MENUJU ISLAM YANG AKOMODATIF 
TERHADAP NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Musdah Mulia


Islam membawa perubahan radikal demi memanusiakan manusia
Islam dalam arti formal agama mulai diperkenalkan pada abad ke-7 M oleh Nabi 
Muhammad saw. Islam datang dalam sebuah komunitas Arab yang begitu bobrok 
perilakunya sehingga disebut jahiliyah. Bentuk paling nyata dari kebobrokan 
mereka adalah perilaku tidak manusiawi terhadap kalangan tertindas 
(mustadh'afin), seperti perempuan. Mereka menegasikan nilai-nilai universal 
kemanusiaan sebagai terkandung dalam esensi agama berupa nilai-nilai keadilan, 
kejujuran, kedamaian, kesetaraan dan kebebasan. 
Masyarakat Arab jahiliyah terdiri dari banyak suku dan sering terjadi 
peperangan memperebutkan sumber-sumber alam demi kelangsungan hidup mereka. 
Kehidupan nomaden di alam tandus sangat bertumpu pada kekuatan otot dan fisik. 
Sementara perempuan selalu diklaim sebagai lemah dan rapuh sehingga tidak punya 
tempat dalam kehidupan suku. 

Keterpurukan perempuan di era jahiliyah terlihat jelas dalam tradisi waris, 
mahar, perbudakan dan poligami. Perempuan tidak berhak menerima waris, malah 
tubuhnya dianggap bagian dari harta warisan. Jika seorang suami meninggal, 
isteri menjadi barang warisan. Selanjutnya, mahar dianggap sebagai harga 
penjualan tubuh perempuan, sebab perkawinan intinya hanyalah barter atau 
transaksi jual-beli. Mahar adalah hak milik orang tua atau para wali. Wujud 
mahar tidak seperti dalam perkawinan di Indonesia, terdiri seperangkat alat 
salat atau sejumlah gram emas. Mahar selalu berbentuk harta bernilai, seperti 
rumah dan seisinya sehingga dapat dijadikan modal sosial. Mahar tidak diberikan 
kepada perempuan karena asumsinya perempuan bukanlah manusia utuh seperti 
laki-laki yang memiliki hak properti. Demikian halnya poligami, dipandang wajar 
dan alami seperti perbudakan. Laki-laki mengawini perempuan kapan saja, dan di 
mana saja tanpa batasan jumlah dan tanpa syarat keadilan apa pun. Tidak heran, 
seorang laki-laki dapat memiliki istri sebanyak-banyaknya. Bukan hanya itu, 
mereka pun masih boleh mengambil perempuan lain sesukanya untuk dijadikan 
gundik. Laki-laki dapat menggauli budak perempuan sesuka hati karena mereka 
tidak dianggap manusia. Ringkasnya, masyarakat jahiliyah tidak mengenal etika 
penghargaan terhadap perempuan dan menafikan nilai-nilai universal kemanusiaan. 
Jauh sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad telah dianugerahi empati dan 
kesadaran kemanusiaan yang tinggi sehingga dia menjadi sangat prihatin terhadap 
lingkungan jahiliyahnya. Nabi sadar, kebobrokan masyarakat harus diperbaiki. 
Harus ada upaya perubahan. Masyarakat jahiliyah harus diubah menjadi masyarakat 
madani, beradab, menjunjung tinggi kemanusiaan, prinsip-prinsip kesetaraan dan 
kebebasan. Karena itu, berbeda dengan pemuda di masanya, Muhammad menolak 
kehidupan jahiliyah dengan banyak merenung dan mengurung diri di gua Hiraa, 
sebuah tempat sepi di Jabal Nur lokasinya sekitar 6 km sebelah utara Mekkah. 
Kebiasaan Nabi berkontempelasi di gua Hiraa berlangsung sampai turun wahyu. 
Kegelisahan dan keprihatinannya selama ini terjawab sudah. Ayat-ayat pertama 
secara tegas memberikan pedoman bagaimana membebaskan manusia dari belenggu 
tiranik dan despotik, membersihkan aqidah jahiliyah dan mengisinya dengan 
aqidah tauhid sebagai inti Islam.

Esensi tauhid adalah memanusiakan manusia. Tauhid mengajarkan agar manusia 
dibebaskan dari semua belenggu yang menistakan derajat, martabat dan kehormatan 
dirinya sebagai makhluk Tuhan paling mulia. Manusia harus dibebaskan dari semua 
bentuk dominasi, diskriminasi, dan eksploitasi untuk alasan apa pun. Tauhid 
mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, mengajak 
mereka: laki-laki dan perempuan berjuang menjadi khalifah fi al-ardh agar dapat 
mengelola kehidupan damai di bumi sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua 
makhluk. 
Fakta sejarah menjelaskan, perempuan adalah kelompok paling diuntungkan oleh 
kehadiran Islam. Islam merayakan kehadiran bayi perempuan melalui acara aqiqah, 
padahal tradisi Arab memandang aib kelahirannya. Islam menetapkan perempuan 
sebagai subyek pemilik hak waris di saat masyarakat memperlakukannya sebagai 
obyek warisan. Mahar menjadi hak mutlak perempuan, sebelumnya merupakan 
monopoli para wali yang notabene laki-laki. Nabi pun menggugat praktek poligami 
jahiliyah yang menempatkan perempuan sebagai obyek seksual dengan mencontohkan 
perkawinan monogami yang damai penuh kebahagiaan. Bahkan, sebagai ayah, Nabi 
secara terang-terangan menunjukkan sikap marah dan tidak setuju ketika anak 
perempuannya, Fatimah akan dipoligami. Lebih dahsyat lagi, Nabi mengangkat 
perempuan menjadi imam shalat ketika masyarakat memandang jabatan sakral itu 
hanya untuk laki-laki. Nabi justru mempromosikan posisi ibu tiga kali lebih 
tinggi dan lebih mulia dari ayah ketika masyarakat melihat ibu hanyalah mesin 
reproduksi. Nabi menempatkan isteri sebagai mitra sejajar di saat masyarakat 
memperlakukan mereka sebagai pelayan belaka.

Fakta-fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Nabi 
melakukan perubahan sangat radikal : dari masyarakat jahiliyah menjadi 
masyarakat madani dengan memberdayakan kelompok marjinal, khususnya perempuan 
dan kaum budak. Nabi mengubah kedudukan perempuan dari posisi sebagai obyek 
yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. 
Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. 
Tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali prestasi takwanya, dan soal takwa 
Allah semata berhak menilai. Tugas manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat, 
yaitu berkompetisi berbuat kebajikan. 
Perjuangan Nabi di masa awal Islam melahirkan figur-figur perempuan dinamis, 
aktif, sopan, dan memiliki empati kemanusiaan yang tinggi. Al-Qur`an pun 
melukiskan figur ideal seorang muslimah sebagai pribadi memiliki kemandirian 
dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan harus mandiri dalam kehidupan 
politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis, pemimpin kerajaan 
superpower ('arsyun 'azhim) Al-Qur'an mengizinkan perempuan melakukan 
perlawanan terhadap pemerintah tirani. Perempuan harus mandiri dalam kehidupan 
ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi), seperti figur perempuan pengelola 
peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan. Perempuan harus mandiri dalam 
menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi), sekalipun berbeda dengan 
pandangan suami atau menentang pendapat publik (public opinion). Hasilnya, pada 
masa Nabi tercatat sederetan tokoh perempuan memiliki kemampuan dan prestasi 
cemerlang. Dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dengan leluasa dapat berkiprah 
pada semua sektor kehidupan di masyarakat tanpa hambatan sedikit pun. 

Islam mengalami distorsi dan kembali mengadopsi tradisi jahiliyah
Setelah masa Nabi, Islam mengalami distorsi dan kembali mengadopsi tradisi 
jahiliyah. Akbatnya, wajah Islam dalam kehidupan sosial telah berubah menjadi 
sangat tidak simpatik. Wajah Islam identik dengan budaya patriarki, penuh 
pemaksaan dan kekerasan. Islam menjadi tidak bersahabat terhadap kelompok lain, 
demikian juga terhadap perempuan, padahal perempuan dengan sifat feminitasnya 
sangat berpeluang memahami dan mengamalkan Islam dengan baik. 
Gambaran ideal kehidupan perempuan di masa Nabi tinggal kenangan. Di berbagai 
dunia Muslim tidak banyak perempuan berkiprah di area publik, terutama di 
bidang politik. Umat Islam kembali mengadopsi tradisi jahiliyah yang dulu 
diberangus habis oleh Nabi. Tidak heran, jika posisi perempuan dalam Islam 
menjadi sangat marginal dan tersubordinasi. Hal itu terlihat jelas dalam 
berbagai formulasi hukum Islam, khususnya tentang perkawinan dan kewarisan 
seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bahkan, distorsi terjadi juga dalam 
sejumlah perundang-undangan lain, seperti UU Pornografi yang mengkriminalkan 
tubuh perempuan dan memandangnya sebagai sumber fitnah; UU Kesehatan yang 
menafikan kepemilikan perempuan akan rahimnya dan melarang aborsi walau untuk 
keselamatan hidup sang ibu; dan UU Ketenagakerjaan yang melihat pekerja 
perempuan bukan sebagai pekerja utama, melainkan sebatas pendamping atau 
pelengkap.
Realitas sosiologis di masyarakat memaparkan secara konkret bahwa atas nama 
Islam, perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh sehingga mereka tidak berhak 
merepresentasikani dirinya sendiri dalam akad nikah, tidak berhak menjadi wali 
dan saksi perkawinan, meski terhadap anak kandung yang dibesarkan sendiri 
dengan penuh duka lara. Atas nama Islam, perempuan disubordinasikan dan 
dipinggirkan sehingga tidak pantas menjadi pemimpin walau terhadap dirinya 
sekalipun. Atas dalih agama, perempuan dipandang makhluk kotor sehingga tidak 
punya akses menjadi pemimpin ritual dan harus dienyahkan dari rumah ibadah 
ketika menstruasi. Atas titah agama, perempuan dipojokkan sebagai makhluk 
domestik, hanya berkutat seputar sumur, kasur dan dapur. Perempuan tidak berhak 
mendapat pendidikan tinggi, tidak boleh berkarir dan beraktivitas di luar 
rumah, dan harus menjadi penyangga moral demi kebaikan masyarakat. Atas kuasa 
agama, perempuan dinistakan sebagai obyek seksual, dipaksa memuaskan birahi 
suami sebagai jaminan masuk sorga. Sorga pun ternyata bukan tempat yang 
memenuhi fantasi perempuan karena selalu didefinisikan sebagai taman penuh 
bidadari -yang notabene tidak menarik bagi perempuan- kecuali perempuan dengan 
orientasi seks sejenis. 

Munculnya Kesadaran Feminisme
Memasuki abad ke-20 kesadaran global tentang perlunya perlindungan terhadap 
hak-hak asasi manusia dan menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan 
(human centred development) tampak semakin jelas. Kesadaran global akan 
pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa 
membedakan jenis kelamin, warna kulit, gender, ras dan suku bangsa semakin 
menguat. Kesadaran ini mempengaruhi para pemikir Islam di berbagai negara untuk 
melakukan upaya-upaya reinterpretasi sehingga akomodatif terhadap nilai-nilai 
kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Di antara mereka adalah Rifa`ah Rafi 
al-Tahtawi (1801-1873), Qasim Amin (1865-1908), Muhammad Abduh (1849-1905), dan 
Tahir al-Haddad (1899-1935). 
Dimulai dengan Rifa`ah Rafi al-Tahtawi (1801-1873). Beliau seorang pemikir 
reformis asal Mesir, dan tokoh Muslim pertama menulis tentang status perempuan 
dalam buku berjudul: Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz, terbit di Kairo tahun 
1843. Buku itu mengulas kehidupan perempuan di Paris. Al-Tahtawi memuji 
kebebasan beropini dan bertindak yang dinikmati perempuan Perancis dan berharap 
agar perempuan Mesir juga mendapatkan kebebasan serupa melalui pendidikan 
sebagai prioritas utama dan pemberian akses lapangan kerja. 
Senada dengan Al-Tahtawi, Qasim Amin (1865-1908) juga seorang pemikir reformis 
asal Mesir menyerukan perlunya pembebasan perempuan sebagaimana tertuang dalam 
dua bukunya yang sangat kontroversial: Al-Mar`ah al-Jadidah dan Tahrir 
al-Mar`ah. Menurutnya, suatu bangsa tidak mungkin maju dan berkembang dengan 
baik manakala perempuan -yang notabene merupakan setengah dari populasi 
penduduk- tidak berdaya. Para isteri selama ini menurutnya, hanya dipakai 
sebagai objek seksual. Laki-laki memerlukan mereka hanya kalau dibutuhkan dan 
setelah itu dicampakkan. Perempuan harus diberdayakan melalui pendidikan, 
pembebasan dari jilbab dan hijab, dan penghapusan poligami. Lebih lanjut ia 
menjelaskan, Al-Qur'an memberikan posisi tinggi kepada perempuan, namun tradisi 
dari luar Islam menjadi salah satu faktor penyebab perempuan Islam 
terkebelakang dan terpuruk. Bahkan menurutnya, umat Islam mundur karena separoh 
dari umatnya, yakni kaum perempuan mengalami kemunduran. Untuk memajukan umat 
Islam tidak ada pilihan lain kecuali membebaskan perempuan dari keterbelakangan 
dan ketertindasan. Sementara itu, Muhammad Abduh (1849-1905) menambahkan, jika 
perempuan memiliki kelebihan, misalnya mempunyai kualitas menjadi pemimpin atau 
pembuat keputusan, maka keunggulan laki-laki tak berlaku lagi. Selanjutnya, 
reformis asal Mesir ini juga secara tegas menjelaskan, penyebab terjadinya 
fitnah dan kekacauan dalam masyarakat adalah karena laki-laki suka mengumbar 
hawa nafsunya. 
Pemikir reformis lain yang tidak kurang pentingnya, Tahir al-Haddad 
(1899-1935), reformis asal Tunisia secara tegas mendobrak keterbelakangan 
perempuan Tunisia dan menganjurkan reformasi total. Menurutnya, perempuan harus 
mendapatkan hak pendidikan setara dengan laki-laki. Perempuan harus diberi 
kesempatan bekerja di ruang publik. Selain itu, untuk mengangkat harkat dan 
derajat kaum perempuan maka talak sepihak dari suami harus dihapuskan, demikian 
juga poligami karena jelas merupakan bentuk ketidaksetaraan gender. Pemikiran 
reformasi al-Haddad menghasilkan amandemen terhadap undang-undang perkawinan 
yang protektif terhadap perempuan. Salah satu pasal penting adalah tentang 
larangan poligami secara mutlak. Pasal 18: "bahwa beristeri lebih dari satu 
dilarang. Siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar 
berakhir, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 
240.000 malim atau penjara dan denda sekaligus." 

Sayangnya, kemunculan para feminis dan pemikir pembaharu di berbagai wilayah 
Islam tidak serta merta mengubah posisi perempuan Muslim. Sebab, pemikiran dan 
gerakan mereka belum menjadi arus utama (mainstream). Di berbagai negara Islam 
tetap saja muncul kebijakan baru yang tidak memihak demokrasi dan pluralisme, 
mengukuhkan subordinasi perempuan dan mengucilkan mereka di area publik. 
Sebagai contoh, Komite Penafsiran dan Legislasi Al-Qur'an di negara Kuwait pada 
1985 mengeluarkan sebuah fatwa, perempuan tidak memiliki hak politik untuk 
memilih wakil-wakil mereka di parlemen. Alasannya, proses pemilihan dan hak 
memilih diperuntukkan semata-mata untuk kaum laki-laki. Perempuan cukup 
memberikan suara dan aspirasinya melalui keluarga mereka yang laki-laki: para 
ayah, suami, dan saudara laki-laki. Alasan lain bahwa Islam tidak membolehkan 
perempuan meninggalkan tugas-tugas utama mereka sebagai seorang ibu, yaitu 
hamil dan mengasuh anak. Memprihatinkan bahwa fatwa serupa juga bermunculan di 
Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan telah dilegalkan dalam bentuk undang-undang, 
seperti UU Pornografi, Perda Larangan Keluar Malam dan Pemaksaan Jilbab. 

Pembaruan Penafsiran: Suatu Keniscayaan
Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan penafsiran dan 
pemahaman terhadap Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah 
Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Hadis Muaz ibn Jabal mengindikasikan 
kebutuhan itu dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan 
mengenai pentingnya pembaruan ini adalah: "innallaha yab`atsu ala kulli ra`tsi 
miati tsanah man yujaddidu laha dinaha" (Sesungguhnya Allah akan mengutus 
setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). 
Al-Qur'an dan sunnah sebagai sumber utama Islam meski mempunyai aturan hukum, 
namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan 
sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum. Oleh karena itu, pembaruan 
penafsiran merupakan keniscayaan. Pembaruan penafsiran harus tetap mengacu 
kepada sumber-sumber Islam utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Hanya saja 
pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan 
literal teks, melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual 
teks dengan mengacu kepada tujuan hakiki syariat (maqashid al-syari`ah). Tujuan 
syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-`adl), 
kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan 
(al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta`addudiyah), dan hak 
asasi manusia (al-huquq al-insaniyah).
Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12 (w. 1111) merumuskan nilai-nilai maqashid 
al-syari`ah ke dalam lima prinsip dasar hak asasi manusia (al-huquq 
al-khamsah). Kelima hak asasi dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini 
dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak reproduksi. 
Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat 
manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. 
Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan 
ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat 
universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah 
yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh 
kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan 
kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk 
hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat tentang perkawinan, 
waris, aborsi, kemiskinan dan transaksi sosial. Sayangnya umat Islam lebih 
banyak terjebak pada implementasi ayat-ayat partikular secara sempit dan kaku, 
serta mengabaikan ayat-ayat universal. Tidak heran jika penampilan umat Islam 
sering terkesan sangar, eksklusif, dan tidak ramah, terutama kepada perempuan 
sebagaimana digambarkan secara apik dan indah dalam puisi Gadis Arivia pada 
buku ini.

Sebagai penutup, mari cermati pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqh 
dari Mazhab Hanbali, bahwa Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk 
kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti 
kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah 
yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi 
bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti 
menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri. Pernyataan tegas serupa 
dilontarkan oleh Ibnu Rusyd bahwa kemashlahatan manusia merupakan akar dari 
berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan. Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai 
kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk 
memenuhi kemaslahatan manusia. Jadi, syariat Islam bukan untuk membelenggu dan 
menyengsarakan manusia. Wallahu a'lam bi as-shawab.


Jakarta, 1 Februari 2008




Kirim email ke