http://cetak.kompas.com:80/read/xml/2009/02/10/00490679/kebijakan.afirmatif.bagi.perempuan

Selasa, 10 Februari 2009 | 00:49 WIB 
Kebijakan Afirmatif bagi Perempuan

Oleh Ani Soetjipto

Sungguh tajam dan pedas kritik Amich Alhumami dalam artikel "Mitos Kebijakan 
Afirmatif" (Kompas, 5/2).

Tulisan itu mengkritik gerakan perempuan Indonesia yang gigih memperjuangkan 
keterwakilan perempuan di parlemen pascakeputusan Mahkamah Konstitusi sebagai 
"tidak paham tentang konsep afirmatif dan terjebak mitos mengenai afirmasi 
sehingga gegabah menoleransi mereka yang tidak punya kapasitas dan hanya atas 
nama pertimbangan jender memaksakan untuk bisa menempati jabatan publik".

Tidak ada yang keliru dalam penjelasan Alhumami saat membahas sejarah lahirnya 
kebijakan afirmatif di Amerika Serikat yang dirancang untuk memperbaiki posisi 
serta kedudukan perempuan dan kelompok kulit berwarna akibat segregasi dan 
diskriminasi. Kebijakan afirmatif diperlukan untuk menghapus diskriminasi dan 
menyeimbangkan proporsi keterwakilan kelompok masyarakat di arena publik.

Yang tidak tepat adalah mengatakan, afirmatif harus dilakukan melalui prinsip 
equal opportunity. Artinya, hanya bisa diberikan kepada individu yang memiliki 
kualitas, kompetensi yang menjadi syarat mutlak untuk mendapat perlakuan khusus 
itu.

Menyesatkan

Prinsip equal opportunity sungguh menyesatkan jika digunakan sebagai basis 
pemberian tindakan khusus itu. Equal opportunity tidak melihat perbedaan 
kondisi antara laki-laki dan perempuan. Asumsinya, jika setiap laki-laki atau 
perempuan diberi kesamaan hak dan akses, otomatis kesetaraan tercapai.

Padahal, kategori laki-laki dan perempuan sebagai kelompok sosial tidak 
tunggal. Kebijakan afirmatif melihat realitas ini secara obyektif. Afirmatif 
untuk perempuan, artinya kita berhadapan dengan kategori perempuan yang beragam 
bersinggungan dengan banyak faktor, seperti strata sosial ekonomi, kelas, ras, 
kebangsaan, etnis, agama, dan lainnya.

Kategori kaum perempuan seperti inilah yang menyebabkan cara-cara penghapusan 
diskriminasi terhadap perempuan tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional 
melalui konsep equal opportunity. Dibutuhkan kebijakan afirmatif yang lebih 
sistematis, proaktif, progresif, dan ada kemauan politik kuat untuk 
melaksanakan sehingga diskriminasi berbasis jender bisa diatasi.

Kondisi diskriminasi jender di Indonesia juga bukan didasarkan mitos atau 
prasangka seperti dituduhkan. Kenyataan empiris memperlihatkan, terjadi gender 
gap amat tajam. Angka HDI, GDI, GEM, angka kematian ibu yang tinggi atau 
predikat negara pengirim tenaga kerja wanita tertinggi dengan perlindungan 
minim, sungguh bukan predikat membanggakan. Dalam hal keterwakilan perempuan di 
bidang politik, data juga menunjukkan gambaran memprihatinkan.

Tidak paralel

Pesan lain yang juga tidak akurat adalah pernyataan, afirmatif dan kuota tidak 
paralel. Kuota adalah salah satu mekanisme yang populer dan biasa digunakan 
dalam pelaksanaan kebijakan afirmatif. Cara ini efektif membuka pintu bagi 
lebih banyak perempuan untuk berpartisipasi di arena politik dan mempersempit 
gender gap dalam waktu singkat. Sebanyak 187 negara di dunia mempraktikkannya. 
Tidak ada yang salah jika Indonesia juga menggunakan mekanisme kuota sebagai 
salah satu cara pelaksanaan kebijakan afirmatif.

Upaya gerakan perempuan mendesakkan diadopsinya kebijakan afirmatif dalam UU 
Politik sejak 2002/2003 bertujuan bukan saja untuk mempersempit gender gap di 
institusi strategis pengambil kebijakan, tetapi sekaligus pintu masuk di mana 
representasi perempuan bisa dipakai sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih 
besar mengatasi berbagai masalah diskriminasi jender maupun masalah sosial lain 
yang masih terabaikan.

Di mana pun penerapan kebijakan afirmatif selalu menuai kontroversi dan 
tantangan. Masyarakat patriarkis selalu berprasangka, perempuan cenderung 
berkapasitas rendah, kurang kompeten, dan tidak bermutu. Dengan standar ganda 
selalu dipertanyakan kualitas perempuan yang akan menduduki jabatan publik, 
tetapi hal itu tidak pernah dipertanyakan kepada lelaki apakah mereka mempunyai 
kompetensi dan kapasitas yang baik.

Indonesia

Saat ini Indonesia baru bisa menghadirkan jumlah minim perempuan di parlemen. 
Dengan jumlah ini, sudah ada produk kebijakan yang hadir untuk perlindungan 
perempuan, juga pergeseran prioritas isu dan alokasi resources bagi kepentingan 
publik. Dalam jumlah minimal, perempuan cukup menunjukkan, mereka bukan 
medioker atau hadir demi mengisi kuota. Mereka adalah hasil seleksi dari proses 
internal parpol, berkompetisi dalam pemilu dan dipilih rakyat.

Pemilu adalah ajang kompetisi. Ajang kompetisi bisa dikatakan fair dan 
demokratis jika para pemain yang bertarung berangkat pada titik start yang 
sama. Kebijakan afirmatif sebelum dihancurkan keputusan MK sebenarnya bertujuan 
memberi ruang pelibatan perempuan lebih cepat dalam institusi politik, dengan 
tindakan khusus untuk mengejar start ketertinggalannya.

Kini yang dibutuhkan adalah ketegasan elite politik tertinggi serta konsensus 
di kalangan pemangku kepentingan terkait nasib afirmatif pascakeputusan MK. 
Tanpa itu, afirmatif hanya menjadi hiasan dan bahan kontroversi yang tak pernah 
usai.

Ani Soetjipto Pengajar di FISIP UI


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke