebutkan "Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. " Akibat terbukanya keran pemekaran, tuntutan pemekaran terus mengalir. Menurut catatan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), sejak 1999 hingga 2004 telah terbentuk 148 daerah pemekaran baru dengan rincian 8 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota. Kemudian pada 2005 terdapat 33 provinsi dan sekitar 444 daerah setingkat kota atau kabupaten (Depdagri, 2005). Dulu anak-anak SD hafal jumlah provinsi di Indonesia 27 dengan sekitar 330 kabupaten/kota. Sekarang, seusai lepasnya Timor Timur, jumlah provinsi membengkak menjadi 33 dan jumlah kabupaten/kota sudah tembus angka 500-an. Apakah anak sekolah masih dengan mudah menghafal nama-nama provinsi dan kabupaten/kotamadya di Indonesia? Biaya Tinggi Melihat menggelembungnya daerah pemekaran di Indonesia mudah ditebak, menimbulkan high cost atau biaya tinggi dan pemborosan, karena semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan membiayai perputaran roda birokrasi. Tetapi, sebegitu jauh tetap saja keinginan pemekaran daerah masih tinggi. Dari surat-surat resmi yang mengajukan pemekaran ke DPR dan DPD alasan normatif yang diajukan adalah: pertama, aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih mudah tersalur. Dengan adanya pemekaran wilayah, maka cakupan pemerintahan baru menjadi lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga pelayanan semakin dekat, yang pada gilirannya aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah akan lebih mudah tersalurkan. Kedua, pemerataan belanja pemerintah daerah. Pemekaran wilayah akan menjadikan suatu pemerintahan daerah menjadi terbagi dua, sehingga beberapa daerah akan terbagi ke dalam dua pemerintahan. Alokasi anggaran pemerintahan pun tentunya akan terbagi ke dalam dua pemerintahan tersebut. Maka diharapkan pemerataan belanja pemerintah daerah dapat lebih baik, sehingga masyarakat yang dinaungi oleh pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah hasil pemekaran menjadi lebih sejahtera, karena alokasi anggaran telah merata. Ketiga, peningkatan pengelolaan pelayanan pemerintahan dan pembangunan daerah. Salah satu tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, sehingga diharapkan pengelolaan pemerintahan dapat berjalan lebih efektif dan efisien, pelayanan kepada masyarakat lebih baik dan pembangunan daerah dapat berjalan lancar. Keempat, belanja rutin dan pembangunan makin merata. Pemekaran wilayah akan berdampak langsung pada pemisahan pemerintahan daerah induk dan pemerintahan daerah hasil pemekaran. Dengan kondisi ini, diharapkan terjadi pemerataan antara belanja rutin dan pembangunan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan daerah, sehingga pada gilirannya distribusi anggaran lebih adil antara satu daerah dengan daerah lain. Tetapi, benarkah alasan normatif itu merupakan motif pokok menguatnya tuntutan pemekaran di beberapa daerah? Ternyata, jawaban mayoritas adalah tidak. Dalam kenyataan di lapangan mayoritas penggerak pemekaran memiliki agenda personal. Pemekaran pemerintah daerah baru bila berhasil akan menghasilkan sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi baru di daerah yang akan dinikmati segelintir elite baru yang berpeluang menduduki jabatan kepala daerah, DPRD, dan DPD yang mewakili daerah setempat. Ini belum lagi jabatan-jabatan baru di birokrasi yang dibentuk. Dampak dari "agenda sempit" di balik aspirasi pemekaran daerah seperti itu adalah pemekaran tidak menggambaran kebutuhan nyata untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan daerah. Hasil evaluasi yang masuk dari 150 kabupaten dan kota otonom baru, menunjukkan, hanya 30 persen yang mampu mandiri. Sementara hasil evaluasi versi Depdagri melalui Ditjen Otda, menunjukkan, dari 98 wilayah baru ditengarai 76 daerah cenderung menurun (Berita DPR, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi tampaknya adalah beberapa daerah tidak memiliki cukup sumber daya dan kemampuan untuk memikul beban otonomi. Daerah itu tidak memiliki pendapatan asli daerah yang signifikan untuk menghidupi daerah itu, sehingga akhirnya sebagian daerah baru layu justru setelah dimekarkan. Tampaknya, hasil evaluasi itu mendorong pemerintah SBY-JK berusaha mengerem tingginya tuntutan pemekaran daerah. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pemimpin nasional setelah Pemilu 2004 tercatat hanya 17 kabupaten/kota baru yang lahir. Langkah sistematis selanjutnya, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Ternyata PP ini sangat ketat dan tidak selonggar Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000, yang memang agak leluasa bagi pemekaran daerah. Beberapa perbedaan yang mencolok dengan PP yang baru, misalnya, pada peraturan yang lama, daerah yang baru dimekarkan bisa langsung dimekarkan lagi. Peraturan yang baru menetapkan provinsi yang akan dimekarkan harus sudah berusia minimal 10 tahun, sedangkan kota dan kabupaten harus sudah berusia minimal 7 tahun. Pembatasan juga dilakukan dengan meningkatkan syarat jumlah cakupan wilayah daerah yang dimekarkan.. Tetapi, sayang PP baru ini belum mengakomodasi peluang pemekaran dengan alasan urgensi, seperti faktor geografis dan strategi untuk mempertahankan NKRI. Lebih Antisipatif Terlepas dari kelemahan, PP baru ini lebih antisipatif terhadap kelemahan pada masa lalu dan memberikan landasan hukum untuk melikuidasi penggabungan daerah yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Telah dimekarkan, tetapi kenyataannya "pakaian baru" itu terlalu besar untuk "badannya". Atau badannya memang terlalu kecil, tetapi mau dibesar-besarkan dengan memberikan bungkus pakaian baru. Hasilnya sama, pemekaran justru membuat daerah itu bangkrut dan menimbulkan ekses sosial-ekonomi di wilayah itu. Ada baiknya Indonesia belajar dari Jepang yang secara ekonomis lebih maju dan manajemen pemerintahannya lebih efektif dan rapi. Di Jepang, penggabungan wilayah justru sering terjadi, yang disebut dengan istilah shichouson gappei. Suara Pembaruan edisi 9/5/2002/ pernah menurunkan in depth news perkembangan penggabungan beberapa daerah di Jepang secara menarik. Di negeri "matahari terbit" itu justru tidak ada langkah pemekaran yang mengakibatkan bertambahnya provinsi atau daerah tingkat II. Hampir tidak ada istilah pemekaran yang menjadikan lebih banyak daerah tingkat II di sana. Sejak periode Meiji, Showa, sampai Heisei, saat ini, daerah tingkat senantiasa menurun. Misalnya dikutip dari Gyosei Kanri Kenkyuu Sentaa (Pusat Riset Manajemen Administrasi, 1996), pada 1883 di Jepang terdapat 71.497 daerah setingkat shi-chou-son (SCS) dan turun drastis pada akhir periode Meiji (1898) menjadi hanya 14.289 wilayah. Pada 1950 di mana dikenal sebagai periode awal pembangunan Jepang, wilayah SCS menjadi 10.443 buah, dan 1955 menjadi hampir setengahnya saja, yakni 5.206. Periode akhir economic booming (1995) wilayah SCS tercatat menjadi 3.234, dan berkurang hampir setengahnya dalam era desentralisasi saat ini (mulai tahun 2000), menjadi 1.966, terdiri dari 767 kota, 978 kabupaten dan 221 desa (per 1 Maret 2006). Pada tahun ini diprediksi daerah tingkat II akan menjadi sekitar 1.820. Sedangkan untuk tingkat provinsi, Jepang mempunyai 47 prefektur (provinsi) yang tidak mengalami perubahan sejak periode Meiji (1898). Jika diamati, ada dua kredo dari penggabungan wilayah di sana, yakni konsistensi sebagai visi tradisional untuk menciptakan peran strategi wilayah dalam pembangunan ekonomi dan efisiensi sebagai misi untuk tetap kontinu dalam menyejahterakan warganya. Bangsa Indonesia bisa mengambil manfaat dari pengalaman di Jepang. Terutama yang menyangkut aspek konsistensi, efisiensi, dan efektivitas dalam mengelola daerah. Jadi, poin penting, ada baiknya semua dampak pemekaran yang "overdosis" dievaluasi lebih menyeluruh, sehingga revisi UU Pemerintahan Daerah ke depan bisa menghasilkan formula terbaik bagi masyarakat Indonesia. Penulis adalah anggota DPR, Executive Director of Institute for Strategic and Development Studies, ISDS Last modified: 5/2/09 [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]