http://www.ambonekspres.com/index.php?act=news&newsid=25578

      Selasa, 10 Feb 2009, | 8 

      Dahlan Iskan
      Mengapa Banyak Koran Baru 
     
     
      Di zaman bikin surat kabar atau majalah tidak perlu izin apa pun seperti 
sekarang ini, apa sajakah motif seseorang menerbitkan surat kabar atau majalah? 
Coba kita inventarisasi kemungkinan-kemungkinan motif di baliknya:
      1. Idealisme (menegakkan keadilan, kebenaran, membela si lemah, 
menyuarakan kepentingan umum, menegakkan demokrasi, dan sebagainya).
      2. Bisnis (mengharapkan bisa menjadi lembaga bisnis, kecil maupun besar).
      3. Politik (sebagai alat membela dan memperjuangkan aliran politik).
      4. Agama (untuk menyiarkan ajaran agama).
      5. Kepentingan sesaat (ingin dekat penguasa atau ingin jadi penguasa, 
mulai bupati/wali kota, gubernur, dan seterusnya).
      6. Coba-coba.
      7. Digoda/''dihasut'' orang lain (terutama oleh para mantan wartawan).
      8. Menyalurkan hobi.
      9. Belum ada pekerjaan lain (umumnya dilakukan oleh anak orang kaya yang 
baru pulang sekolah dari luar negeri).

      10. Ngobyek (untuk mencari penghidupan kecil-kecilan dengan asumsi akan 
ada saja orang yang takut kepada pers dan karena itu bisa diminta/diperas 
uangnya. Termasuk di kelompok ini adalah pers sebagai alat untuk mencari 
proyek).

      Mungkin masih ada motif yang lain, namun mungkin hanya gabungan di antara 
yang 10 itu. Misalnya, gabungan antara idealisme dengan bisnis. Secara 
idealisme tercapai, secara bisnis juga amat menguntungkan. Atau idealisme 
dengan pemerasan. Idealisme penerbitnya adalah memberantas korupsi di muka bumi 
Indonesia, jalan yang ditempuh adalah memeras para koruptor.

      Tapi kalau saya amati, sumber terbesar yang menyebabkan munculnya banyak 
sekali surat kabar atau majalah baru adalah kalangan wartawan. Kira-kira bisa 
kita kelompokkan seperti ini:

      1. Wartawan idealis. Yakni wartawan yang merasa idealismenya tidak 
tersalurkan di surat kabar tempatnya bekerja. Dia atau mereka merasa policy 
surat kabar/majalah tempatnya bekerja terlalu komersial yang lebih mementingkan 
aspek bisnis. Atau pemilik surat kabar/majalah sering memanfaatkan korannya 
untuk mencari obyekan bisnis atau jabatan politik untuk keuntungan pribadi sang 
pemilik. Wartawan jenis ini, setelah merasa mendapat nama kemudian memilih 
keluar, menjadi investor atau mencari investor untuk mendirikan media baru.

      2. Wartawan yang merasa sudah pintar. Wartawan jenis ini merasa dirinya 
sudah sangat pintar melebihi si pemilik media tempatnya bekerja, atau melebihi 
pemimpin redaksinya. Dia merasa dirinya hebat sekali. Lalu merasa sudah 
semestinya menjadi pemimpin. Mereka lalu mencari-cari investor.

      3. Wartawan yang tidak puas karena sistem kerja dan sistem penggajian di 
tempat asalnya. Di antara mereka ada yang memang benar-benar diperlakukan tidak 
adil oleh perusahaannya. Tapi, ada juga yang sebenarnya dia sendiri saja yang 
merasa diperlakukan tidak adil. Tipe wartawan seperti ini umumnya berusaha 
pindah dulu ke media lain, tapi tidak jarang juga (karena media lain sudah 
penuh), langsung mencari investor untuk membuat media baru.

      4. Wartawan ingin maju. Yakni wartawan yang benar-benar memang ingin 
maju, dan merasa dirinya mampu. Lalu, setelah mendapat pengalaman cukup di 
tempatnya bekerja, dia mencoba membuat media sendiri.

      5. Wartawan yang pensiun. Setelah lama jadi wartawan, lalu pensiun, maka 
rasa rindunya akan dunia pers tidak akan tertanggungkan. Mereka ini juga merasa 
sangat mampu dan terutama merasa sangat berpengalaman. Mereka ini umumnya juga 
lantas mencari investor dengan mengandalkan pengalamannya itu.

      6. Wartawan yang di-PHK. Mereka ini jumlahnya tidak sedikit dan 
keinginannya untuk tetap bekerja di pers sangat besar. Maka mereka pun akan 
cari investor untuk membuat media sendiri.

      7. Calon wartawan yang sudah magang di media dan kemudian tidak bisa 
bekerja di media itu. Lalu mencari investor juga.

      8. Wartawan percobaan, yakni mereka yang mula-mula direkrut oleh sebuah 
media, tapi kemudian tidak lulus masa percobaan terakhir. Mereka ini telanjur 
merasa jadi wartawan dan merasa menjadi orang pers. Maka mereka ini juga bisa 
cari investor.

      Jadi, kalau selama ini banyak orang pers yang ngedumel mengapa begitu 
banyak orang yang tidak tahu pers tiba-tiba masuk ke bisnis pers, sebenarnya 
banyak di antara mereka sendiri mulanya tidak ada minat masuk ke pers sama 
sekali. Mereka umumnya ''hanya'' sumber berita yang pernah dikenal si wartawan, 
kemudian diincar untuk jadi investor. 

      Tentu si investor sendiri sebenarnya lebih banyak menjadi ''korban'' 
rayuan atau ''hasutan'' para wartawan di atas. Tentu ada juga beberapa di 
antaranya yang akhirnya menikmati sebutan sebagai orang pers atau raja pers. 
Bahkan, anak istri mereka yang semula tidak ada yang tahu apa itu pers, 
tiba-tiba menjadi pemimpin umum atau pemimpin redaksi.

      Mengapa banyak investor yang berhasil dirayu atau ''dihasut'' oleh para 
wartawan atau mantan wartawan?
      1. Umumnya mereka tidak tahu sama sekali realitas dunia pers. Mereka 
umumnya hanya pembaca koran yang di dalam benaknya sering mengagumi orang koran.

      2. Mereka punya uang atau punya aset (kantor/gedung/mesin/komputer) yang 
bisa dimanfaatkan sehingga kelihatannya hanya memanfaatkan aset yang sudah ada.

      3. Mereka umumnya merasa punya network yang akan bisa dimanfaatkan untuk 
mengembangkan koran/majalahnya.

      4. Mereka umumnya mengerti manajemen sehingga merasa kemampuan 
manajemennya akan cukup untuk mengatasi manajemen koran/majalah.

      5. Mereka umumnya hanya merasa lemah di redaksional dan kini bagian yang 
lemah itu sudah diisi oleh orang yang merayunya.

      6. Mereka tergiur oleh rayuan/"hasutan" dari para wartawan itu karena 
biasanya si wartawan membawa alasan yang sangat menarik.

      Alasan apa saja yang dipakai wartawan untuk merayu investor? 
      1. Koran/majalah adalah bisnis yang menarik, bisa untung secara cepat, 
bisa membuat investor terkenal, gengsi investor naik dan akan bisa dekat dengan 
orang-orang penting (tidak jarang si investor kemudian memang minta tolong si 
wartawan untuk mendekati pihak-pihak yang diincar).

      2. Akan mudah mencari pelanggan karena isinya akan dibuat sedemikian rupa 
menariknya (umumnya disertai dengan penilaian si wartawan akan jeleknya mutu 
jurnalistik koran-koran yang ada, terutama di tempatnya bekerja dulu).

      3. Akan mudah mencari iklan, karena iklan ini sangat menggiurkan. Lalu 
menyebut berapa penghasilan iklan koran seperti Kompas atau Jawa Pos. Si 
investor pun mulai mabuk dan membayangkan akan bisa mendapatkan sebagian dari 
kue besar itu.

      4. Perayu berjanji kerja sekeras-kerasnya. Mereka ini ada yang dulu 
memang pekerja keras, tapi ada juga yang dulu pun tidak pernah mau bekerja 
keras.

      5. Kalau si wartawan dulu bekerja di koran yang maju, dia akan mengatakan 
kepada investor bahwa dialah yang membuat koran itu dulu maju.

      6. Kalau si wartawan dari koran yang tidak maju, dia akan mengatakan 
kepada investor bahwa manajemennya tidak bagus dan selalu menolak ide-ide yang 
diperjuangkannya.

      7. Biasanya juga menawarkan tim yang sudah jadi dan dipromosikan sebagai 
tim yang kuat dan andal. Kalau tim itu dibentuk dari koran yang akan disaingi, 
akan disebutkanlah bahwa ''kita'' akan gampang merebut pasarnya karena tim 
andalannya sudah hilang.

      Banyaknya koran/majalah baru dalam kurun sembilan tahun terakhir ini 
adalah satu kenyataan yang sah. Namun, banyaknya koran/majalah baru tersebut 
juga akan membuat semakin banyak eks-wartawan. Artinya, juga akan semakin 
banyak memproduksi para perayu ulung. Dan akhirnya masih akan banyak sekali 
investor yang diincar. Memang banyak sekali investor yang sudah mulai 
''insaf'', tapi masih akan lebih banyak lagi investor yang menyediakan diri 
untuk ''tergoda''.

      Sebagai ketua umum SPS atau Serikat Penerbit Surat Kabar (Majalah) yang 
baru saja terpilih, saya lagi mikir-mikir: apakah apa pun motif surat 
kabar/majalah itu didirikan semua harus dibina? Mulai kongres yang akan datang, 
pemilik suara di kongres tidak lagi hanya pengurus cabang-cabang SPS. Pemilik 
suara di kongres adalah para penerbit itu semua! Dengan demikian, kongres SPS 
yang akan datang akan sangat seru! Pertengahan tahun ini SPS mengadakan jambore 
atau konvensi penerbit. Kalau seluruh penerbit, apa pun motifnya, hadir di 
jambore itu, begitu pulalah gambarannya Kongres SPS yang akan datang!  


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke