Tanggapan atas tulisan Judul : The Great Land Giveaway: Neo-Colonialism by Invitation Oleh : James Petras - Axis of Logic Tanggal : 30 November 2008, jam: 18.23 Sumber : http://axisoflogic.com/artman/publish/article_28905.shtml Judul Baru : Penyerobotan Tanah Secara Besar-besaran: Undangan Kepada Yang Terhormat Tuan Neo-kolonialis. Penterjemah : Hinu Endro Sayono Tanggal : 22 Desember 2008
Judul Tanggapan : Penguasaan Lahan Tak Terbatas: Matilah Kau Rakyat, Aku Bersyukur Kalau Kau Mampus. Penanggap : * Kanadianto Tanggal : 11 Maret 2009 Setelah mencermati tulisan diatas, baik naskah asli maupun terjemahannya, saya menyadari bahwa apa yang tertulis disana memang benar adanya dan saat ini semakin meluas. Dengan adanya krisis global yang terjadi saat ini bukan berarti kejayaan kelompok neo-kolonial telah berakhir. Salah, mereka hanya slow-down atau take a rest a while menunggu momentum lanjutan yang akan memakan korban rakyat kecil yang miskin dan makin termiskinkan oleh peraturan dan kebijakan pemerintah. Dalam tanggapan saya, saya hanya akan melihat dalam skop yang lebih kecil, yaitu skup dalam negeri Indonesia. Karena itu adalah negaraku, yang rakyatnya termiskinkan oleh neo-kolonial, bangsa sendiri, bangsa asing maupun bangsa asing keturunan. Mereka membentuk konglomerasi-konglomerasi (imperium) kekuasan atas tanah dan hasil buminya untuk kepentingan mereka dan negara asal mereka saja dan mengabaikan kepentingan rakyat dimana mereka berusaha. Imperium asing, setengah asing (asing keturunan) dan pribumi (bangsa sendiri) secara bersama-sama dan sendiri-sendiri berusaha melakukan penguasaan atas lahan rakyat secara perlahan tetapi paksa untuk melakukan usahanya tanpa pernah memikirkan kepentingan dan nasib rakyat kecil setempat. Rakyat hanya diberikan iming-iming pekerjaan tetapi nyatanya pekerjaan diberikan dengan perjanjian yang sangat memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Mereka, rakyat miskin yang lugu semakin termiskinkan. Sebuah skenario pemiskinan jangka panjang dan bertahap, sehingga akan melahirkan ketergantungan rakyat kepada kaum imperialis baru (neo-imperialis). Semakin miskin rakyat semakin baik bagi para imperialis baru tersebut. Neo-imperialis akan meneriakkan dalam hatinya; “Matilah kau rakyat, Aku bersyukur kalau kau mampus”, karena semakin sengasara rakyat maka semakin berkuasalah para neo-imperialis tersebut dan akan segera melahirkan Neo-kolonial. Kenyataan di lapangan memang begitu adanya, tetapi pemerintah tidak berusaha sedikitpun untuk rakyatnya. Alasannya klasik, Negara memerlukan dana pembangunan yang dikucurkan oleh negara donator, yang telah perjanjiannya selalu saja tidak berpihak kepada Indonesia. Bentuk bantuan dan perjanjian inikah yang diperlukan oleh negara ini? Sebenarnya tidak, karena rakyat tidak menghendakinya, yang menghendaki adalah para imperium lokal dan keturunan. Lantas dimana posisi rakyat yang katanya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat (demokrasi) melalui perwakilannya. Para wakil inilah yang kemudian mengambil keuntungan atas posisinya dan menjadi imperium kelas menengah atas atau lebih tepatnya sebenarnya mereka peran mereka adalah “perantara” antara neo-imperium dan rakyat yang seharusnya mereka bela tetapi demi status barunya maka keberpihakannya lebih kepada para neo-imperialis. Mari kita lihat pola pengembangan perumahan di kota-kota baru di seputar kota besar, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, Medan dan beberapa kota lainnya. Lahan-lahan produktif maupun tak produktif diubah fungsinya menjadi lahan perumahan tanpa memperdulikan fungsi ekonomis bagi rakyat kecil dan fungsi ekologisnya. Perumahan dan pertokoan dibangun, tenaga kasar (tingkat yang ter-rendah) dengan upah harian terkecil (jauh dibawah batas UMR setempat) tetapi dengan resiko PHK yang paling rentan. Setelah perumahan dan pertokoan berdiri maka tenaga setempatlah yang pertama kali berhenti bekerja. Mulailah terjadi pengangguran, kriminalitas meningkat. Mereka takkan mampu bersaing untuk memperoleh pekerjaan di pertokoan maupun perkantoran baru yang ada karena keterbatasan ilmu dan ketrampilan. Kembali mereka menjadi kelompok pekerja kelas paling bawah dan paling berresiko PHK terbesar. Yang pada akhirnya memaksa mereka menyingkir lebih jauh ke pelosok menjauhi kota yang berkembang. Beginikah model pembangunan yang diharapkan oleh rakyat? Yang pendanaannya dipinjam oleh Negara atas nama rakyat? Lalu siapa yang menikmati dan siapa yang tersingkirkan? Mari kita coba tengok pembangunan lahan-lahan perkebunan yang katanya untuk menambah devisa Negara demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Imperium asing didatangkan dengan membawa modal dengan alasan investasi tetapi nyatanya adalah penjajahan ekonomis oleh para neo-kolonial terhadap rakyat miskin. Berhektar-hektar lahan yang biasa digarap rakyat untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya digusur dengan dijanjikan sebagai karyawan tetapi kenyataannya bahwa mereka diterima bekerja pada posisi terrendah dengan gaji terrendah pula dan memiliki resiko PHK terbesar. Padahal selama ini meski mereka ekonomi kehidupannya sangat pas-pasan tetapi ada kemerdekaan atas pemilikan lahan garapan, tetapi sekarang kehidupan ekonomisnya sama (bahkan cenderung menurun) tetapi mereka tidak lagi memiliki lahan garapan. Artinya sebenarnya mereka bertambah miskin dan semakin tidak sejahtera dengan adanya investasi model seperti ini. Belum lagi korban-korban pembangunan yang dilakukan oleh kaum neo-kolonial ini yang memiliki dampak sosial, kesehatan, ekonomis dan pendidikan, seperti kasus di Sidoarjo. Kasus yang telah bertahun-tahun tanpa penyelesaian dari pemerintah yang berpihak kepada rakyat miskin. Mereka semakin menjadi miskin dari waktu ke waktu, baik miskin secara ekonomis, pendidikan, moral, kesehatan dan psikologis. Mereka adalah sebagian saja korban pembangunan yang tak sama sekali berpihak kepada rakyat, tetapi selalu saja usaha mereka untuk memperoleh kesejahteraannya kembali diganjar dengan tekanan secara langsung maupun tidak, dengan diberikannya janji-janji manis nan palsu yang selalu saja berpihak kepada para neo-kolonial yang terkait. Apakah hasil dari Tembaga Pura, Blok Cepu, Tambang emas di NTT, usaha retail dan super-market asing, eksplorasi laut dan masih banyak lagi, bagi rakyat Indonesia.? Adakah rakyat menjadi lebih sejahtera dengan adanya investasi tersebut? Haruskan investasi seperti ini dilanjutkan? Haruskah diperlukan investasi oleh para neo-kolonialis baru? Tidak adalah jawaban yang paling tepat. Siapakah sebenarnya yang memiliki kekayaan seluruh isi bumi nusantara ini? Rakyat atau para neo-kolonial? Jika rakyat kenapa rakyatnya miskin dan sengsara tetapi negaranya kaya makmur, sedangkan para neo-kolonial menjadi semakin kaya. Seharusnya kekayaan bumi nusantara ini adalah milik rakyat sepenuhnya yang pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat banyak. Jadi semua adalah milik semua untuk kepentingan semua secara bersama-sama dan merata. Sebenarnya ini adalah pengenjah-wantahan dari sikap dan karakter asli bangsa indonesia, yaitu ”Gotong-royong”, bukan karakter sosialis barat jika hendak dikatakan sosialis tetapi ”Sosio-Nasionalis”, atau ”Nasionalisme Pancasila”. Kemudian bagaimana dengan kelanjutan pembangunan yang diperlukan oleh bangsa ini? Adalah solusi lain yang lebih berpihak kepada rakyat miskin? Pasti ada, itulah jawaban yang tepat. Pertanyaannya adalah ”Apakah kita dan rakyat secara bersama-sama berani dan bisa untuk menyingkirkan para neo-kolonial tersebut”; ”Apakah kita, rakyat siap untuk miskin dan sengasara bersama-sama untuk menuju kesejahteraan bersama di kemudian hari” * Kanadianto - Caleg DPRD-PDIP 2009 - 2014 kab. Tangerang, no 8, dapil ciputat, ciputat timur & pamulang. ------------------------------------ AxisofLogic/ Critical AnalysisBron: axisoflogic.comThe Great Land Giveaway: Neo-Colonialism by Invitation Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ [Non-text portions of this message have been removed]