Suara Merdeka 14 Maret 2009
Kegagalan Wajib Belajar Oleh Nurul Huda SA Benar secara nasional pencapaian telah berada dalam angka 96,18 persen tetapi jika dikuliti secara detail sesungguhnya masih jauh dari kenyataan. MENTERI Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara Rembuk Nasional Pendidikan, 21-25 Februari 2009 di Pusdiklat Pegawai Depdiknas Sawangan memaparkan berbagai kemajuan bidang pendidikan selama periode 2005-2008. Salah satu yang menarik ia berbicara tentang perluasan akses pendidikan dasar sembilan tahun yang mencapai 96,18 persen melampaui target nasional 95 persen yang ditargetkan tercapai pada 2010. Bambang menyebutkan, secara nasional program wajib belajar sembilan tahun telah tuntas 2008, dan akan dikejar sampai 98 persen pada 2009. Pernyataan ini harus dibaca secara lebih kritis. Benar secara nasional pencapaian telah berada dalam angka 96,18 persen tetapi jika dikuliti secara detail sesungguhnya masih jauh dari kenyataan. Dari data detail terakhir yang dikeluarkan Depdiknas (2007) dapat dilihat program wajib belajar sembilan tahun terjadi ketimpangan luar biasa di berbagai provinsi. Dari 33 provinsi di Indonesia yang mencapai angka 95 persen ke atas baru 13 provinsi dan 20 provinsi lain masih di bawah itu. Provinsi yang telah mencapai angka di atas 95 persen di antaranya DKI Jakarta (112,45 persen), Yogyakarta (111,7 persen), Bali (99,78 persen), Jawa Timur (99,74 persen), dan Nangroe Aceh Darussalam (99,45). Hanya tiga provinsi yang berada di tapal batas angka 90 persenan, yaitu Sulawesi Selatan (93,77 persen), Bengkulu (92,15) dan Lampung (91,64 persen). Sisanya, 17 provinsi pencapaiannya baru 60-80 persenan, seperti Nusa Tenggara Timur (69,78 persen), Papua (72,21 persen), Sulawesi Tengah (76,63 persen), Kalimantan Barat (76,88 persen), dan Gorontalo (77,74 persen). Data ini terbaca dengan sangat mudah bahwa disparitas program wajib belajar sembilan tahun begitu lebar antara provinsi satu dari yang lain. Hanya ada 13 provinsi yang telah mencapai angka 95 persen, dan 20 yang lain masih jauh dari angka tersebut, menjadi sulit di nalar bahwa wajib belajar sebilan tahun dikatakan telah tercapai. Revisi Program Program wajib belajar sembilan tahun oleh Orde Baru dimulai 1994 dengan target sepuluh tahun kemudian atau 2004 seluruh rakyat Indonesia minimal telah menikmati sekolah selama sembilan tahun tersebut. Krisis moneter hingga menular ke ekonomi, politik, sosial, dan budaya di Indonesia menjadi pengabsah mengapa program ini tidak tercapai tepat waktu. Pemerintah lalu merevisi program ini dengan target pencapaian minimal tiga tahun berikutnya akan selesai pada 2007. Kegagalan terus-menerus ini menurut Indra Jati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) karena pemerintah tidak memiliki political will untuk menuntaskan, sehingga sampai 2010 pun masih tanda tanya besar program wajib belajar sembilan tahun ini akan tercapai. Optimisme wajib belajar sembilan tahun sebetulnya tampak pada empat tahun pertama ketika program ini diluncurkan (1994-1997) ketika angka partisipasi mencapai 37,50 juta pada 1994 dan 1997 mencapai 39,01 juta. Sejak krisis 1998 angka ini terus merosot tajam. Data ini sejalan dengan terus menurun angka putus sekolah dari 855,8 ribu (SD) dan 454 ribu siswa (SMP) pada 1994, menjadi 833,4 ribu siswa (SD) dan 365,7 pada 1997. Sejak krisis 1998, angka putus sekolah membengkak menjadi 919,4 ribu siswa (SD) dan 643,4 ribu siswa (SMP), dari tahun ke tahun mengalami stagnasi. Kegagalan ini baru pada tataran paling sederhana, yaitu angka-angka partisipasi statistik (kuantitatif). Kegagalan lain akan tampak pada aspek proses dan hasil pendidikan. Sampai saat ini ukurannya masih pada hasil melalui ujian nasional (atau apa pun istilahnya) yang dijadikan penentu kelulusan. Kebijakan seperti ini mengesampingkan dinamika dan dialektika pada proses pembelajaran. Padahal pendidikan yang bermakna adalah yang mampu menghayati proses. Wajib belajar sembilan tahun semakin tampak bolong jika ukuran-ukuran kebermaknaan pendidikan (literacy) dalam hidup nyata diajukan. Karena jika mengabaikan hakikat dan kebermaknaan ini maka pendidikan menjadi program formalitas belaka. Hidup tidak bisa selesai hanya bila seseorang mampu melampaui proses pendidikan sepanjang sembilan tahun dalam hidupnya. Seseorang yang berpendidikan tidak cukup hanya mampu membaca, menulis dan berhitung tanpa memberikan makna dari ketiga ranah kemelekan tersebut. Alfabetisasi, demikian Paulo Freire menyebutnya, bukanlah langkah mekanis tetapi yang mampu mengubah kesadaran individu dari kenaifan ke kekritisan. Individu dikatakan telah terbebas dari buta aksara manakala mampu menjadi good man, yaitu melakukan analisis kritis terhadap segala informasi yang menjebak dan mengolahnya pada aspek kebudayaan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Daya intelektualitas hanya dapat memperjuangkan keberadilan bila dirajut dan dianyam secara kuat dengan kepekaan normatif (estetis, etis, sosial) melalui pengalaman-penghayatan hidup dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang sekeng. Wajib belajar sembilan tahun yang dirancang sebagai antisipasi atas globalisasi, agar bangsa Indonesia setara dengan penduduk bumi yang lain menjadi tampak sebagai kebijakan yang terlampau sederhana. Formalitas wajib belajar sembilan tahun jelas tidak mampu mengatasi tantangan zaman yang mengharuskan setiap individu untuk mampu mengemban tugas hidup yang multikompleks; untuk dapat hidup, mengembangkan kehidupan yang bermakna, dan turut memuliakan kehidupan. Mendongkrak Kasat mata pemerintah berusaha segera menyelesaikan target wajib belajar sembilan tahun melalui berbagai macam cara. Memperluas daya tampung sekolah; menyediakan guru yang lebih ideal; pengadaan buku; mendorong sekolah swasta; dan memperbesar anggaran adalah beberapa langkah umum yang sering kali diinformasikan kepada masyarakat luas. Tentu saja, pemerintah masih harus mengemban tugas yang tidak ringan, selain secara kuantitatif program ini masih jauh dari harapan, secara kualitatif jauh lebih berat lagi dalam menyiapkan masyarakat untuk dapat bersaing pada era multikompleks ke depan. Bagi Mendiknas, menuntaskan wajib belajar sembilan tahun di 13 provinsi telah dianggap sebagai keberhasilan. Tetapi di 20 provinsi lain terlunta dalam program wajib belajar sembilan tahun merupakan kegagalan yang harus dikatakan. -- Nurul Huda SA, anggota Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan Gratis Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan staf pengajar Fakultas Tarbiyah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Jawa Barat [Non-text portions of this message have been removed]