Tasawuf dan Akhlak

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri



Kalau kita memperhatikan sejarah, tampaklah bahwa kemunculan 'tren' tasawuf
selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah
terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat
dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli
ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli tengiknya perilaku.



Tasawuf, seperti bisa kita pahami dari ungkapan-ungkapan para tokohnya,
merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi
adalah membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka
adalah Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus
Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.


Kehidupan yang serba materi, keberagamaan yang serba daging, dan tata
pergaulan yang serba didasari kepentingan, ternyata telah membuat masyarakat
seperti sakit jiwa. Ketidaknalaran meruyak menghinggapi sektor-sektor
kehidupan hampir tanpa kecuali. Yang paling mencolok adalah ketidaknalaran
dalam kehidupan berpolitik. Maka, para pakar pun sibuk berdiskusi dan
melemparkan teori-teori reformasi dan perbaikan.


Lalu, apa yang ditawarkan tasawuf? Melihat kondisi yang seperti itu, tasawuf
menawarkan reformasi dan perbaikan mulai dari pondasi Akhlak. Perbaikan ala
tasawuf adalah perbaikan dari dalam diri. Sufi-sufi besar tidak hanya
melakukan-dan telah berhasil melakukan- perbaikan diri, tapi sebagaimana
dicontohkan pemimpin agung mereka Nabi Muhammad SAW, mereka juga berjuang
untuk membantu masyarakat dengan cara mendidik mereka dan melakukan kontrol
terhadap para penguasa.


Akhlak yang mulia, telah berhasil menorehkan catatan dengan tinta emas
pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah.
Umar sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil 'mereformasi' diri-nya
dengan meretas akar keburukan: menempatkan materi dan dunia di puncak
perhatian. Mendudukkan materi dan dunia di tempatnya yang sebenarnya adalah
yang pertama-tama diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah
sebelumnya ditempatkan di tempat yang terlalu tinggi dan penting.


Maka, tidak heran apabila ada yang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai
khalifah kelima dari Khulafa' Rasyidiin.


Tanpa menyebut nama tasawuf atau sufi sekali pun, kiranya kita bisa sepakat
bahwa akhlak atau budi pekerti merupakan jawaban paling asasi bagi
mereformasi diri dan negeri kita ini. Anda bayangkan saja, apabila para
pemimpin, petinggi, dan para politisi di negeri ini berakhlak mulia. Berbudi
luhur; jujur, berani mengaku salah, punya malu, tahu diri, berhati bersih,
rendah hati, penuh kasih sayang, dermawan, tidak culas, tidak serakah, tidak
hasud, tidak sombong; dst. Namun, bagaimana itu bisa menjadi kenyataan bila
mereka masih menganggap dunia ini sebagai tujuan hidup dan materi adalah hal
penting nomer wahid?



Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke