hmmm....rumit..rumit secara negara kita masih percaya dengan nilai selembar ijazah....
:putri --- On Wed, 3/11/09, Herni Sri Nurbayanti <nurbaya...@gmail.com> wrote: From: Herni Sri Nurbayanti <nurbaya...@gmail.com> Subject: [wanita-muslimah] Re: Alasan Homeschooling To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Date: Wednesday, March 11, 2009, 7:41 PM Itu terkait juga dengan sejarah profesional, terutama persoalan "pengakuan" kaitannya dengan kebutuhan adanya penghargaan terhadap profesi dan tanggung jawab profesi ke publik. Dilihat dari sejarahnya, kan gitu. Makanya perlu ada lembaga resmi yg menyatakan bahwa seseorang sudah lulus dari segi intelektualitasnya. Soal kontrol terhadap kualitas. Apalagi profesional yang pekerjaannya terkait atau bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan konstruk pemikiran yg spt ini, pengakuan dari lembaga yg dianggap berwenang atau punya otoritas utk itu jadi penting. Sekolah formal lebih dilihat karena dianggap lebih kredibel. Tapi tidak ada sistem yang sempurna. Sekolah formal terbukti belum tentu menghasilkan pemikir handal. Karena sekolah formal menciptakan relasi2 kekuasaan yg birokratis, kaku, dll yg membuat kreativitas orang tidak berkembang. Dosen pun, yg seharusnya menghasilkan karya intelektual dari lembaga yg seharusnya jadi mesin pengetahuan, belum tentu menghasilkan karya. Coba liat, berapa banyak dosen yg sudah menulis buku? Kalaupun ada yg menulis buku, liat kualitasnya. Apalagi dosen hukum, setengah lebih bukunya UU doang, kali :) dan isi bukunya cuma menjelaskan UU. (member WM yg dosen jgn tersinggung :D) Masalahnya kan soal pengakuan terhadap pemikiran2 yg muncul bukan dari jalur/institusi pendidikan formal. Gimana dia tercatat, diakui (shg bisa kredibel juga) dan disupport oleh negara, tapi tidak harus mengintegrasikannya menjadi bagian sistem pendidikan formal.. karena naturenya emang beda. Itu aja. Ini hampir sama (dlm konteks dan level yg beda) soal hukum adat dan hukum legal formalistik negara. Kalo homeschooling sih, mending gaya jaman dulu kaya di pelem2. Yg melakukan itu keluarga, orang tua, kakak, paman, dll. Kepercayaan jadi masalah yg sangat penting karena relasinya lebih personal dari sekolah formal. Atau setidaknya lewat seleksi yg sangat ketat dari keluarga. Idealnya sih disekolahkan di sekolah biasa, biar bergaul tapi komunikasi intensif dengan orang tua. Kalau kekecewaan thd sistem pendidikan formal, solusinya sih bangun sekolah2 alternatif yg lebih murah. Mungkin perlu juga dimasukkan dalam itungan, ttg sekolah2 gratis swadaya masyarakat. Ini yg juga perlu disupport. Kayanya member WM ada yg bergerak di bidang itu. Hery? Sekolah gratis kan gak hanya ada di kota2 besar yg tingkat kemiskinannya tinggi tapi juga di pedalaman. --- In wanita-muslimah@ yahoogroups. com, "Ari Condro" <masar...@.. .> wrote: > > Sejak dulu, saya curious : > > - apakah anak anak laskar pelangi seharusnya tidak perlu sekolah formal ? > Kenyataannya, lintang jadi juragan yg sukses, andrea yg terus lanjut > bersekolah formal, bahkan jadi arogan dgn mencampakkan flo yg berhasil > dikawininya, demi mengejar a ling, yg beragama lain, dan sebenarnya sudah > dilarang ayahandanya > > - harun yahya adalah pelajar mandiri. Dari jurusan ilmu filsafat, dia tumbuh > secara luar biasa menjadi pakai biologi dan sangat menguasai masalah evolusi. > Menjadi icon peradaban islam. > > Hal ini menunjukkan sekolah formal di bidang biologi, antropologi evolusi > secara formal sebenarnya tidak diperlukan. Bisa belajar sendiri secara > otodidak kok. > > > Dua contoh ini, mendukung pemikiran roem topattimasang/ paulo freire, bukan ? > > > salam, > > > > -----Original Message----- > From: izzuddin al qassam <wanitaacehtangguh@ ...> > > Date: Wed, 11 Mar 2009 03:56:28 > To: <wanita-muslimah@ yahoogroups. com> > Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Alasan Homeschooling > > > Pengangguran yang sampai detik ini menjadi persoalan yang tidak mampu > dicarikan solusinya oleh pemerintah akan terus berlanjut. Selama > sekolah didefinisikan secara kaku. Sekolah hanya didefinisikan sebagai > proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan > seperangkat aturan yang ketat dan kaku. > > > > Padahal, menurut Moh Asy'ari Muthhar, aktifis Pondok Budaya IKON > Surabaya, sekolah sebenarnya bisa dimaknai secara lebih luas sebagai > suatu proses belajar dalam kehidupan semesta ini. Sekolah adalah seluas > kehidupan itu sendiri. > > > Putri > sekolah itu bisa dimana aja kok ^_^ > ya kan eyang??? > > :putri > > --- On Tue, 3/10/09, eyang_mbelgedes <eyang_mbelgedes@ ...> wrote: > > From: eyang_mbelgedes <eyang_mbelgedes@ ...> > Subject: [wanita-muslimah] Re: Alasan Homeschooling > To: wanita-muslimah@ yahoogroups. com > Date: Tuesday, March 10, 2009, 3:02 AM > > > > > > > > > > > > > Kalau Karl Marx itu ngomongin 'agama'. Teman saya ini ngomongin > pendidikan: > > > > Sekolah Adalah Candu > > > > Sekolah Itu Candu /Roem Topatimasang /INSISTPress, Yogyakarta /I, Juli 2007, > 13x19cm, xx+178 hln /Rp. 27.500,- > > > > Sekolah Adalah Candu* > > > > Melalui karyanya yang terkenal Sekolah Itu Candu, Roem Topatimasang > mengatakan bahwa sekolah__sebagaiman a keberadaannya selama ini, tidak lagi > berguna. Sekolah hanya meracuni anak didik. > > > > Asumsi ini berangkat dari kemandulan sekolah berhadapan dengan realitas dalam > melahirkan solusi alternatif terhadap setiap problem sosial kehidupan yang > muncul. Tesis ini kemudian mendapatkan legitimasinya pada kenyataan tingkat > pengangguran yang sangat tinggi. > > > > Pengangguran yang sampai detik ini menjadi persoalan yang tidak mampu > dicarikan solusinya oleh pemerintah akan terus berlanjut. Selama sekolah > didefinisikan secara kaku. Sekolah hanya didefinisikan sebagai proses belajar > dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang > ketat dan kaku. > > > > Padahal, menurut Moh Asy'ari Muthhar, aktifis Pondok Budaya IKON Surabaya, > sekolah sebenarnya bisa dimaknai secara lebih luas sebagai suatu proses > belajar dalam kehidupan semesta ini. Sekolah adalah seluas kehidupan itu > sendiri. > > > > Lembaga pendidikan yang telanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi > pewarisan pelestarian nilai, akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan > dan melestarikan nilai-nilai 'resmi' yang sedang berlaku dan direstui, tentu > saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apa nilai-nilai resmi yang mesti > berlaku dan direstui. > > > > Dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya nation and > character building, nilai-nilai resmi itu wajib diajarkan di semua lembaga > pendidikan dengan satu penafsiran resmi yang seragam. > > > > Dari sinilah, selain indoktrinasi, muncul juga berbagai peraturan, dan > penyeragaman- penyeragaman, juga kultur semimiliter, seperti baris berbaris, > budaya komando, dan seterusnya. Di sisi lain, lembaga pendidikan formal > mayoritas juga telah menjadi kapitalistik. > > > > Di sini, ada proses elitisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi lembaga > pendidikan. Ini sudah sangat lazim dalam lembaga pendidikan di tanah air. > Pendidikan menjadi lembaga komersial, mewah, dan mengeluarkan banyak biaya, > akan tetapi hanya melahirkan generasi-generasi yang gamang dan gagap. > > > > Oleh: Rosi Sugiarto (Pondok TK Al Firdaus BSB Mijen Jatisari Semarang) > > > > Sumber: http://suarapembaca .detik.com/ read/2008/ 11/24/091825/ 1041694/471/ > sekolah-adalah- candu > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > [Non-text portions of this message have been removed]