06/02/2009 - 15:16
Gerahnya Gubernur Goyang Jaipong
Herdi Sahrasad & Raden Trimutia Hatta

INILAH.COM, Jakarta - Ada-ada saja gerak langkah PKS belakangan ini. 
Setelah ramai soal pijatan Panti Pijat untuk PKS, kali ini politikus 
PKS bikin gerah lagi. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan 
menginstruksikan untuk mengurangi goyangan pada tarian khas Sunda, 
Jaipongan.


Perintah lisan itu disampaikan Heryawan kepada Kepala Dinas 
Pariwisata dan Kebudayaan (Kadisparbud) Jabar Herdiwan. Pesannya, 
penari jaipong menutup ketiak dan mengurangi unsur 3G (goyang, gitek 
dan geol). Alasannya sederhana, banyak orang yang terganggu melihat 
penari 'memamerkan' ketiak sambil bergoyang. 


Tak ayal, permintaan ini membuat kalangan budayawan asal bumi 
parahyangan meradang. "Imbauan Gubernur Jabar yang PKS itu bisa 
ditafsirkan bermakna bahwa seniman kita dianggap tidak tahu sopan 
santun dan amoral," kata Praktisi Seni Tradisi sekaligus Dosen Tari 
STSI Bandung, Mas Nanu Muda. 


Sejatinya, PKS berartikulasi dan bersuara nyaring soal pembasmian 
korupsi, kemiskinan dan pengangguran yang musti diatasi, bukannya 
malah soal seni jaipongan dan isu remeh-temeh lainnya. "Ini 
menyinggung seniman, karena kita dianggap tidak sopan, tidak amoral. 
Pemerintah maksudnya pasti itu. Kalau risih ya jangan dilihat," ketus 
Nanu.


Ia mengaku tidak habis pikir apa maksud Heryawan sibuk mengatur 
goyang jaipong. Sebab, apa yang dilakukan para penggiat tari tersebut 
sudah memenuhi unsur estetika dan etika. Para penari tidak bisa 
sembarangan menggoyangkan pinggang atau pantatnya. "Enggak bisa yang 
gagah diperhalus atau sebaliknya," tandas Nanu.


Nanu melihat apa yang dilakukan Heryawan sudah merupakan bentuk 
intervensi terhadap budaya. Padahal selama ini pelaku seni tradisi 
tidak pernah menuntut pemerintah melakukan sesuatu untuk melestarikan 
budaya Sunda. "Ini malah pemerintah menuntut terus pada seniman," 
kata Nanu.


Tetapi, pembelaan datang dari partai Heryawan berasal, PKS. Presiden 
PKS Tifatul Sembiring menyatakan apa yang dilakukan kadernya masih 
sebatas imbauan itu untuk mengantisipasi pemberlakuan Undang-undang 
Pornografi. Anjuran Gubernur tersebut, menurut Tifatul, upaya untuk 
menjaga agar tarian jaipong tetap ada namun dengan tampilan yang 
lebih santun.


Apapun itu, di mata Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, 
Arry Bainus, langkah yang dilakukan Herwayawan sudah berlebihan. 
Seharusnya karya seni tidak dibatasi. "Pertanyaannya jaipong itu 
munculnya kapan, Jaipong itu kan udah lama kenapa tidak dilarang dari 
dulu saja," cetus Arry.


"Daripada ngurusin Jaipong, mendingan urusin tuh sampah-sampah, 
pikirin tuh layanan publik di Bandung yang jelek. Gubernur kayak 
engga ada kerjaan saja ngurus-ngurus yang kayak begitu," ujar staf 
pengajar FISIP tersebut. 


Dirinya berpendapat, tari Jaipong bukanlah merupakan tarian yang 
vulgar. Meskipun pakaiannya sedikit terbuka, Arry menganggap itu 
biasa saja. "Lagipula Jaipong sekarang sudah tidak banyak digemari 
seperti dahulu. Hal ini malah memperlihatkan Gubernur Jabar sekarang 
kurang memiliki pengalaman," jelasnya.


"Pekerja seni belum tentu moralnya jelek. Toh orang yang jadi Haji 
atau beragama baik juga banyak yang moralnya jelek," tegas Arry.


Tentu saja, permintaan Gubernur ini seakan menjadikan ketakutan para 
seniman terhadap UU Pornografi menjadi nyata. Karya seni dan budaya 
kemudian diintervensi hanya karena penikmat tidak dapat mengontrol 
syahwatnya. Padahal, warisan budaya itu seharusnya menjadi tugas 
pemerintah untuk dilestarikan dan dikembangkan.


Bila ditilik lebih jauh, persoalan yang dihadapi Jawa Barat sangat 
banyak dan kompleks. Selama ini, masalah sampah masih menjadi salah 
satu problem utama yang belum tertangani secara baik. Jadi, alangkah 
lebih baik bila pemimpin di Jawa Barat membuktikan banyak kerja nyata 
dan merealisasikan janji kampanyenya terlebih dahulu daripada 
mengurusi masalah remeh temeh seperti ini.[L4]


Kirim email ke