Salam...



Aristoteles adalah orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang 
tidak ada hubungannya dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu 
seperti matematika, etika, sosial, pengetahuan alam ataupun logika. Persoalan 
persoalan yang ditemukan ini disadarinya sebagai inti dari semua persoalan yang 
daripadanya kemudian diketahui hubungan dan keterpisahan persoalan suatu ilmu 
dengan ilmu yang lainnya. 
 
Persoalan ilmu ini dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang 
semakin intensif terhadapnya. Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk 
memisahkan ilmu ini dari ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini 
memiliki sisi khusus disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa 
saat itu Aristoteles tidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini sampai dia 
meninggal. 
 
Setelah Aristoteles meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya 
ini dan disusun dalam sebuah ensiklopedia. Dari sisi urutannya, bahasan yang 
belum diberi nama tadi terletak setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) .  Dari 
urutan tadi dan dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu 
memberikannya nama sesuai dengan urutannya, yaitu ‘setelah fisika’  atau 
‘metafisika’ , yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
 
Namun apa yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat 
laun orang-orang mulai lupa akan ‘cerita penamaan’ terhadap ilmu (metafisika) 
ini. Mereka lupa bahwa nama metafisika adalah penamaan terhadap ilmu yang di 
urutkan berdasarkan ensiklopedia yang berarti ‘setelah fisika’.  Setelah 
pembahasan filsafat rendah (filsafat fisika )  dan BUKAN karena ilmu ini 
semata-mata membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar 
jangkauan ilmu alam (fisika). Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini 
membahas tentang ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan PROFISIKA 
atau ‘sebelum fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan 
fisika, dan bukan sesudahnya.
 
Karena kekeliruan dalam pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih 
banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang 
mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang 
tidak bisa dilihat dan diraba secara fisik / terpisah dari alam material. 
 
Padahal jelas Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena 
keterhubungan dan keterpisahan antara satu ilmu dengan yang lainnya itu yang 
diketahui sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi 
dan non materi.
 
Penyederhanaan kalaupun tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan makna seperti 
ini terjadi juga pada kata ‘filsafat’ , bahkan lebih ngacau lagi …
Coba kita perhatikan apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini, filsafat 
yang tadinya berarti semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio 
(selain wahyu Tuhan)  kini menyempit artinya menjadi nama dari satu disiplin 
ilmu khusus yang membahas tentang metafisika, etika, logika, estetika atau yang 
lainnya. 
 
Darimanakah ‘kekeliruan’ ini bermula? Mari kita simak apa yang terjadi di abad 
16 ketika Rene Descartes dari Perancis dan Francis Bacon dari Inggris 
mengumandangkan sanggahan mereka terhadap metode deduktif (silogistik) , dimana 
mereka berpendapat bahwa apa-apa yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen 
maka semua ke apaan itu adalah tidak masuk akal, tidak termasuk kedalam ilmu 
yang dikatagorikan sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran. Dan dengan sendirinya 
ilmu semacam itu diangap tidak berlaku karena tidak mempunyai kaidah dasar yang 
jelas. Dan bukan itu saja, kelompok ini bahkan kemudian mencoret ‘kepala kodi’ 
( kepala ilmu) yang paling agung itu. Menurut mereka tidak ada itu yang namanya 
filsafat utama, filsafat tinggi, metafisika atau apapun namanya.
 
Setelah kelompok yang menentang keras filsafat tinggi ini ada juga kemudian 
kelompok lainnya yang sedikit lebih bersahabat dengan metode silogisme. Mereka 
mengatakan bahwa apa apa yang BISA dibuktikan dengan eksperimen mereka sebut 
dengan ilmu ‘science’ dan apa apa yang harus menggunakan metode silogisme 
seperti metafisika, etika, estetika, logika dan akhlak mereka namakan 
filsafat.   
 
Disini dan dari sinilah penyempitan definisi verbal itu mulai terjadi, dimana 
filsafat yang tadinya didefinisikan oleh cendikiawan kuno sebagai nama umum 
untuk semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio, yaitu filsafat 
tinggi (teologi), filsafat menengah (matematika) dan filsafat rendah (fisika),  
kini menyempit menjadi nama khusus untuk ilmu yang membahas etika, estetika, 
dan logika. Alhasil terjadilah pemisahan antara filsafat dan Ilmu pengetahuan 
akibat kekeliruan definisi verbal ini.
 
Ini sangat menggangu khasanah ke ilmu-an, karena yang dipotong bukan saja arti 
verbalnya tapi sudah menjadi salah kaprah. Perpisahan ini bukan hanya pada 
istilah tapi juga ‘isi’. 
Berbeda dengan ilmu-ilmu kuno lainnya semisal Ilmu kedokteran, ilmu kedokteran  
kuno demikian dan ilmu kedokteran modern begini, ilmu botani kuno begini dan 
modern begitu. perbedaannya hanya kepada jenis alat yang dipakai dan metode 
aplikasinya. Tetapi tetap sama-sama ilmu kedokteran dan ilmu botani. Sedangkan 
filsafat BEDA JAUH, terjadi perbedaan antara filsafat kuno dan filsafat modern 
dalam arti yang terpisah, filsafat kuno membahas semua hal dan filsafat modern 
membahas hal khusus.



Salam,



Iman K.
www.parapemikir.com 
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke