NINOK LEKSONO

”Hanya ilmu pengetahuan sajalah yang dapat memecahkan masalah-masalah
kelaparan dan kemiskinan, insanitasi dan buta aksara, takhayul dan hilangnya
adat istiadat, habisnya sumber daya, atau sebuah negeri kaya yang didiami oleh
penduduk miskin…. Siapakah sesungguhnya yang sanggup mengabaikan iptek sekarang
ini? Pada setiap kesempatan kita pasti membutuhkan bantuannya.... Masa depan
ditentukan oleh iptek dan orang-orang yang bersahabat dengannya.

(Jawaharlal Nehru, dikutip dari ”India Perspectives”, 8/2008)

Politik ternyata juga kemauan. Semasa memerintah, Presiden George W Bush
banyak memveto isu lingkungan. Misalnya, Protokol Kyoto tidak mau ia tanda
tangani. Lalu, ketika Negara Bagian California minta persetujuan untuk
menetapkan sendiri aturan mengenai emisi gas rumah kaca dari mobil dan truk,
Bush menolak. Kini, setelah menjadi presiden, Barack Obama meninggalkan
pendekatan pasif Bush terhadap lingkungan. Menanggapi permintaan California, 
Obama,
26 Januari lalu, segera memanggil Badan Perlindungan Lingkungan untuk
mempertimbangkan permintaan tersebut.

Kalau saja California mendapat persetujuan dari Obama, akan ada 13 negara
bagian, dan diyakini akan bertambah lagi, yang akan menerapkan peraturan
serupa. Sebagai konsekuensinya, pabrik pembuat mobil di Amerika dan di tempat
lain akan dipaksa untuk memproduksi mobil dan truk yang lebih efisien dalam
penggunaan bahan bakar dibandingkan dengan yang ada sekarang ini, dan itu
dilakukan dalam tempo lebih cepat (IHT, 28/1).

Keputusan mengenai California di atas tidak saja penting untuk menghasilkan
kendaraan hemat bahan bakar minyak, tetapi juga memperlihatkan komitmen
Presiden Obama dalam upaya menanggulangi meningkatnya gas-gas rumah kaca.

Kalau George W Bush memulai pemerintahan dengan meninggalkan janji kampanye
untuk meregulasi gas karbon dioksida dan dengan mundur dari Persetujuan Kyoto,
Obama memulai pemerintahannya dengan sinyal jelas, ia tidak akan ragu- ragu
menggunakan wewenang pengaturan yang diberikan oleh Akta Udara Bersih dan
aturan lain yang ada di tingkat federal untuk memerangi pemanasan global.

Lebih jauh lagi, Obama juga memerintahkan Departemen Transportasi untuk
merampungkan standar efisiensi BBM nasional, seperti dikehendaki oleh RUU
Energi tahun 2007. Standar-standar ini akan menuntut peningkatan efisiensi BBM
pada mobil dan truk ringan Amerika, dari sekarang rata-rata 27 mil per galon
menjadi 35 mil per galon.

Peran politik dan politisi

Dari kasus AS dan khususnya Negara Bagian California, tampak bahwa campur
tangan politik/pemerintah sangat besar. Akan tetapi, yang juga tidak kalah
menentukannya adalah peranan politisi.

Tampak bahwa isu-isu iptek, termasuk lingkungan di dalamnya, semakin penting
dewasa ini. Namun, ada berapa banyakkah negarawan dan politisi yang punya visi
dan wawasan tentang iptek seperti halnya pemimpin India yang ucapannya dikutip
di atas? Atau yang mau membuat terobosan kebijakan seperti halnya Presiden
Obama?

Tentu dari waktu ke waktu pemimpin Indonesia menampilkan komitmen terhadap
iptek. Cikal bakal riset nuklir, bahkan peroketan, sudah muncul di era Bung
Karno. Semasa kepemimpinan Pak Harto lahir pula visi iptek seperti pemanfaatan
sistem komunikasi satelit domestik dan pengembangan industri kedirgantaraan. 
Sayang
di era reformasi kepemimpinan berlangsung pendek sehingga pemimpin tak cukup
waktu untuk mengembangkan visi iptek.

Keadaan sekarang, terlebih- lebih di era pemilu, di masa krisis ekonomi
pula, tampak semakin memprihatinkan. Kalangan politisi bisa dikatakan tak
menaruh perhatian terhadap iptek, sebagaimana juga partai-partai politik.
Berapa parpol yang pernah mengusung iptek sebagai program atau tema kampanye?

Ketika era semakin sarat diwarnai pemanfaatan iptek, tiadanya visi iptek di
kalangan elite tak jarang lalu membuat bangsa kedodoran ketika menghadapi
berbagai fenomena perubahan alam, kemajuan iptek, juga impitan krisis ekonomi.
Hal itu masuk akal karena sendi-sendi kehidupan berbangsa—yang salah satu
fundamentalnya adalah iptek—amat rapuh di sini. Salah satu indikator yang
sering disebut-sebut adalah rendahnya anggaran iptek yang kurang dari 0,5
persen produk domestik bruto. Sementara negara yang berambisi menjadi negara
maju, seperti China, terus menaikkan anggaran ipteknya.

Tinggi rendahnya anggaran iptek itu sendiri juga mencerminkan tinggi
rendahnya komitmen iptek di kalangan politisi Indonesia. Di negara lain, iptek
disadari semakin memainkan peranan dalam kehidupan politik. Isu pangan dan
energi, juga isu kesehatan seperti flu burung, atau juga isu keamanan seperti
yang menyangkut pengayaan uranium oleh Iran atau pengembangan rudal balistik
oleh Korea Utara, terkait dengan iptek untuk memahaminya.

Tantangan ke depan

Ketika urusan dan krisis semakin kompleks, umat manusia dihadapkan pada
berbagai tantangan baru. Misalnya, ketika jumlah penduduk makin banyak dan
lahan pertanian makin sempit, pemerintahan di sejumlah negara dihadapkan pada
pertanyaan sulit, yakni ”siapkah membuat terobosan dengan memperkenalkan
tanaman pangan yang genetikanya dimodifikasi?” Atau, yang sebelumnya sudah
sering muncul, ketika dihadapkan pada kesempitan energi, ”siapkah pemerintah
memanfaatkan energi nuklir?” Lalu, kalau solusi yang diyakini adalah energi
terbarukan nonnuklir, manakah yang harus diprioritaskan? Energi suryakah? Atau
geotermal? Apa pun, semuanya membutuhkan adanya wawasan iptek untuk
memutuskannya.

Sementara itu, lingkup wawasan iptek yang sebenarnya dibutuhkan oleh elite
bangsa sebenarnya lebih luas lagi. Selain yang telah disinggung di atas, masih
ada lagi soal kloning, bioterorisme, perang cyber, dan lainnya.

Dihadapkan pada realitas baru ini, pemerintah—seperti dikatakan Prof
Katherine Pandora yang memberi kuliah tentang ”Science, Technology and Politics”
di Universitas Oklahoma (2006)—terus-menerus dihadapkan pada tekanan untuk
memutuskan apa yang harus didukung dan didanai dalam kebijakan iptek. Sementara
itu, warga negara individu hidup dalam konsekuensi keputusan pemerintah, tidak
saja setahun atau dua tahun, tetapi bahkan bergenerasi-generasi kemudian..
Makanan yang kita makan, udara yang kita hirup, air yang kita minum, mesin yang
kita gunakan dalam pekerjaan, sistem yang kita ada di dalamnya, lalu bagaimana
kita hidup dan mati, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, merupakan
bagian dari jaringan lebih besar yang ada di bawah naungan pengaruh iptek dan
politik.

Dalam konteks itulah masih terus diharapkan keterbukaan para politisi
terhadap wawasan iptek yang semakin besar peranannya dalam kehidupan warga
individu maupun kehidupan kebangsaan.

 




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke