Info dari Adindatitiana :
 
Oleh: Farid Muttaqin
Koordinator Program PUAN Amal Hayati, Ciganjur, Jakarta

Salah satu tugas terberat gerakan perempuan kita, khususnya yang berbasis 
Islam, adalah meruntuhkan tradisi ......... yang berkembang di kalangan kiai. 
 
--
 
ko_jano :
 
Tolong Adindatitiana jelaskan apakah hal tersebut bertentangan atau tidak 
dengan HAM dibawah ini ?
 
Universal Declaration of Human Rights
 
Article 16.

(1) Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality 
or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled 
to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. 
(2) Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the 
intending spouses. 
(3) The family is the natural and fundamental group unit of society and is 
entitled to protection by society and the State.
 
Article 18.

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion.....
 
Pertanyaan kedua, gerakan tersebut merupakan gerakan dari kelompok non Islam 
atau bukan ?, apakah hal tersebut tidak memecah belah persatuan bangsa 
Indonesia yang telah terbina antara umat Islam dan umat non Islama selama ini ?
 
Pertanyaan ketiga, PSK itu merupakan bentuk poliandri bukan ?, kalau hal 
tersebut merupakan bentuk poliandri lalu pendapat Adinda bagaimana ?
 
Pertanyaan keempat, bagaimana perasaan anda seandainya agama dan keyakinan anda 
diganggu gugat oleh penganut agama lain ?
 
Silahkan Adinda menjawab dengan jelas dan benar.
 
Salam
 
Note:
Sangat disayangkan sekali dimana pemerintah Amerikan sekarang bergerak 
mendekatkan diri untuk merangkul Islam tapi didalam negeri malah 
paradigma-paradigma lama dimunculkan lagi.
 
-o0o- 


--- On Fri, 27/3/09, adindatitiana <adindatiti...@yahoo.com> wrote:


From: adindatitiana <adindatiti...@yahoo.com>
Subject: [wanita-muslimah] Meruntuhkan tradisi poligami kiai
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Friday, 27 March, 2009, 5:37 AM






Meruntuhkan tradisi poligami kiai

Oleh: Farid Muttaqin
Koordinator Program PUAN Amal Hayati, Ciganjur, Jakarta

Salah satu tugas terberat gerakan perempuan kita, khususnya yang berbasis 
Islam, adalah meruntuhkan tradisi poligami yang berkembang di kalangan kiai. 
Basis pandangan sosial-keagamaan yang menjadi dasar tradisi ini sudah terbangun 
sangat kuat hingga sulit direkonstruksi. Apalagi dalam tradisi taklid terhadap 
"tokoh" yang masih berkembang kuat dalam masyarakat kita, yang tidak jarang 
dianut secara irasional, poligami para kiai justru diakui sebagai kebenaran 
yang layak diteladankan, lalu ditiru, tanpa melihat secara kritis bahwa 
tindakan tersebut rentan menimbulkan kekerasan dan ketidakadilan. Bahkan upaya 
kritis terhadap tindakan kiai tersebut tidak jarang dinilai sebagai hujatan 
yang tidak sopan terhadap sang tokoh, sehingga harus ditentang.

Tulisan ini mempunyai dua tujuan utama yang berkaitan. Pertama, mencoba 
memperkuat basis gerakan antipoligami dengan menawarkan upaya untuk mengatasi 
hambatan yang ditimbulkan oleh masih kuatnya tradisi poligami di kalangan kiai. 
Dalam hal ini, tulisan ini lebih terfokus pada sosok kiai sebagai "pemangku" 
tradisi poligami di kalangan masyarakat Islam yang sulit diruntuhkan, bukan 
pada diskursus tafsir agama tentang persoalan ini.

Kedua, mencoba mendudukkan kiai pada porsi kemanusiaannya yang tidak terlepas 
dari kekeliruan dan kealpaan, meskipun kecenderungannya untuk berbuat kebenaran 
bisa jadi lebih kuat. Kita harus dapat membedakan sikap kritis atas tindakan 
(yang mungkin) keliru yang dilakukan kiai berkaitan dengan poligami, dengan 
sikap tidak sopan dan hujatan terhadap mereka. Sikap kritis sama sekali bukan 
hujatan, melainkan jalan untuk membangun kesepahaman bersama menuju kebenaran 
melalui tindakan saling menasihati. Tujuan tersebut dipenuhi dengan 
menganalisis dua persoalan mendasar, yaitu gambaran keharmonisan keluarga 
poligami kiai, dan fanatisme terhadap kiai yang sering menutup penilaian 
rasional terhadap tindakan mereka.

Salah satu hal yang sering menjadi alasan bahwa poligami yang dilakukan kiai 
tidak menimbulkan persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah adanya 
kenyataan kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis tanpa konflik. 
Gambaran yang sering diungkapkan masyarakat yang meneladankan poligami kiai 
menyebutkan bahwa dalam keluarga poligami kiai, para istri justru membantu satu 
sama lain dan bertindak sesuai dengan peran masing-masing tanpa rasa iri 
terhadap yang lainnya. Mereka saling asah, asih, dan asuh satu sama lain. 
Tujuan keadilan yang dituntut dalam poligami sama sekali tidak menjadi 
persoalan rumit bagi para kiai. Dalam kondisi yang akur seperti itu, bagaimana 
bisa muncul persoalan kekerasan terhadap perempuan?

Kita harus menyadari bahwa tindakan poligami merupakan ekspresi dominasi 
laki-laki terhadap perempuan pada satu sisi dan ketidakberdayaan perempuan pada 
sisi yang lain. Inilah ketimpangan gender yang terjadi pada hampir semua sisi 
kehidupan manusia saat ini. Dalam ketimpangan gender, perempuan yang tidak 
berdaya akan kesulitan untuk menentukan pilihan yang sesuai dengan 
keinginannya. Ketidakberdayaan tidak hanya secara sosial-ekonomi, tapi juga 
dari segi kesadaran terkait dengan keberanian untuk menentukan pilihan yang 
diinginkannya.

Sebaliknya, bagi laki-laki, posisinya yang dominan--baik dengan legitimasi 
sebagai tokoh agama, kedekatan dengan Tuhan, maupun keluhuran ilmu dan 
budinya--akan dengan mudah "menaklukkan" kaum perempuan agar tunduk pada 
pilihan yang sudah disediakannya. Karena itu, gambaran keharmonisan keluarga 
poligami kiai dapat dianalisis secara kritis dengan dasar argumentasi pemikiran 
ini, sehingga diperoleh kesimpulan apakah keharmonisan tersebut sejati atau 
hanya semu belaka. Dan sekali lagi, dengan dasar pemikiran di atas, kita akan 
cenderung membuat kesimpulan bahwa poligami, siapa pun yang melakukannya, lebih 
potensial menghadirkan ketidakadilan dan kekerasan atau, minimalnya, 
melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan.

Meski demikian, kita juga perlu menyadari bahwa ada banyak perempuan yang 
(mungkin) tidak berdaya, memilih rela, bahkan merasa bangga, untuk hidup dalam 
keluarga poligami bersama kiai sebagai keyakinan religius untuk meraih jalan 
instan menuju kebahagiaan ukhrawi. Kaum perempuan tersebut mempunyai hak untuk 
memilih jalan itu, tapi mereka juga mempunyai hak untuk mengetahui dan 
menyadari bahwa dalam kehidupan poligami sangat rentan muncul kekerasan 
terhadap perempuan.

Di luar kerangka pemikiran di atas, yang lebih sulit adalah ketika kita 
berhadapan dengan pandangan yang mengabsolutkan ketokohan kiai. Pandangan 
fanatis ini menganggap segala hal yang dilakukan kiai benar dan harus 
diteladankan, termasuk poligami. Maka tidak sedikit masyarakat yang mendukung 
poligami kiai, termasuk dengan "menawarkan" anak perempuan mereka.

Kita bisa memanfaatkan salah satu adagium yang sangat populer dalam tradisi 
Islam, yaitu "Lihatlah apa yang diucapkan seseorang, jangan melihat siapa yang 
mengucapkannya (undzur ma qala wa la tandzur man qala)". Adagium yang tampak 
sederhana ini, meski sudah sangat populer, belum menjadi semangat umum 
masyarakat Islam kita. Fanatisme tokoh secara subyektif, sekali lagi, menjadi 
hal lumrah dalam kehidupan keagamaan kita, tak terkecuali berkaitan dengan 
poligami yang dilakukan para kiai.

Adagium di atas mengindikasikan bahwa siapa pun memiliki kesempatan untuk 
berbuat salah dan benar. Ketokohan tidak menjamin seseorang selalu berbuat 
salah atau selalu berbuat benar. Kadang kita menemukan tindakan yang benar dari 
mereka yang sering kita anggap berlumur kesalahan. Sebaliknya, kita juga harus 
menyadari bahwa seseorang yang kita anggap selalu melakukan tindak kebenaran 
tidak terlepas untuk melakukan kesalahan. Karena itu, keteladanan bukan atas 
dasar ketokohan yang fanatis, melainkan atas dasar penilaian kita terhadap 
tindakan yang dilakukan oleh tokoh itu.

Jika kita menyadari bahwa kehidupan pernikahan poligami didasari dominasi 
laki-laki atas perempuan, secara rasional kita bisa "mengabaikan" perlunya 
meneladankan kiai ketika mereka melakukan poligami, dan inilah hukuman minimal 
buat tindakan poligami mereka. Sementara itu, kita tetap bisa meneladankan para 
kiai pada sisi kesalehannya, keluhuran dan kedalaman ilmunya, keagungan 
akhlaknya, kedekatan dengan Tuhannya, dan sebagainya.

(http://wap.korantem po.com/view_ details.php? idedisi=2043& idcategory= 
14&idkoran= 61719&y=2006& m=01&d=24)

















      Get your new Email address!
Grab the Email name you&#39;ve always wanted before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke